Mohon tunggu...
Ermansyah R. Hindi
Ermansyah R. Hindi Mohon Tunggu... Lainnya - Free Writer, ASN

Bacalah!

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop Pilihan

Datanglah Dokter Asing, Mampuslah Kebebasan Akademik

6 Juli 2024   05:45 Diperbarui: 7 Juli 2024   20:26 348
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ermansyah R. Hindi - Dokpri

"Kebebasan akademik adalah kebebasan yang bersifat fundamental dalam rangka mengembangkan otonomi institusi akademik." Inilah poin pertama Prinsip-Prinsip Surabaya untuk Kebebasan Akademik.

Yang hadir dan mendeklarasikan 'kebebasan akademik' itu dari profesor dan sivitas akademika lainnya. 

Mereka bersuara lantang bukan kelas ecek-ecek. Lantas, pimpinan "di atas" seenak perutnya. Kenapa Anda ketawa? Tidaklah bestie! Ya, memang ada alasan kenapa Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga, Budi Santoso dipecat. Tetapi, semua alasan itu dianggap ngawur secara sepihak karena ada hasrat kuasa dalam kampus. Bukan soal dokter asing, tetapi kebebasan akademik yang terpasung.

Langkah atau setidaknya menyerempet bahaya "bunuh diri" kebebasan akademik tengah berlangsung di kampus cukup ternama tanah air. Atau ini slogan belaka?

Dulu dan sekarang, sebagai orang yang aktif di kota, saya banyak kenal kawan dari profesi dokter. Namanya dokter jelas sebagai profesi mulia. 

Tetapi, sekarang di medsos seperti Instagram menyemburkan tagar #saveprofbus dan #kembalikankebebasanberpendapat. Luapan tagar itu nampaknya tidak sia-sia. Pada Kamis malam, terdapat balasan sebanyak 8,1 ribu orang. Siapa juga yang peduli? Dari pihak 'atasan' jangan harap, kecuali ogah atas pemecatan dekan.

Oh, ternyata urusannya cuma pecat-pecatan sebagai bentuk kebijakan internal untuk menerapkan tata kelola yang lebih baik di lingkungan Fakultas Kedokteran Unair. Boleh jadi pihak rektorat sedang "jaim," jaga imej atau jaga wibawa segala. Sehingga pemberhentian seorang dekan dianggap sebagai "anti pandang bulu" atas pihak yang menantang atasan. 

Wah, rupanya pimpinan kampus kena sindrom "main kayu" juga yang dikenal sebagai masyarakat ilmiah hanya gegara berseberangan jalan dengan bawahan.

Kemarin, ribut soal dekan dipecat tidak terhindarkan. Sebuah petisi berbicara, yang ditandatangani oleh ribuan orang, yang menolak pemecatan Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga (FK-Unair). Budi Santoso itu siapa ya? Lumayan, seorang profesor yang kritis bahkan subversif di mata atasan. 

Sepertinya Profesor Budi bukan orang sembarangan. Memangnya sosok profesor itu mantan anak gembel. Barangkali juga Profesor Budi sebagai jebolan dari "gua Plato" ala Indonesia menyentil atasan yang mulia.

Saking seriusnya pemecatan dekan, maka layak kita mencoba berpikir tentang sebuah gambar terbalik. Seumpama, jika dokter Indonesia, sebutlah yang bukan di kota besar dicoba untuk dinaturalisasi ke Australia, Malaysia, Singapura, atau Eropa, apakah mereka ditolak atau tidak? Saya kira, hal ini tidak jauh dari masalah kompetensi dan soal "asap dapur." Mungkin pula soal gengsi atau penanda dokter asing. 

Apa yang berbeda, dokter pribumi atau dokter asing? Jika dipandang profesi dokter sebagai taraf penanda cemerlang otak atau hebat status sosialnya.

Lalu, Descartes, Kant, Nietzsche atau Enstein apanya yang remeh? Mereka punya isi kepala menerobos sekian abad lamanya. Pikiran mereka juga melampaui zamannya sendiri. Ah, lebih baik kita sudahilah topik pembicaraan tersebut.

Lantas, apa yang menarik dengan Profesor Bus? 

Satu hal juga yang bisa dibicarakan, yaitu Profesor Bus sebagai orang yang gelisah melihat keadaan di sekitarnya. Dia memilih untuk menolak "tiarap" atau ingin membuktikan sebuah kampus merdeka adalah benar-benar merdeka secara intelektual dan moral. Dia mengendus aroma yang tidak biasanya. Karena dirinya menjadi penghalang keuntungan pribadi, terus Profesor Budi harus didepak dari posisinya.

