Mohon tunggu...
Ermansyah R. Hindi
Ermansyah R. Hindi Mohon Tunggu... Lainnya - Free Writer, ASN

Bacalah!

Selanjutnya

Tutup

Diary

Momok Pasca-Jamaah Islamiyah sebagai Bukti Bahwa Moderasi Beragama Belum Selesai

22 Juli 2024   17:59 Diperbarui: 20 September 2024   18:07 147
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ermansyah R. Hindi - Dokpri

Belum lama berselang, Jamaah Islamiyah (JI) menyatakan dirinya bubar. Kita telah menyimak di media tentang buyarnya Jamaah Islamiyah dengan tanda curiga dan masih ada dugaan yang lain. Terlepas dari kewasapadaan, tanda zaman kita diantaranya adalah pelepasan dan penolakan berupa obyek dan aura kekerasan.

Kita juga telah diberitahukan, bahwa apapun bentuk teror dari kelompok garis keras manapun akan memproduksi ketakutan luas biasa. Wujud teror melipatgandakan "bom bunuh diri," serangan bom dan senjata lainnya.

Bom bunuh diri sebagai mekanisme sangat menantang maut. Ia sungguh-sungguh sebuah mesin pembunuh di sekitar kita bagai momok.

Demikian pula, mimpi kita betul-betul nyata, ketika mereduksi teror dengan tanda zaman. Dalam mimpi dan khayalan yang terepresi seketika, membuat luar biasanya terorisme menjadi model kekerasan yang diboncengi oleh rezim diskursus ekonomi dan politik, yang dilepaskan sebagai represi utama.

Lalu, akhir dari halusinasi terindah tentang adegan yang tidak nampak dari terorisme tanpa terpaksa dibayar dengan harga seberapapun. 

Dalam keseimbangan kekuatan ideologis, mesin perlawanan terhadap teroris datang dari pengingkaran atas realitas (kaya-miskin, kemajemukan) pada saat kita tidak mampu membayangkan seluruh korban kekerasan dari adegan yang tidak nampak di atas panggung (panggung ada dimana-mana). 

Kemana pun kita pergi akan selalu melihat suatu kekuatan dari ritual perlawanan untuk menundakan ritual kematian akibat teror bom (dimulai dari ciutnya nyali).

Ada sesuatu yang terjadi secara diam-diam. Di sini tentang kekerasan tanpa fisik dari perang ideologi (terorisme) yang terencana dan tersembunyi justeru berubah menjadi sesuatu yang tidak terpikirkan. 

Toh, di balik produksi material belaka yang dipercaya oleh sebagian manusia sebagai faktor utama dari kesejahteraan sosial perlahan-lahan akan terjatuh dalam kehampaan. Kita tahu, bibit-bibit kekerasan sosial dipicu diantaranya oleh sering perut lapar. Nah, ia bisa menyerang pikiran dan tidak mustahil mengarah pada korslet.

Istilahnya, terorisme ada sejak pikiran. Parahnya, kebencian menjadi keharusan. Kata lain, gara-gara rasa muak yang memuncak pada kondisi negara yang carut-marut atau korupsi merajalela dan rusaknya moral para pejabat, maka mereka melampiaskan kemarahannya dengan jalan kekerasan. Dari titik tolak ini, orang-orang yang doyan dengan kekerasan tidak berarti menjadi teroris.

Ketidakhadiran wawasan luas dan kehilangan kepercayaan terhadap sistem demokrasi atau non sistem keagamaan juga akan berdampak pada kusutnya kepala seorang teroris. Bahkan kekerasan demi kekerasan dari teroris atas nama "perang suci" atau menjual perjuangannya atas nama Tuhan akibat mereka melihat realitas dengan "kaca mata kuda" atau sekadar membaca buku dalam persfektif 'tunggal'.

Pokoknya, 'di luar' mereka adalah musuh. Akhirnya, bangkitlah 'aura kekerasan' karena keketidakadilan sosial yang melanda pada banyak orang.

