Teroris muncul untuk membungkam kekuatan perdamaian. Karena alasan angkara murka melanda dunia, sehingga mereka bisa memilih sebuah bentuk perjuangan yang diterbangkan oleh imajinasi liar dan fantasi ideologi kekerasan tanpa disadarinya.
Dulu, Jamaah Islamiyah terpaksa bergumul bersama kekerasan imajiner untuk menghadapi malapetaka sistemik, "...memfokuskan pada "masalah nyata" dari bentuk pelarian tertinggi Dunia Ketiga,..." begitu kata Slavoj Zizek (lihat The Parallax View, 2006, hlm. 129) karena buntut sejarah panjang logika kapitalis membuatnya tidak terhibur sejenak menyaksikan dirinya sendiri sebagai parodi di balik kekerasan berupa terorisme.
Ini mungkin istilah rumit dipahami. Taruhlah dalam kalimat seperti poros perkembang-biakan citra teror sesudah Jamaah Islamiyah melebihi pengekangan hasrat. JI menjadi bagian dari pelepasan dan penolakan model-model halusinasi, ilusi, dan citra. Pengekangan hasrat menghadapi keadaan sekarat persis hilangnya tanda kebebasan berbicara, berekspresi atau berpikir tentang kuasa yang membusuk dari dalam.
Tersumbatnya aliran hasrat untuk kemakmuran dalam kehidupan bersama tidak sekeras dengan sekaratnya logika beragama. Di kepala para teroris silau dengan "angin surga." Tatkala hasrat dan tubuh berubah menjadi terkekang dalam represinya dan terkekangnya seseorang dan kelompok dalam melihat dunia secara utuh merangsang perlawanan. Â
Akhirnya, kekerasan pikiran meledak keluar menjadi kelompok teroris yang boleh jadi lebih berbahaya dari kelompok sebelumnya.
Kekerasan yang terpersonifikasi tidak cukup beralasan munculnya lelucon yang baik bagi kekerasan tingkat keluarga. Ayah (Kepala Negara), Bunda (Penasehat), dan Anak (Rakyat), menjelma ke dalam relasi simbolik, sosial, imajiner, bahasa, ontologi, dan epistemologi.
Sesudah JI, kekerasan melawan kekerasan menuju penumpang gelap dari kezaliman dan dari pikiran yang membusuk (individu yang jahat). Pengendapan hasrat untuk melawan, penciptaan reaksi nekat dan berontak sesungguhnya langkah bunuh diri secara tidak sadar.
Ajaibnya, kekerasan mulai kekerasan berskala kecil menggumpal menjadi kekerasan berskala besar. Simbolisasi kekerasan berskala kecil seperti sang diktator Ayah ("Teroris yang mengatasnamakan jalan suci" atau "Penyelamat yang Teroris"). Di dalamnya tidak ada pemecahan simbolik, kecuali mulai dari dirinya sendiri.
Kita sadar, bahwa Ayah pasca-JI masih ingin menanamkan, membatasi, menormalkan, dan mengendalikan kembali seperti aura kekerasan berada tanpa jalan keluar.Â
Kelompok garis keras dalam kekerasan simbolik dan bahasa muncul bersamaan sekaratnya hal-hal yang sakral (agama, moral) dicerminkan dengan menggumpal dan meledaknya bentuk-bentuk kekerasan ideologi dan orang-orang yang meneriakkan perlawanan padanya.
***