Mohon tunggu...
Ermansyah R. Hindi
Ermansyah R. Hindi Mohon Tunggu... Lainnya - Free Writer, ASN

Bacalah!

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Lelaki Perkasa di Kemiskinan Ekstrem

10 November 2024   08:25 Diperbarui: 25 November 2024   10:54 87
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ermansyah R. Hindi - Dokpri

Pagi jelang siang, saya bersama teman setim, sebut saja Erwin Ilyas mulai menaruh curiga pada gejala cuaca panas. "Bung, apa tidak berminat jadi ahli nujum di bidang percuacaan?" "Ente, ada-ada saja." Tanyaku membatin. Sudahlah.

Nyatanya, lelaki perkasa mana yang cepat menyerah dengan keadaan? Lebai banget! 

Sekarang, belum seberapa, tim monitoring sudah angkat tangan. Nehi, nehi, tidak, tidak. Jika sudah bergulat dengan panas-dingin di lapangan, tidak ada kata pantang menyerah. Suit-suit!

Nah, begitu sodara. Itu baru lelaki! Eheemm.

Benar-benar kami sudah di lokasi. Tak peduli cuaca itu dan ini, kami mencoba menapaki jalan kecil. Didampingi oleh Sekretaris Kelurahan Biringkassi dan Kepala Lingkungan setempat, saya menghampiri dan berhenti di sebuah rumah panggung.

Dari titik ini, kami ngobrol santai seraya diselipkan pertanyaan pada tuan rumah. Siapa nama kepala rumah tangga, berapa anggota keluarga hingga apa mata pencahariannya?

Seputar pertanyaan yang ketiga. Rupanya, mata pencaharian kepala rumah tangga sebagai nelayan. Ya, begitulah.

Sekilas info, lokasi kegiatan monitoring kali ini berada di kawasan kumuh daerah pesisir. Sekitar dua puluh hingga tiga puluh rumah menempati daerah pesisir.

Singkat kata, untuk mewakili kepala rumah tangga, kami menemui isteri Arfandi Daeng Situju. Segera kami berpose ria dengan mengambil gambar persis di depan rumahnya. Siap! Satu, dua, tiga!

Aba-aba dari tukang foto dadakan, yang diminta pada salah satu warga lewat kamera ponsel saya. Dua kali kami dijepret.

Di lingkungan yang sama, kami beranjak untuk memonitoring kondisi rumah yang tercantol di desil 1 (satu) rumah tangga miskin ekstrem. Agar lebih gercep, gerak cepat, saya dibonceng pakai motor oleh Kepala Lingkungan, yang juga tidak kalah lincah meluncur ke lokasi lainnya. Di luar dugaan, rumah yang kami kunjungi di lapangan rupanya berpenampilan jauh dari kondisi ekstrem.

Secara kasat mata, saya melihat penampilan rumahnya sudah kriteria mampu. Mata pencaharian kepala rumah tangganya bukan pekerja serabutan, buruh tani, buruh bangunan atau buruh pembudi daya rumput laut. Dia punya usaha sampingan yang bagus.

Cukup dekat dari lokasi itu, saya dan teman menemukan rumah yang tampak lebih nyenggol miskin ekstrem. Kepala rumah tangganya sedang tidak ada ditempat.

Sayangnya, rumah yang nyaris reok itu tidak muncul di data. Jadinya, saya menyatakan adanya exclusion error. Artinya, kondisi rumah dan mata pencaharian kepala rumah tangganya sebagai buruh, misalnya, tidak bertengger di data, namun memenuhi kriteria kemiskinan ekstrem.

Sesuai data, kami pun beranjak dari tempat menuju rumah lainnya yang terpapar menjadi miskin ekstrem. Sebenarnya, saya melanjutkan perjalanan sembari memandangi rumah dari jauh yang akan dituju. Begitu setianya, pak Seklur dan pak Lingkung bersedia  mendampingi kami di lokasi. 

Matahari semakin meninggi, sebentar lagi posisinya pas di atas kepala. Saya dan teman sudah anggap biasa.

Setibanya di rumah yang dimaksud, saya celingak-celinguk. Entah kemana si empunya rumah. Menurut pak Lingkung dan tetangganya, kepala rumah tangganya lagi keluar. Yang jelas, dia sibuk mencari nafkah.

Meskipun kepala rumah tangganya bermata pencaharian sebagai tukang kayu-lemari, setidaknya gaes titip pesan jika ada hajatan saat keluar dari rumah. Mana lagi istrinya tidak kelihatan batang hidungnya.