Sebaliknya, korban kekerasan simbolik akibat melimpahnya diskursus kuasa (ekonomi dan politik) nampaknya sulit untuk terbeli dengan nilai apapun. 

Tetapi, terinfeksinya masa depan dunia melalui ledakan personal-subyektif berupa kejahatan, kelicikan, dan merebaknya represi. Dari sisi impersonal-obyektif seperti gagalnya negara melayani, diskriminasi, intimidasi hingga ketidakadilan.

Melalui teror, tidak ada lagi nilai tanda luhur, yang ada hanyalah pemaksaan hingga godaan maut. Misalnya, kelompok teroris dieksploitasi dengan indoktrinasi yang menyilaukan. Mereka "dicuci otaknya" di bawah kendali fantasi ideologi yang dangkal atau picik.

Di sini tidak ada alasan penting yang bisa kita kemukakan karena segalanya adalah kekerasan yang mematikan dan kuasa yang tidak stabil. Berbicara di hadapan orang-orang yang menolak label teroris dan radikalis, mereka tidak ingin menanggung tuduhan sepihak begitu senonoh di tengah kelimpahruahan obyek. 

Mereka yang menolak label teroris karena pada hakikatnya agama tidak mengajarkan kekerasan. Bahayanya, agama dijadikan dagangan laris oleh teroris. Lah, jika ada aksi teror dari oknum yang beragama lain justeru Anda yang pertama menghujat atau mengumpatnya.

Singkat kata, label teroris itu lebih berat pada subyektivitas. Lebih dari itu, teroris sudah 'tidak beragama' atau memperalat agama melalui aksi bom bunuh diri atau membom pihak lain. Nyatanya, rerata teroris memang berlindung di belakang agama. 

Saya kira, kesenjangan sosial yang parah memicu aksi kekerasan itu soal lain. Ada teroris menyerang rumah ibadah, misalnya. Hanya karena perut lapar atau hidup susah ditambah dengan semacam pikiran kosong dirasuki oleh ideologi kekerasan, maka bisa saja seseorang terlibat dalam aksi bom bunuh diri. 

Apalagi seseorang mendapat pembenaran akibat sepaham atau seide dengan kelompok teroris akan memberi "angin segar" dalam aksi terornya. Sudah tentu, amblasnya kehidupan yang damai, aman, dan sentosa lantaran terorisme dan kekerasan lainnya.

Satu sisi, dalam konteks yang lebih luas di tengah menumpuknya ampas dari alienasi sosial dan represi mental yang dicitrakan dengan "sang beradab"(Amerika Serikat cs). Tetapi anehnya, mereka dianggap oleh pihak lain sebagai sumber menyeruaknya bentuk-bentuk ketidakadilan, intoleransi, dan kerusakan ekologis. 

Pada sisi lain, tanda kemakmuran menjadi ilusi bagi yang lain (termasuk Indonesia), karena diposisikan layaknya "sapi perahan" bagi kapitalis.

Teroris muncul untuk membungkam kekuatan perdamaian. Karena alasan angkara murka melanda dunia, sehingga mereka bisa memilih sebuah bentuk perjuangan yang diterbangkan oleh imajinasi liar dan fantasi ideologi kekerasan tanpa disadarinya.

Dulu, Jamaah Islamiyah terpaksa bergumul bersama kekerasan imajiner untuk menghadapi malapetaka sistemik, "...memfokuskan pada "masalah nyata" dari bentuk pelarian tertinggi Dunia Ketiga,..." begitu kata Slavoj Zizek (lihat The Parallax View, 2006, hlm. 129) karena buntut sejarah panjang logika kapitalis membuatnya tidak terhibur sejenak menyaksikan dirinya sendiri sebagai parodi di balik kekerasan berupa terorisme.

Ini mungkin istilah rumit dipahami. Taruhlah dalam kalimat seperti poros perkembang-biakan citra teror sesudah Jamaah Islamiyah melebihi pengekangan hasrat. JI menjadi bagian dari pelepasan dan penolakan model-model halusinasi, ilusi, dan citra. Pengekangan hasrat menghadapi keadaan sekarat persis hilangnya tanda kebebasan berbicara, berekspresi atau berpikir tentang kuasa yang membusuk dari dalam.

