"Dia ada di dalam. Kata dokter dia mengalami gejala stroke. Beberapa hari yang lalu tante ditelepon teman kerja bapakmu di Jakarta. Lalu mereka memutuskan membawa bapakmu ke rumah sakit ini supaya dekat dengan keluargga." ucap Mirna.
"Lalu nanti yang mengurusi siapa tante?" tanya Karin.Â
Mirna memandang Karin. "Kita. Siapa lagi. Om Heru jauh di Bandung, tidak mungkin kita minta bantuannya." ucap Mirna.
Karin sedikit tidak ikhlas ketika harus menunggui ayahnya yang sakit. Bagaimana tidak, 18 tahun tidak pernah bertemu, tiba-tiba ketika bertemu dalam keadaan sakit. Rasanya ingin marah dan ingin bertanya mengapa meninggalkannya tapi kasihan tante Mirna jika harus mengurusnya sendiri.
Sebulan lamanya Prastowo di rumah sakit. Pulang bekerja Mirna dan Karin menunggui di rumah sakit. Menurut dokter stroke ynag dialami Prastowo sudah menyerang saraf mata. Sehingga matanya tertutup satu di sebelah kanan dan lumpuh tangan dan kaki di sebelah kanan.Â
"Tan, jujur saja aku capek. Aku yang belum pernah sama sekali mengenalnya, harus merawatnya. "kata Karin.
"Bagaimanapun dia itu ayahmu dan juga kakakku. Aku tidak tega Rin." ucap Mirna.
"Tapi tante, aku masih belum ikhlas. " kata Karin sambil memandang tubuh Prastowo yang terbaring lemah.
Karin mendekati Prastowo. "Mengapa kau datang di saat seperti ini? Ketika kau sehat kau tidak mencariku. Kemana dirimu 18 tahun yang lalu ketika aku butuh sosok pengayom." kata Karin sambil memejamkan matanya.Â
Karin melihat air mata menetes di sudut mata Prastowo. Karin lalu menyentuh tangan Prastowo. Tangan yang sudah keriput ini yang dirindukannya 18 tahun yang lau. Sekarang tangan itu lemah tak berdaya.
Karin menjadi tidak tega.