Satu sisi, dalam konteks yang lebih luas di tengah menumpuknya ampas dari alienasi sosial dan represi mental yang dicitrakan dengan "sang beradab"(Amerika Serikat cs). Tetapi anehnya, mereka dianggap oleh pihak lain sebagai sumber menyeruaknya bentuk-bentuk ketidakadilan, intoleransi, dan kerusakan ekologis.Â
Pada sisi lain, tanda kemakmuran menjadi ilusi bagi yang lain (termasuk Indonesia), karena diposisikan layaknya "sapi perahan" bagi kapitalis.
Teroris muncul untuk membungkam kekuatan perdamaian. Karena alasan angkara murka melanda dunia, sehingga mereka bisa memilih sebuah bentuk perjuangan yang diterbangkan oleh imajinasi liar dan fantasi ideologi kekerasan tanpa disadarinya.
Dulu, Jamaah Islamiyah terpaksa bergumul bersama kekerasan imajiner untuk menghadapi malapetaka sistemik, "...memfokuskan pada "masalah nyata" dari bentuk pelarian tertinggi Dunia Ketiga,..." begitu kata Slavoj Zizek (lihat The Parallax View, 2006, hlm. 129) karena buntut sejarah panjang logika kapitalis membuatnya tidak terhibur sejenak menyaksikan dirinya sendiri sebagai parodi di balik kekerasan berupa terorisme.
Ini mungkin istilah yang rumit dipahami. Taruhlah dalam kalimat seperti poros perkembang-biakan citra teror sesudah Jamaah Islamiyah melebihi pengekangan hasrat. JI mungkin menjadi bagian dari pelepasan dan penolakan model-model halusinasi, ilusi, dan citra. Pengekangan hasrat menghadapi keadaan sekarat persis hilangnya tanda kebebasan berbicara, berekspresi atau berpikir tentang kuasa yang membusuk dari dalam.
Jadi, tersumbatnya aliran hasrat untuk kemakmuran dalam kehidupan bersama tidak sekeras dengan sekaratnya logika beragama. Di kepala para teroris silau dengan "angin surga." Tatkala hasrat dan tubuh berubah menjadi terkekang dalam represinya dan terkekangnya seseorang dan kelompok dalam melihat dunia secara utuh merangsang perlawanan. Â
Akhirnya, kekerasan pikiran meledak keluar menjadi kelompok teroris boleh jadi lebih berbahaya dari kelompok sebelumnya.
Kekerasan yang tersimbolisasi karena tidak cukup beralasan munculnya lelucon yang baik bagi kekerasan tingkat keluarga. Ayah (Kepala Negara), Bunda (Penasehat), dan Anak (Rakyat), menjelma ke dalam relasi simbolik, sosial, imajiner, bahasa, ontologi, dan epistemologi.
Sesudah JI, kekerasan melawan kekerasan menuju penumpang gelap dari kezaliman dan dari pikiran yang membusuk (individu yang jahat). Pengendapan hasrat untuk melawan, penciptaan reaksi nekat dan berontak sesungguhnya langkah bunuh diri secara tidak sadar.
Ajaibnya, kekerasan dimulai kekerasan berskala kecil menggumpal menjadi kekerasan berskala besar. Simbolisasi kekerasan berskala kecil seperti sang diktator Ayah ("Teroris yang mengatasnamakan jalan suci" atau "Si Penyelamat yang Teroris"). Di dalamnya tidak ada pemecahan simbolik, kecuali mulai dari dirinya sendiri.
Kita sadar, bahwa Ayah pasca-JI masih ingin menanamkan, membatasi, menormalkan, dan mengendalikan kembali seperti aura kekerasan berada tanpa jalan keluar.Â