Tersumbatnya aliran hasrat untuk kemakmuran dalam kehidupan bersama tidak sekeras dengan sekaratnya logika beragama. Di kepala para teroris silau dengan "angin surga." Tatkala hasrat dan tubuh berubah menjadi terkekang dalam represinya dan terkekangnya seseorang dan kelompok dalam melihat dunia secara utuh merangsang perlawanan.  

Akhirnya, kekerasan pikiran meledak keluar menjadi kelompok teroris yang boleh jadi lebih berbahaya dari kelompok sebelumnya.

Kekerasan yang terpersonifikasi tidak cukup beralasan munculnya lelucon yang baik bagi kekerasan tingkat keluarga. Ayah (Kepala Negara), Bunda (Penasehat), dan Anak (Rakyat), menjelma ke dalam relasi simbolik, sosial, imajiner, bahasa, ontologi, dan epistemologi.

Sesudah JI, kekerasan melawan kekerasan menuju penumpang gelap dari kezaliman dan dari pikiran yang membusuk (individu yang jahat). Pengendapan hasrat untuk melawan, penciptaan reaksi nekat dan berontak sesungguhnya langkah bunuh diri secara tidak sadar.

Ajaibnya, kekerasan mulai kekerasan berskala kecil menggumpal menjadi kekerasan berskala besar. Simbolisasi kekerasan berskala kecil seperti sang diktator Ayah ("Teroris yang mengatasnamakan jalan suci" atau "Penyelamat yang Teroris"). Di dalamnya tidak ada pemecahan simbolik, kecuali mulai dari dirinya sendiri.

Kita sadar, bahwa Ayah pasca-JI masih ingin menanamkan, membatasi, menormalkan, dan mengendalikan kembali seperti aura kekerasan berada tanpa jalan keluar. 

Kelompok garis keras dalam kekerasan simbolik dan bahasa muncul bersamaan sekaratnya hal-hal yang sakral (agama, moral) dicerminkan dengan menggumpal dan meledaknya bentuk-bentuk kekerasan ideologi dan orang-orang yang meneriakkan perlawanan padanya.

***

Belakangan saya agak bagaimana begitu. Soal ideologi Islamis garis keras (yang ditengarai talah "nyatroni" tubuh organisasi moderat). Terus, siapa yang salah. Ya, organisasi moderat itu sendiri yang salah?

Kenapa? Ini toksik-toksikan pikiran saya dan red flag segala. Ini salah satu alasannya. Asyik masyuk, ngegas hingga eporia
pembangunan amal usaha dengan segala sarana dan prasarananya yang mentereng (kita boleh banggalah). Tapi, tajdid al-afkar ad-dini (pembaharuan pemikiran dalam agama) belum greget. Belum dahsyat! Produk fikih, oke banget, tetapi tidak cukup. Cuma, istilahnya, adaptasi dengan lingkungan strategis, di luar.

Maka, ruang kosong yang melengahkan itu bikin organisasi moderat anggap "biasa-biasa" saja. Sehingga enteng "tertular" dan akhirnya "benteng jebol." Ribut-ribut pun jadi osongan dan "berisik" di medsos.

Lucunya, kita yang dianggap macam-macam karena punya pikiran bebas, liberal, dan sekuler disuruh istigfar. Kita disuruh hati-hati dalam berbicara dan bernarasi secara tertulis. Kita juga malah dianggap antek-antek sekuler dan kapitalis (menggelikan sekali).

Di luar semua hal tersebut, maka sebagian orang memang tidak suka berdebat. Tidak apa-apa sampai berdebat soal agama. Itu menandakan ruang dialog masih hidup.

Kita pada tahu, bahwa doeloe (persfektif sejarah), para bapak pendiri bangsa berdebat secara tajam soal landasan pemerintahan Republik Indonesia pasca kemerdekaan.