Jika demikian, baiklah atasan! Anda tahu, jika saya membuat "asap dapur" atasan tidak mengepul. 

Oalah! Di situlah mentoknya dan habis perkara.

Kita mengandai-andai lagi dengan cara agak gila. Bagaimana jika dokter pribumi digaji rendah supaya pribumi tidak berminat menjadi dokter?

Berikutnya, profesi dokter diisi penuh oleh dokter-dokter asong dan aseng. Untuk apa? Supaya para dokter pribumi dibuat menganggur oleh dokter asing.

Pertanyaannya, mungkin sudah ada di kepala publik terutama para dokter. Untuk apa ada 92 hingga 115 Fakultas Kedokteran se-Indonesia? Seluruh mahasiswa kedokteran sekalian dari luar negeri.

Kemudian, kita menyimak alasan pemerintah yang ngotot mendatangkan dokter asing. Menurut kajian atau perhitungannya bahwa rata-rata dokter di Asia Tenggara mencapai 0,20 persen per 1.000 penduduk. Artinya, dari 1.000 penduduk, hanya 20 dokter spesialis. Hal ini menunjukkan bahwa dalam rasio dokter spesialis di Indonesia sebesar 0,12 per 1.000 penduduk. Dari seribuan penduduk, hanya 12 dokter spesialis. 

Pertimbangan lain diantaranya jumlah dokter di Indonesia masih kurang, yang tercermin dari rasio sekitar 0,47 sekaligus bertengger di peringkat 147 di dunia. Sampai di sini, salah satu alasan pemerintah untuk menggaet dokter asing.

Bagaimana dengan pro dan kontra? Bagi pihak yang pro dengan kebijakan dokter asing tidak kalah kencang seraya punya alasan. Langsung saja, Anda setuju. Coba kirimkan dokter asing ke daerah terpencil dan ke daerah paling luar! 

Kita ingin tahu agar para dokter asing bisa mendidik dan mencegah penyakit yang timbul di tengah masyarakat. Tidak cukup sampai di situ.

Para dokter asing mencoba mendiagnosa dengan keterbatasan alat, supaya mereka bisa kita mengukur kemampuan mereka. Itulah mengapa dokter asing cukup berbeda untuk dibandingkan dengan timnas bola karena semua pekerjaan bisa dinaturalisasi.

Disamping itu, seseorang yang setuju dengan dokter asing bekerja di rumah sakit di tanah air jika dilihat dari persaingan kualitas. Belum lagi seputar masalah masuk rumah sakit dan pasien pulang atau meninggal. Termasuk konsul dokter membawa obat sesuai keluhan pasien layaknya dokter asing sebagai "apotek berjalan."

Ada lagi yang pro, ketika dokter asing bukan untuk membuka praktik di dalam negeri. 

Tetapi, dokter asing didapuk sebagai instruktur untuk peningkatan kapasitas dokter pribumi, misalnya. Celakanya, hasil curhatan ada dokter pribumi menjadi dokter komersil. Kasus program jaminan kesehatan dasar saja pakai konsultasi berbayar. Untungnya ada pasien menemukan banyak dokter pribumi yang baik karena rela melayani masyarakat.

Aha, setuju! Selagi Ikatan Dokter Indonesia (IDI) lebih profesional pelayanannya. Kondisi tersebut bukan tanpa alasan, dimana sebagian kualitas dokter meragukan. Satu kasus. Anak saya sempat diopname di rumah sakit umum. Analisis dan diagnosa dokter rupanya meleset. 

Belum lagi cukup waktu untuk hasil pemeriksaan laboratorium. Terdengar pula cerita dari kawan, jika ada hasil pemeriksaan dokter ternyata salah diagnosa.

Giliran pihak yang kontra. Mereka melihat banyak terancam menganggur sebagai dokter. Mengapa juga mendatangkan dokter asing? Di benak mereka mengatakan alangkah tepatnya jika anggaran pendidikan kedokteran ditingkatkan alias diperbanyak beasiswa untuk pendidikan dokter.

Masih dari pihak yang kontra. Mendatangkan dokter asing berarti makin terpinggirkan dokter-dokter pribumi. Ada gejala menunjukkan pada penentu kebijakan kurang percaya dengan dokter pribumi.

