Beda berdebat dengan kepala dingin berdasar referensi, pikiran, refleksi hingga argumentasi yang bagaimana itu dan berdebat dengan "jurus mabuk," apalagi main lempar ponsel (tertawa dulu).
Bayangkan, mustahil di masa-masa keemasan dunia Islam (sekitar abad 8-13 M) di bidang sains, ilmu-ilmu agama, filsafat, seni, musik, sastra, dan sebagainya hanya di tangan kelompok yang memaksakan keyakinan atau ideologinya pada pihak lain. Masa keemasan itulah muncul multipersfektif atau banyak sudut pandang.
Kini, sayangnya, biar pun orang membaca ratusan buku, tetapi hanya pemahaman ibarat "bola benjol" atau tidak utuh, sepenggal dan persfektif tunggal tok alias "kaca mata kuda" perlahan-lahan akan terjatuh pada konservatisme, ekstremisme bahkan terlalu jauh pada terorisme. Bagi kaum "kaca mata kuda" dan satu persfektif akan lebih enteng menyatakan pihak luar yang bukan golongannya dicap sebagai musuh atau kafir.
Ada alasan bagi kaum berpikir bebas, liberal, dan bahkan sekuler tidak punya kasus "gampang" terjerumus dalam kelompok jihadis ekstremis dan sejenisnya karena mereka tidak mudah terhipnotis dan tergoda dengan doktrin, malahan dogma atas nama Tuhan untuk membunuh dan mentahzdir alias menuduh sesat pihak lain (ini nyaris terjadi di semua oknum kelompok beragama).Â
Kenapa? Kaum berpikir bebas, liberal, dan sekuler itu dibekali analisis-kritis dengan segala metodologi, epistemologi yang dahsyat, dan wawasan yang luas.
Kita paham, ada yang "kebakaran jenggot" jika menggunakan kata-kata yang dianggap menyudutkan Islam. Yang mana? Justeru kelompok konservatif dan radikalis atau satu persfektif yang gampang terjerumus dalam kekerasan.
Contohnya, yaitu teroris(me) (siapapun dan apapun latar belakang agamanya). Sedikit-sedikit menghadapi masalah dianggap "kiamat," reaktif hingga frustasi. Sehingga puncaknya terjadi semacam mekanisme pelampiasan berupa at-ta'ashub (sebar fanatisme), takfiri (suka mengkafirkan), karohiriyyatul ghair (membenci golongan lain), al-qital (perang) bahkan terorisme.
Islamisme jihadis garis keras memang menjadi masalah ketika keceplung dan larut dalam wilayah paham agama yang sempit. Istilah paham monolitik dan 'skriptual literalis' dari sarjana ilmu-ilmu agama dan umum paling dekat disematkan pada kelompok teroris (terorisme pasca-Jamaah Islamiyah), yang berpandangan hitam putih.
Dari titik ini, kita tahu bersama, sohib-sohib di sini lebih paham bahwa organisasi Islam moderat punya epistemologi bayani, burhani dan irfani dalam melihat segala aspek kehidupan dan pemikiran. Saya sadar, saya hanya ikut nimbrum menyoroti terorisme.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H