Wajarlah, kami datang dan angkat kaki secara sempurna dari rumah itu tanpa salam apa-apa. Ayo gaes, siapa yang diajukan pertanyaan? Tidak ada kan? 

O iya. Rumahnya beratap seng. Dindingnya terbuat dari bata ringan, belum ada plesteran. Lantainya dari tegel biasa. Ia punya aliran listrik. Itu jelas di depan mata saya.

Tanpa pikir panjang dan tanpa tekanan sedikit pun, saya akhirnya mengganjarnya dengan kriteria desil 4 (empat). Saya yakin, kepala rumah tangganya punya mata pencaharian yang cukup untuk bertahan lama. Sehingga kepala rumah tangga dan anggota keluarganya bisa keluar dari miskin ekstrem bahkan melebihi rentan miskin hingga mampu hidup layak, di hari-hari mendatang.

Sebagaimana terjadi sebelumnya, kami ditawari suguhan non makanan, yaitu menyaksikan kondisi rumah yang berdekatan dengan rumah yang dikunjungi sebelumnya. Ini lagi-lagi exclusion error. Kenapa! Ini pak rumahnya. Pak lingkung segera menunjukkan rumahnya.

Di sana, ibu rumahnya tangganya sudah memperlihatkan Kartu Tanda Penduduk dan Kartu Keluarga. "Tolong pak, mohon kami dimasukkan di data rumah tangga miskin ekstrem," pinta ibu. Dia bersama anaknya berdiri di atas tangga rumah kayu yang berukuran kecil.

Boleh saya bertanya bu. Apa mata pencaharian bapak? 

"Bapak cuma bekerja sebagai buruh bangunan dan nyambi sebagai buruh budi daya rumput laut," kata ibu. Apa dapat bantuan bu, seperti bantuan sosial Program Keluarga Harapan (PKH), Bantuan Pangan Non Tunai (BPNT), dan bantuan lainnya?

"Tidak dapat bantuan, pak," balasnya. "Terima kasih bu ya atas kesediaannya menerima kami. Permisi ya bu."

Beralih ke alamat kepala rumah tangga yang lain. Saya dan teman sudah berada di depan rumah kayu yang berukuran besar. Yang terlihat atapnya sudah terpasang. Sisa dinding dan lantai yang belum terpenuhi. Saya jadi nekat berkesimpulan begitu karena saya tersihir jadi sotta, sok-sokan tahu. He he. Jika begitu, kita ingin apakan yang punya rumah itu. 

Tenang saja bung! Kita melihatnya secara obyektif, apa adanya berdasarkan kriteria kemiskinan ekstrem. Begini, kita nilai rumah tangga itu sudah mampu. Apa belum gamblang?

Kata lain, dia sudah tidak layak menjadi rumah tangga miskin ekstrem. Buktinya apa dong pak? Coba lihat saja sendiri! Pertanyaannya, dari mana dapat ongkos bangun rumah sebesar itu?

Jika bukan usaha yang lumayan berkembang seturut penghasilan bertambah, saya kira mustahil si empunya rumah bisa jago membangun rumah besar. 

"Lu tahu enggak, harga kayu mahal loh." Benar juga ya apa yang dibicarakan.

Terus, rumah di sebelah jalan terdata sebagai rumah tangga miskin ekstrem. "Tuh lihat di sebelah!" Wah, beezzaarr rumahnya tuh! Lagi pula, atapnya dari seng yang nampak lebih di "atas" daripada rumah di sebelahnya. Begitu pula dindingnya terbuat dari papan yang kuat. Ada motornya yang terparkir di bawah kolong rumahnya. 

Aha, ingin berkelik kemana bung! Saya menilai, kepala rumah tangganya sudah keluar dari desil 1 (satu). Ia lebih layak berada pada desil 3 (tiga) atau rentang miskin. Satu hal lagi, rumahnya nampak sangat sepi. Siapa yang bersedia menjadi pemberi keterangan? Ya, sudah lewat!

Sampai kemudian, pak kepala lingkungan yang lain mendampingi kami turun ke titik rumah tangga miskin ekstrem. Lokasinya di kawasan pesisir daerah pantai. Sebelum saya tiba di tempat tujuan, mata saya  tertuju pada sebuah rumah berukuran kecil.

Atapnya dari seng, dinding bagian depan terbuat dari seng berwarna biru. Dinding rumah sebelah kiri dan kanan dari gamacca. Lantainya dari floor biasa.