Aha! Perdebatan antara Soekarno dan ulama soal dasar negara? Ayo, kita buka kitab gondrongundul! Eh, siapa juga kita karena kita bukan Mbah Google, plus referensi lain!

Habis para bapak pendiri bangsa cukup doyan berdebat, dingin pula kepala mereka. Ya, sudahlah!

Bayangkan, sampai 22 Agustus 1945 belum ada kesepakatan apa landasan pemerintahan Republik Indonesia.

Usahakan gaes, hindari "alergi" berdebat atau apalah namanya. Jiks sohib-sohib berdebat di grup WhatsApp, apalagi soal agama itu menandakan agama hidup di tengah perbedaan sudut pandang. Paling tidak, sekadar nostalgik atau romantisme menandakan ada pelajaran masa lalu. Bukankah masa keemasan Islam diwarnai perdebatan?

Di situlah muncul berbagai persfektif. Mereka (filsuf, pemikir, saintis bebas) menyatakan berbagai persfektif yang cemerlang.

Beda berdebat dengan kepala dingin berdasar referensi, pikiran, refleksi hingga argumentasi yang bagaimana itu dan berdebat dengan "jurus mabuk," apalagi main lempar ponsel (tertawa dulu).

Bayangkan, mustahil di masa-masa keemasan dunia Islam (sekitar abad 8-13 M) di bidang sains, ilmu-ilmu agama, filsafat, seni, musik, sastra, dan sebagainya hanya di tangan kelompok yang memaksakan keyakinan atau ideologinya pada pihak lain. Masa keemasan itulah muncul multipersfektif atau banyak sudut pandang.

Kini, sayangnya, biar pun orang membaca ratusan buku, tetapi hanya pemahaman ibarat "bola benjol" atau tidak utuh, sepenggal dan persfektif tunggal tok alias "kaca mata kuda" perlahan-lahan akan terjatuh pada konservatisme, ekstremisme bahkan terlalu jauh pada terorisme. Bagi kaum "kaca mata kuda" dan satu persfektif akan lebih enteng menyatakan pihak luar yang bukan golongannya dicap sebagai musuh atau kafir.

Ada alasan bagi kaum berpikir bebas, liberal, dan bahkan sekuler tidak punya kasus "gampang" terjerumus dalam kelompok jihadis ekstremis dan sejenisnya karena mereka tidak mudah terhipnotis dan tergoda dengan doktrin, malahan dogma atas nama Tuhan untuk membunuh dan mentahzdir alias menuduh sesat pihak lain (ini nyaris terjadi di semua oknum kelompok beragama). 

Kenapa? Kaum berpikir bebas, liberal, dan sekuler itu dibekali analisis-kritis dengan segala metodologi, epistemologi yang dahsyat, dan wawasan yang luas.

Kita paham, ada yang "kebakaran jenggot" jika menggunakan kata-kata yang dianggap menyudutkan Islam. Yang mana? Justeru kelompok konservatif dan radikalis atau satu persfektif yang gampang terjerumus dalam kekerasan.

Contohnya, yaitu teroris(me) (siapapun dan apapun latar belakang agamanya). Sedikit-sedikit menghadapi masalah dianggap "kiamat," reaktif hingga frustasi. Sehingga puncaknya terjadi semacam mekanisme pelampiasan berupa at-ta'ashub (sebar fanatisme), takfiri (suka mengkafirkan), karohiriyyatul ghair (membenci golongan lain), al-qital (perang) bahkan terorisme.

Islamisme jihadis garis keras memang menjadi masalah ketika keceplung dan larut dalam wilayah paham agama yang sempit. Istilah paham monolitik dan 'skriptual literalis' dari sarjana ilmu-ilmu agama dan umum paling dekat disematkan pada kelompok teroris (terorisme pasca-Jamaah Islamiyah), yang berpandangan hitam putih.

Dari titik ini, kita tahu bersama, sohib-sohib di sini lebih paham bahwa organisasi Islam moderat punya epistemologi bayani, burhani dan irfani dalam melihat segala aspek kehidupan dan pemikiran. Saya sadar, saya hanya ikut nimbrum menyoroti terorisme.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun