Mohon tunggu...
Ermansyah R. Hindi
Ermansyah R. Hindi Mohon Tunggu... Lainnya - Free Writer, ASN

Bacalah!

Selanjutnya

Tutup

Analisis Pilihan

Segalanya Mengalir

18 Januari 2024   17:19 Diperbarui: 18 Maret 2024   12:56 257
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
3 Capres di Debat ke-3 (Sumber gambar: kompas.com)

Pada suatu kesempatan, ruang obrolan lewat grup WhatsApp begitu seru dengan balas membalas komentar. Di satu pihak, luapan dukungan atas calon presiden dan calon wakil presiden. Pihak lainnya, terpesona dengan calon presiden dan calon wakil presiden pilihannya. Pokoknya, pro dan kontra. Bahkan ejekan dan candaan menghiasi obrolan grup. 

Tetapi, saat saling mengoceh dan silang pendapat itulah terjadi apa yang disebut segalanya mengalir. Mengalirnya dari mana dan kemana?

Mohon tunggu dulu, sebelum berlanjut keseruan obrolan grup. Dimana mantulnya? Adakah kacaunya? 

Saya coba numpang lewat obrolan tentang segalanya mengalir. Sambil menengok ke ponsel, mending lebih kepo lagi.  

Berita ”panas” apa lagi hari ini? Hari-hari terlewatkan dengan peristiwa aktual menjadi berita panas. Sebagian warganet rupanya tertarik dengan obrolan panas di medsos berdasarkan sudut pandang soal pilihan sang jagoan yang berbeda.

Mengalirnya sang jagoan lebih tertuju pada ketiga calon presiden dan calon wakil presiden. Karena maknanya tidak muncul yang lain dan baru, maka kita mengutip frasa Panta Rhei adalah 'segalanya mengalir' sebagai terjemahan yang lazim. Kita tahu, frasa Panta Rhei dinisbahkan pada filsuf Yunani Kuno, Heraclitus (540 SM - 480 SM).

Frasa Panta Rhei ternyata tidak selamanya mujur sebagai ujaran atau tulisan dari Heraclitus. Sarjana modern-Barat masih ragu dengan kutipan tersebut. Sejalan dengan John Burnett, filsuf Perancis-Yunani, Kostas Axelos (1942-2010 M) menyatakan bahwa Panta Rhei dari Heraclitus merupakan sesuatu yang kabur karena tidak punya sumber rujukan kuno. Ia adalah frasa yang diragukan.

Sebaliknya, biar pun kita mengabaikan perbedaan pandangan itu, ia segalanya mengalir. Kini dan entah kapan akhir dari segalanya mengalir. Hari, jam, menit, dan detik ini kita berbeda pilihan dan dukungan politik itu akan berjalan terus.

Dalam rumah tangga saja kita beda pilihan. Apalagi kita punya latar belakang organisasi, profesi, kultur hingga kehidupan yang berbeda dijamin tidak ajek, tidak diam di tempat. Politik punya dunia atau alam sendiri. Jika bukan berubah-ubah setiap saat, paling tidak politik itu mengalir. Terlepas dari kontroversi, terkecuali dari kecaman dan umpatan, malah politik adalah politik. 

Mengalir perlu dinikmati. Bersama atau bernafsi-nafsi? Terserah dari masing-masing pilihan kita. Paksa dan rela, bengkok dan tulus mengiringi segalanya mengalir. Dirinya mengalir dan berjalan terus.

Mengapa silang pendapat hingga bertengkar dan ricuh justeru tidak membuat negara cerai berai? Berdebat tidak membuat dunia kiamat, misalnya. Itu karena perbedaan menjadi hal biasa. Ia menempuh jalannya sendiri, yang terus menerus bergerak tanpa henti.

Betapa kekaguman segalanya mengalir pada dinamika politik tidak lain dari kaburnya perbedaan antara cara berpikir dan praktik politik. Jadi, politik pemilihan presiden ini merupakan bagian dari segalanya mengalir. 

