Sebaliknya, apakah kita yakin jika dokter asing akan berdampak lebih baik bagi kesehatan.
Yang dipertanyakan juga adalah mana ada dokter asing yang lebih dahsyat yang betah tinggal di indonesia. Memangnya banyak dokter asing hebat yang nganggur atau tidak terpakai di negaranya. Ini cerita lain. Untuk pihak yang kontra wajar saja menilai jika pemerintah lebih baik meningkatkan daya saing dokter dalam negeri.
Menyangkut alasan setuju dokter asing tidak menjadi masalah. Yang penting dokter asing bisa menerima BPJS. Umpamanya, ita bisa renungkan pendapat seperti orang berobat harus ke Singapura.
Meskipun nampak absurd, ada hal yang menggelitik mungkin jika dokter asing dikaitkan dengan BPJS.Â
Saat ini, adakah dokter asing ingin digaji sama BPJS yang tidak seberapa itu? Dokter asing yang digaji lima ratus ribu per pasien, misalnya lagi?
Jika demikian, dokter asing juga boleh buat rumah sakit lebih terdepan kualitasnya dengan target sekaligus menularkan ilmu dan standar rumah sakit yang mantap betul. Jika dokter Indonesia punya standar yang berdaya saing tinggi, kita yakin perlahan-lahan para dokter asing akan berkurang hingga hengkang dari negara kita dengan sendirinya.
***
Runtuhnya kebebasan akademik mengambil contoh tidak jauh-jauh. Taruhlah misalnya, cerita yang berbeda dari sebuah perguruan tinggi melaksanakan ajang pemilihan dekan bisa diulang, yang faktanya di depan mata sudah terpilih.Â
Isunya karena dekan yang terpilih disinyalir bukan orangnya pemerintah. Jagoan kementerian terkait kalah saing.
Betapa intervensi dari luar kuat sekali terhadap pemilihan dekan. Bayangkan, bagaimana jika seorang akademisi jelata atau pinggiran? Makin kebebasan akademik diperjuangkan, makin terlihat watak asli yang bertentangan dengan tanda keintelektualan.
Sayangnya, otak dan pangkat bergeser ke dengkul. Sebagai atasan, rektor menjelma anti kritik. Ia malah berubah menjadi kekanak-kanakan bahkan penguasa "bertangan besi" dan angkuh.