Jika melihat data ratusan ribu yang terkena stroke, penyakit jantung, dan penyakit mematikan lainnya justeru memang solusi jangka pendek lebih baik dokter asing yang didatangkan ke dalam negeri. 

Sebaliknya, apakah kita yakin jika dokter asing akan berdampak lebih baik bagi kesehatan.

Yang dipertanyakan juga adalah mana ada dokter asing yang lebih dahsyat yang betah tinggal di indonesia. Memangnya banyak dokter asing hebat yang nganggur atau tidak terpakai di negaranya. Ini cerita lain. Untuk pihak yang kontra wajar saja menilai jika pemerintah lebih baik meningkatkan daya saing dokter dalam negeri.

Menyangkut alasan setuju dokter asing tidak menjadi masalah. Yang penting dokter asing bisa menerima BPJS. Umpamanya, ita bisa renungkan pendapat seperti orang berobat harus ke Singapura.

Meskipun nampak absurd, ada hal yang menggelitik mungkin jika dokter asing dikaitkan dengan BPJS. 

Saat ini, adakah dokter asing ingin digaji sama BPJS yang tidak seberapa itu? Dokter asing yang digaji lima ratus ribu per pasien, misalnya lagi?

Jika demikian, dokter asing juga boleh buat rumah sakit lebih terdepan kualitasnya dengan target sekaligus menularkan ilmu dan standar rumah sakit yang mantap betul. Jika dokter Indonesia punya standar yang berdaya saing tinggi, kita yakin perlahan-lahan para dokter asing akan berkurang hingga hengkang dari negara kita dengan sendirinya.

***

Runtuhnya kebebasan akademik mengambil contoh tidak jauh-jauh. Taruhlah misalnya, cerita yang berbeda dari sebuah perguruan tinggi melaksanakan ajang pemilihan dekan bisa diulang, yang faktanya di depan mata sudah terpilih. 

Isunya karena dekan yang terpilih disinyalir bukan orangnya pemerintah. Jagoan kementerian terkait kalah saing.

Betapa intervensi dari luar kuat sekali terhadap pemilihan dekan. Bayangkan, bagaimana jika seorang akademisi jelata atau pinggiran? Makin kebebasan akademik diperjuangkan, makin terlihat watak asli yang bertentangan dengan tanda keintelektualan.

Sayangnya, otak dan pangkat bergeser ke dengkul. Sebagai atasan, rektor menjelma anti kritik. Ia malah berubah menjadi kekanak-kanakan bahkan penguasa "bertangan besi" dan angkuh.

Apakah ini penanda omong kosong 'kampus merdeka'? Kita kembalikan jawabannya ke masing-masing pihak. Atau bukan sebuah masalah?

Akhirnya, critical thinking di kampus hanyalah bertepuk sebelah tangan.

Terus, apa juga capek-capek unjuk rasa. Di luar itu, wajarlah, sejumlah sivitas akademika dan dokter muda bentangkan poster dalam aksi unjuk rasa di depan halaman Fakultas Kedokteran, Unair. Mereka juga ada dalam kebebasan berekspresi dan berpendapat. Iyalah! Mereka melihat dan bersuara kritis karena ada sesuatu yang tidak beres. 

Jadi, bukan sekadar berkoar-koar di luar dan di ruang kosong sendiri.

Lebih dari itu, ada sesuatu "membonsai" kebebasan karena berbeda pendapat antara bawahan dan atasan. Terus, kampus milik siapa? Bapak Anda, keluarga Anda! Ayo apa alasannya? Mengapa Anda seenaknya mengatur ilmuwan kritis? 

Oke, berbeda pendapat itu sah-sah saja! Masakan berbeda pendapat dilampiaskan dengan pecat dekan. 

Ini ada apa? Atau begini. Tulis saja besar-besar di depan kampus, jika kampus itu milik menteri atau milik sang penguasa yang perkasa dan termulia di muka bumi. Ini tidak cukup. Ambil saja semua fakultas di kampus!

Saat Anda dalam posisi dekan dipecat lantaran menolak dokter asing praktik di Indonesia. Persis peristiwa kritisnya di Unair, titik dimana kebebasan akademik semestinya menjadi tradisi intelektual. Oleh karena itu, titik tolak dipecatnya dekan, mungkin ada baiknya diagnosa pertama kali ditujukan pada pihak yang "di atas angin." Jelas apa jelas?

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Vox Pop Selengkapnya
Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun