Pokoknya, 'di luar' mereka adalah musuh. Akhirnya, bangkitlah 'aura kekerasan' karena keketidakadilan sosial yang melanda pada banyak orang.
Sebaliknya, korban kekerasan simbolik akibat melimpahnya diskursus kuasa (ekonomi dan politik) nampaknya sulit untuk terbeli dengan nilai apapun.Â
Tetapi, terinfeksinya masa depan dunia melalui ledakan personal-subyektif berupa kejahatan, kelicikan, dan merebaknya represi. Dari sisi impersonal-obyektif seperti gagalnya negara melayani, diskriminasi, intimidasi hingga ketidakadilan.
Melalui teror, tidak ada lagi nilai tanda luhur, yang ada hanyalah pemaksaan hingga godaan maut. Misalnya, kelompok teroris dieksploitasi dengan indoktrinasi yang menyilaukan. Mereka "dicuci otaknya" di bawah kendali fantasi ideologi yang dangkal atau picik.
Di sini tidak ada alasan penting yang bisa kita kemukakan karena segalanya adalah kekerasan yang mematikan dan kuasa yang tidak stabil. Berbicara di hadapan orang-orang yang menolak label teroris dan radikalis, mereka tidak ingin menanggung tuduhan sepihak begitu senonoh di tengah kelimpahruahan obyek.Â
Mereka yang menolak label teroris karena pada hakikatnya agama tidak mengajarkan kekerasan. Bahayanya, agama dijadikan dagangan laris oleh teroris. Lah, jika ada aksi teror dari oknum yang beragama lain justeru Anda yang pertama menghujat atau mengumpatnya.
Singkat kata, label teroris itu lebih berat pada subyektivitas. Lebih dari itu, teroris sudah 'tidak beragama' atau memperalat agama melalui aksi bom bunuh diri atau membom pihak lain. Nyatanya, rerata teroris memang berlindung di belakang agama.Â
Saya kira, kesenjangan sosial yang parah memicu aksi kekerasan itu soal lain. Ada teroris menyerang rumah ibadah, misalnya. Hanya karena perut lapar atau hidup susah ditambah dengan semacam pikiran kosong dirasuki oleh ideologi kekerasan, maka bisa saja seseorang terlibat dalam aksi bom bunuh diri.Â
Apalagi seseorang mendapat pembenaran akibat sepaham atau seide dengan kelompok teroris akan memberi "angin segar" dalam aksi terornya. Sudah tentu, amblasnya kehidupan yang damai, aman, dan sentosa lantaran terorisme dan kekerasan lainnya.
Satu sisi, dalam konteks yang lebih luas di tengah menumpuknya ampas dari alienasi sosial dan represi mental yang dicitrakan dengan "sang beradab"(Amerika Serikat cs). Tetapi anehnya, mereka dianggap oleh pihak lain sebagai sumber menyeruaknya bentuk-bentuk ketidakadilan, intoleransi, dan kerusakan ekologis.Â
Pada sisi lain, tanda kemakmuran menjadi ilusi bagi yang lain (termasuk Indonesia), karena diposisikan layaknya "sapi perahan" bagi kapitalis.