Apakah ini penanda omong kosong 'kampus merdeka'? Kita kembalikan jawabannya ke masing-masing pihak. Atau bukan sebuah masalah?
Akhirnya, critical thinking di kampus hanyalah bertepuk sebelah tangan.
Terus, apa juga capek-capek unjuk rasa. Di luar itu, wajarlah, sejumlah sivitas akademika dan dokter muda bentangkan poster dalam aksi unjuk rasa di depan halaman Fakultas Kedokteran, Unair. Mereka juga ada dalam kebebasan berekspresi dan berpendapat. Iyalah! Mereka melihat dan bersuara kritis karena ada sesuatu yang tidak beres.Â
Jadi, bukan sekadar berkoar-koar di luar dan di ruang kosong sendiri.
Lebih dari itu, ada sesuatu "membonsai" kebebasan karena berbeda pendapat antara bawahan dan atasan. Terus, kampus milik siapa? Bapak Anda, keluarga Anda! Ayo apa alasannya? Mengapa Anda seenaknya mengatur ilmuwan kritis?Â
Oke, berbeda pendapat itu sah-sah saja! Masakan berbeda pendapat dilampiaskan dengan pecat dekan.Â
Ini ada apa? Atau begini. Tulis saja besar-besar di depan kampus, jika kampus itu milik menteri atau milik sang penguasa yang perkasa dan termulia di muka bumi. Ini tidak cukup. Ambil saja semua fakultas di kampus!
Saat Anda dalam posisi dekan dipecat lantaran menolak dokter asing praktik di Indonesia. Persis peristiwa kritisnya di Unair, titik dimana kebebasan akademik semestinya menjadi tradisi intelektual. Oleh karena itu, titik tolak dipecatnya dekan, mungkin ada baiknya diagnosa pertama kali ditujukan pada pihak yang "di atas angin." Jelas apa jelas?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H