Duh, ia tidak ada di data. Rumahnya terbilang memenuhi kriteria kemiskinan ekstrem. Dari luar, rumah kecil itu nampak tidak ada makhluk sepasang keluarga. Kepala rumah tangga, ibu maupun anaknya tidak menampakkan batang hidungnya.

Padahal, rumahnya punya aliran listrik. Pintu teras dan pintu rumahnya tertutup rapat sebagai tanda tidak ada pemiliknya. Saya tidak menanyakan siapa dan kemana pemiliknya ke pak lingkung atau tetangganya.

Kami teruskan perjalanan dengan langkah mantap. Jalanan rata dengan hamparan pasir laut di atasnya turut membuat kami menikmati terik matahari di siang hari yang cerah.

Lihatlah! Fenomena yang ekstrem dan cair, bukan? Tentu saja, mereka tidak meminta sejak lahir sudah miskin. Apalagi kepala keluarga punya tanggungan keluarga yang tidak ringan.

Makan nasi liwet hari ini, untuk urusan esok nantilah. Namanya juga ekstrem atau setidaknya mereka ada upaya tidak memelihara kondisi miskin ekstrem. 

Mereka tidak melihat foto rumahnya tiba-tiba berubah jadi gedongan dan mentereng. Yang ada di kepalanya bagaimana bisa menyambung hidup. Jika ada Bantuan Sosial (Bantuan Sosial) itu sekadar mengurangi beban hidup, bukan mencabut akar masalah mereka.

Sasarannya bukan untuk dipuja-puji bahwa Bansoslah satu-satunya cara untuk menghidupi mereka. Istilahnya, the tiranny of inequality banget, yaitu tirani ketimpangan ditandai dengan asap dapurnya terancam mengepul cuma senin-kamis lantaran otoritas pengambil kebijakan yang melempeng. Mereka bukan pasrah pada nasib dan bertopang dagu.

Untuk tidak mendapatkan aji mumpung Bansos, mereka sejak setahun lalu dapat program bantuan akhirnya berhenti tanpa alasan yang jelas. Untungnya, ada bantuan pemerintah semacam beras untuk rumah tangga miskin ekstrem atau pada level miskin.

Tengok juga kondisi sekitar rumahnya. Selain kumuh, kondisi di halaman rumah nampak berantakan. Seperti seorang bernama Baso, yang menghuni gubuk reok.

Tanah yang ditempati gubuk deritanya adalah milik pemerintah. Untuk bedah rumah saja begitu sulitnya karena syarat untuk membangun rumah layak huni harus status kepemilikan sendiri. Ini masalah krusial.

Alasannya, bapak yang nampak lusuh itu akibat memang tidak punya lahan sendiri. Jadi, ingin cari nafkah di lahan sendiri susah malah bapak itu akan biasa-biasa hidupnya saat bekerja sebagai nelayan atau buruh pembudi daya rumput laut. 

Mengimajinasikan punya perahu nelayan lebih dari cukup agar tidak kandas harapannya sampai dia ketahuan ternyata memanfaatkan tali-temali rumput laut yang tergeletak di depan gubuk reoknya.

Akibatnya, mereka tak peduli apakah dikampanyekan saat pemilihan umum atau ratusan milyar digelentorkan untuk orang miskin ekstrem. Apakah ada tanda tangan dari bos atau terbangun jembatan tol, mereka ogah dengan pidato berkobar-kobar. Yang penting bagaimana mereka bisa menikmati hidup ini dengan apa adanya.

Syukurlah di Kabupaten Jeneponto, Sulawesi Selatan tidak ada semacam fenomena gepeng, 'gelandangan dan pengemis'. Saya tidak tahu, apakah ada data tentang potensi gepeng.

Sejauh ini dan tidak diharapkan muncul generasi-generasi yang bermental pengemis. Karena jika ada akan menambah beban daerah untuk menanggulangi kemiskinan ekstrem yang tidak mustahil gelandangan dan pengemis menjadi program pengentasan tersendiri. Belum tuntas satu, muncul yang lain dan bisa-bisa makin kompleks masalahnya.

Cukup sudah stunting dan anak tidak sekolah yang beririsan dengan kemiskinan. Sudah jelas, kemiskinan ekstrem jadi isu strategis. 

Dibutuhkan tangan-tangan terampil dan berwawasan maju dari generasi muda. Jadi, sudah pasti mereka diantaranya dari lelaki perkasa, otak, jiwa, dan raganya. Iya kan?

Buktinya, saya dan tim yang lain nyaris tidak pernah menggugah semangat dan kesadaran eksistensial dari keluarga miskin ekstrem agar keluar dari kondisinya. Yang ada, apa sudah terima dan berapa lama dapat program bantuan atau berapa luas rumah mereka.

***

Hari-hari selama lebih tiga pekan, obsesi saya pada pejuang kehidupan lewat kegiatan monitoring tidak kendor. 

Banyak lelaki miskin ekstrem yang sebenarnya punya mimpi kecil atau besar untuk terus bergerak meninggalkan nasib yang tidak menguntungkan mereka.

Bagaimana jika begini. Orang miskin ekstrem dilarang tidak sekolah dan dilarang tidak punya keterampilan! Kaki mereka yang kukuh, mata yang tajam, tangan yang kekar hingga pikiran sisa diasah menjadi modal dasar kepala rumah tangga, yaitu suami maupun anak lelakinya.

Ayo, bangkitlah sodara! Raihlah impianmu! Jangan tunda-tunda kesempatan ini!

Mumpung masih kuat, bersekolah dan tempuhlah pendidikan. Mudah-mudahan Anda terbebaskan dari lingkaran setan kemiskinan!

Apa yang ada di benak orang, ketika saya dan teman atau tim yang lain kerjanya cuma menggerebek rumah tangga miskin ekstrem. Lah, yang digrebek juga sebagian pada keluar cari nafkah atau pergi ke "kantor" bernama kebun, sawah atau ke lokasi budi daya rumput laut.

Tahun ini, 2024, terasa cuaca panas bukan kepalang. Apa boleh buat bro, karena tugas dan tanggungjawab otomatis kami enyahkan keluh kesah. Kami malah 'menyalah' di panas-panas cuaca di luar. Sempurna sudah, bro.

Dalam kamus aparat sipil negara, kadangkala kami abai dengan ungkapan hidup ini keras. Itulah konsekuensi sebagai ASN.

Sebagaimana masyarakat manusia yang lain, orang miskin ekstrem bukan hanya butuh makan, berkembang-biak, buang air, beristirahat, dan bangun dari tidur, tetapi juga merenung, memakai hand tractor untuk membajak sawah, bekerja di pabrik, mengetik di depan komputer, menjalankan usaha perbengkelan, menginstalasi listrik, menjahit pakaian hingga membuka rekening bank dan belanja online. Bahkan sesimpel itukah gambarannya?

Sementara itu, ada potensi yang belum digali. Apa itu? Imajinasi dan hasrat untuk mengetahui. Keduanya bukan dimonopoli oleh guru besar, kaum terpelajar, dan seniman. Miskin ekstrem juga ada karena kondisi yang dibenturkan dengan imajinasi dan hasrat untuk mengetahui.

Banyak hal yang mereka bisa lakukan. Dalam sains, kemampuan mereka tidak seratus persen bergantung pada hormon-hormon dan neuron-neuron. 

Orang miskin ekstrem bukan seonggok batu. Mereka punya pilihan bebas.

Ah, ente bicara apa? Filosofis? Ia tidak memecahkan semua masalah karena mengawan-awan di atas realitas. Ya, sudahlah penuhi kebutuhan pokok orang miskin ekstrem! Latihlah dan sediakan lapangan kerja atau usaha produktif untuk mereka! Bagaimana, bro?

Tetapi, ada hal yang tidak semuanya kita ketahui. Hanya saja kita belum pernah membuka akses seluas-luasnya bagi mereka. 

Perhatikanlah! Senyuman dan jeritan mereka adalah misteri tersendiri.

Satu hal, menjadikan mereka perkasa dalam pengertian luas dimulai cara berpikir. Anda tak usah ragu untuk mengubah kenyataan dimulai dengan mengubah cara berpikir. Bukan hanya mengubah cara berpikir kaum miskin ekstrem, tetapi juga cara berpikir penentu kebijakan.

Coba kita renungkan, sudah lama hukum universal ini berlaku: "Orang rajin akan menadah air hujan saat pagi buta. Orang malas bangun kesiangan tak dapat apa-apa." 

Baiklah. Cara berpikir akan menentukan kemampuan seseorang. Kata lain, setiap orang punya kemampuan yang berbeda.

Dari sini, kemampuan berarti orang miskin ekstrem bisa tahu cara melakukan sesuatu seperti halnya pihak lain bisa melakukannya. Masih teringat, kemampuan itu tidak datang sendiri. Pengetahuan atau kemampuan diri bukan bahan yang sudah jadi.

Bekal kemampuan diri yang demikian itu perlu didahului dengan pendidikan, kursus-kursus, dan peningkatan pengetahuan teknis atau keterampilan lainnya, maka saya kira tidak ada yang mustahil jika kita serius memfasilitasi mereka. Kita belum memulai hal yang kecil. Melakukan sekarang, kenapa tidak?

Anda bisa melihat langkah selanjutnya, jika mereka membekali dirinya dengan banyak pengetahuan dan keterampilan yang memadai, Anda yakin pada kemampuan orang miskin ekstrem untuk menciptakan dunianya sendiri. Manusialah yang menciptakan kondisi dan menaklukkan dunia dalam genggamannya.

Bisa saja orang menilai dengan kaca mata berbeda tentang apa yang kita bicarakan. Ya, gampang berbicara soal teori? Mereka bisa tangguh karena terhubung dengan lingkungannya dan kita yang melihat dan merasakan langsung kehidupan mereka.

Memang begitu, jika kita pernah mencobanya dengan sungguh-sungguh, sejak kapan kita juga bisa membuktikan jika orang miskin ekstrem tidak berpendidikan dan bekerja di tengah tantangan zaman digital.

Orang miskin ekstrem menciptakan dunia bukan berarti kita terlalu percaya diri dan sok optimis tentang mereka yang punya atap, lantai, dinding rumah tidak layak atau soal mata pencaharian mereka sebagai kuli bangunan, misalnya, justeru lebih absurd.

Faktanya, bahwa gagasan tentang kemampuan teknis atau keterampilan hidup bagi rumah tangga miskin ekstrem dianggap bukan barang baru malah kisah sukses menjadi kabar angin. Belum lagi berapa jumlahnya kepala rumah tangga atau anggota keluarga miskin ekstrem yang mengikuti magang di perusahaan. Semuanya bisa terjadi di atas kertas.

Lantaran banyak orang miskin ekstrem merasa tidak penting menjadi 'perkasa' sejak pikiran, imajinasi, dan keterampilan, kembalinya juga mereka akan pegal-pegal sehabis kerja di kebun. Katakanlah, si miskin ekstrem lelah karena mencangkul di kebun. Parahnya, jika si miskin ekstrem tidak punya lahan. 

Singkat kata, pikiran dan imajinasi akhirnya teraduk-aduk dengan kondisi kesehariannya.

Sehingga hal yang sudah lazim dan mereka tidak banyak pusing dengan keadaan di sekitarnya. Mereka lebih bahagia dengan alat-alat sederhana.

Makan seadanya, tidur berselimut dengan kain lusuh hingga bangun tidur menuju kebun, sawah, dan tempat lain menjadi hidup lebih teratur. Mereka seakan lebih merdeka tanpa beban yang menghimpitnya.

Mendadak muncul jurang yang dalam dan lebar saat kita membandingkan yang bukan orang miskin ekstrem. Kadangkala saya terjebak dengan kriteria kemiskinan ekstrem di daerah, seperti memonitoring atau ketika saya memverifikasi antara data dan fakta lapangan.

Seseorang memang tercantum di data sebagai rumah tangga miskin ekstrem. Tetapi, setelah proses verifikasi di lapangan terbukti menjadi kriteria keluarga mampu. 

Kata lain, mereka telah keluar dari kriteria miskin ekstrem. Paling tidak mereka berada pada kriteria miskin.

Lumayan seru di lapangan. Saya dan teman melihat makhluk ‘perkasa’ di pelosok kampung dan berat pula medannya terjadi di pekan ketiga dalam rangkaian kegiatan monitoring sekaligus verifikasi berupa sampel rumah tangga miskin ekstrem. Kegiatan monitoring kian bergolak saat kami menemui seorang ibu rumah tangga miskin ekstrem yang berperan sebagai kepala rumah tangga setelah suaminya meninggal atau menjanda.

Siapa dia?

Bintang namanya. Dia seorang ibu kepala rumah tangga. Punya satu anak, yang sedang mengenyam pendidikan di Sekolah Menengah Pertama (SMP). Hasil verifikasi ini cocok dengan bukti di lapangan. Apa jadinya jika istilah 'perkasa' tidak mengenal jenis kelamin? Kata 'perkasa' bisa-bisa soal istilah belaka. 

Wah, ini bisa jadi alat pembenaran. Ayo, kita kabur!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun