Mohon tunggu...
Erusnadi
Erusnadi Mohon Tunggu... Freelancer - Time Wait For No One

"Sepanjang sungai/kali masih coklat atau hitam warnanya maka selama itu pula eksistensi pungli, korupsi dan manipulasi tetap bergairah "

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Satu Wajah Seribu Topeng

12 Juni 2016   23:46 Diperbarui: 5 Maret 2020   20:14 386
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

“Who is she?Sahut yang lainnya tak percaya.

Mereka spontan memuji keindahan geraknya. Topeng yang dikenakannya di mata mereka seolah hidup, Sang penari seakan muak, dan protes pada petugas jaga. Semakin lama, bukan cuma asing, undangan lain juga mencari tahu. Bahkan ahli tari topeng dari Jogyakarta turut juga di tengah kegaduhan, dan kerumunan itu. Matanya langsung mengarah pada penarinya. Sesekali ahli tari ini menganggukkan kepala pasti. Dan, ia mengira perempuan inilah yang selama ini dicarinya.

“Mungkinkah dia? Tanyanya dalam hati.

Setengah jam berlalu. Musik mulai lambat, seiring gerakan para penari yang lemah pula di atas panggung. Para penari mengikuti bunyi itu seraya membuka topeng yang dikenakan mereka. Begitu juga penari tua renta di luar ruangan yang juga melakukan hal yang sama. Topeng mulai ia lepas dari wajahnya yang berpeluh keringat. Lalu, ia menggerakan dua tangannya untuk mengakhiri pertunjukan. Topeng kemudian secara kidmat diletakkan kembali di sisi pinggangnya dengan seutas tali plastik berwarna merah. Akhirnya kedua tangannya bersidekap memberi hormat pada sekitar.

Tepuk tangan sontak mengiringi salamnya. Segala pujian keluar dari mulut penonton. Bahkan sebagian mencoba mendekat. Tapi sigap perempuan ini justru menjauh, dan terus menghindar dari kerumunan orang yang ingin mendekatinya. Ia meski lelah terus menghindar, dan menjauhi. Wajah keheranan muncul dari orang-orang.

“Kenapa ibu menjauh?

“Ibu jangan lari!

“Kami ingin tahu ibu. Ibu menari bagus sekali.”

Mereka terus mendekat, dan memuji. Pengamat tari pun juga mulai mengejarnya. Petugas jaga terlihat bimbang, panitia pun menyesali. Namun ia terus menjauh sekuat tenaga yang ia punya. Dan akhirnya lenyap di tengah kegelapan di sekitar bukit yang diselimuti kabut.

Tapi Badri yang sejak awal melihatnya tak mau kehilangan. Ia terus ikuti kemana arahnya menghilang. Tapi tak ada tanda perempuan ini bakal ditemukan. Badri setengah putus asa. Namun tatkala ia menelusuri jalan setapak yang menurun -tak jauh dari sepeda yang diikatnya itu- terdengar suara isak tangis.

Ia pun perlahan mendekat. Langkahnya ditekan di atas tanah yang mulai basah agar tak menimbulkan suara. Ia intip dari balik dedaunan. Dan, tampak perempuan itu sedang duduk, seraya menutup wajahnya dengan sapu tangan. Badri yakin perempuan tua ini adalah Nenden. Penari yang dulu sangat dikaguminya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun