Ia beranikan diri mendekat, dan membuka suara, lirih.
“Ibu Nenden?
Sang penari kaget, lalu angkat tubuhnya berdiri menghadap Badri.
“Anda siapa? Saya tak kenal.”tegasnya.
“Saya Badri, Ibu. Badri yang dulu suka menonton ibu menari topeng. Ibu memang tidak kenal. Saya masih kecil saat menonton ibu menari di kampong saya. Tapi saya ingat ibu.”
Badri terus bicara, mengenalkan dirinya seraya mengingat apa yang diketahuinya dulu. Tentang topeng, penari topeng sampai uang logam 10 sen yang sempat ia letakkan di antara buah dada Nenden.
Penari itu akhirnya mau tersenyum, dan juga membuka suara.
“Iya, saya Nenden. Bapak sangat baik masih mau mengingat saya. Tapi semua sudah lewat masanya. Zaman sudah beda. Penari seperti saya, sudah tidak dihargai sama sekali. Padahal saya nekad ke lokasi ini naik angkot dari Cirebon. Orang mengira saya gila. Saya tidak peduli. Saya hanya ingin menari seperti dulu. Seperti 50 tahun lalu. Tapi, mereka menolak.”
Ia terus bicara. Badri cuma mendengarkan. Dan, mereka bicara hingga larut malam di tengah desir angin yang datang dari lembah. Tentu angin lembah itu juga mengabarkan, masih ada satu wajah dengan seribu topeng di pesisir Cirebon sana yang terus menggeliat melestarikan tarian tradisional ini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H