"
Kebebasan akademik adalah kebebasan yang bersifat fundamental dalam rangka mengembangkan otonomi institusi akademik." Inilah poin pertama Prinsip-Prinsip Surabaya untuk Kebebasan Akademik.Yang hadir dan mendeklarasikan 'kebebasan akademik' itu dari profesor dan sivitas akademika lainnya.Â
Mereka bersuara lantang bukan kelas ecek-ecek. Lantas, pimpinan "di atas" seenak perutnya. Kenapa Anda ketawa? Tidaklah bestie! Ya, memang ada alasan kenapa Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga, Budi Santoso dipecat. Tetapi, semua alasan itu dianggap ngawur secara sepihak karena ada hasrat kuasa dalam kampus. Bukan soal dokter asing, tetapi kebebasan akademik yang terpasung.
Langkah atau setidaknya menyerempet bahaya "bunuh diri" kebebasan akademik tengah berlangsung di kampus cukup ternama tanah air. Atau ini slogan belaka?
Dulu dan sekarang, sebagai orang yang aktif di kota, saya banyak kenal kawan dari profesi dokter. Namanya dokter jelas sebagai profesi mulia.Â
Tetapi, sekarang di medsos seperti Instagram menyemburkan tagar #saveprofbus dan #kembalikankebebasanberpendapat. Luapan tagar itu nampaknya tidak sia-sia. Pada Kamis malam, terdapat balasan sebanyak 8,1 ribu orang. Siapa juga yang peduli? Dari pihak 'atasan' jangan harap, kecuali ogah atas pemecatan dekan.
Oh, ternyata urusannya cuma pecat-pecatan sebagai bentuk kebijakan internal untuk menerapkan tata kelola yang lebih baik di lingkungan Fakultas Kedokteran Unair. Boleh jadi pihak rektorat sedang "jaim," jaga imej atau jaga wibawa segala. Sehingga pemberhentian seorang dekan dianggap sebagai "anti pandang bulu" atas pihak yang menantang atasan.Â
Wah, rupanya pimpinan kampus kena sindrom "main kayu" juga yang dikenal sebagai masyarakat ilmiah hanya gegara berseberangan jalan dengan bawahan.
Kemarin, ribut soal dekan dipecat tidak terhindarkan. Sebuah petisi berbicara, yang ditandatangani oleh ribuan orang, yang menolak pemecatan Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga (FK-Unair). Budi Santoso itu siapa ya? Lumayan, seorang profesor yang kritis bahkan subversif di mata atasan.Â
Sepertinya Profesor Budi bukan orang sembarangan. Memangnya sosok profesor itu mantan anak gembel. Barangkali juga Profesor Budi sebagai jebolan dari "gua Plato" ala Indonesia menyentil atasan yang mulia.
Saking seriusnya pemecatan dekan, maka layak kita mencoba berpikir tentang sebuah gambar terbalik. Seumpama, jika dokter Indonesia, sebutlah yang bukan di kota besar dicoba untuk dinaturalisasi ke Australia, Malaysia, Singapura, atau Eropa, apakah mereka ditolak atau tidak? Saya kira, hal ini tidak jauh dari masalah kompetensi dan soal "asap dapur." Mungkin pula soal gengsi atau penanda dokter asing.Â