Kita melihat segalanya mengalir memang sudah melangkah jauh. Ia ternyata melampaui makna harfiah, dari dulu hingga kini. Frasa segalanya mengalir dalam pengertian dan pemikiran yang berbeda.

Apa yang bisa kita katakan betul-betul nyata saat sejenak ada perbedaan kecil. Ada yang belum terpikirkan dari frasa segalanya mengalir dan ada yang dibicarakan, diwacanakan hingga didukung secara berulang-ulang dari ketiga capres-cawapres. Dari para pendukung dalam segalanya mengalir. Ia mengalir bersama pikiran, ide, hasrat, dan fantasi termasuk emosi para pendukung mereka. Segalanya mengalir menuju coblos Pilpres, 14 Pebruari 2024.

Kita seakan larut. Ada apa gerangan? Segalanya mengalir lewat ruang dan waktu, spasio-temporer. Analisis pun kadangkala terkecoh terhadap cuaca politik, yang berubah-ubah. Tetapi, politik bukan semata-mata soal tidak ajek atau berubah. Ia adalah segalanya mengalir. Dalam segalanya mengalir dalam dunia nyata ini, di dunia ide hingga politik praktis.

***

Hal-hal apa yang kita butuhkan untuk segalanya mengalir? Mari kita mulai dari tulisan Denny JA. Judul tulisan itu: "Setelah Debat Capres yang Ketiga." Denny JA biasa menulis judul dengan huruf kapital, semua huruf besar. 

Untuk sebuah keperluan, saya menyesal, judul tersebut dengan hanya huruf besar per kata. Kita bisa lihat hasil kata huruf besar pada judul di atas, tanpa mengubah judul aslinya. Saya sebar tulisan Denny JA ke grup WA yang paling panas dan paling menantang.

Untunglah, tulisan tersebut tidak menjadi "pembalap sunyi" setelah terlanjur "mendarat" di grup WA. 

Di sana, ada tanggapan dari warga grup. Sebuah benang merah yang merangsang pembicaraan. Berterus terangnya salah satu anggota grup yang memang menarik untuk menandai perhatian atas tulisan yang kerap saya kirim ke grup. 

Saya menyesal karena sering mengirim tulisan dari tokoh konsultan politik yang berilmu seakan "nyundul langit" sekaliber Denny JA. Kehadiran tulisannya seolah-olah mengalir jauh, sejauh aliran hasrat untuk mengetahui diantara isu-isu mutakhir nasional untuk memeriahkan pesta demokrasi.

Boleh dikata, muatan tulisan tersebut untuk menjelaskan dan menafsirkan data yang tersedia melalui Lembaga  Survei Indonesia (LSI) Denny JA. Ia merupakan lembaga survei tertua, yang malang melintang dalam dunia politik pemilihan umum (Pemilu). Ia punya reputasi yang diakui, baik di dalam maupun dari luar negeri. Dia yang empunya, pendirinya sekaligus konsultan politik yang mumpuni, pemikir, dan penulis hebat.

Satu pihak, dia menjelaskan bukan untuk menyimpan sejuta misteri kuasa, melainkan menyingkapkan gambaran nyata mengenai apa-apa yang sedang kita hadapi dan bagaimana cara melepaskan beban yang menghimpit terjadi di seputar peristiwa dan tokoh tertentu, yang sering disalahpahami oleh sebagian orang. 

Di pihak lain, nyaris sebagian kecil dari grup diskusi ingin mengeksplorasi begitu banyak terhadap sesuatu hal yang masih samar-samar di balik data hasil survei elektabilitas calon presiden dan calon wakil presiden, misalnya. Karena landasan ilmu pengetahuan yang kuat dari lembaga survei, seorang senior yakin bahwa survei bukan "boneka mainan" penyelenggara Pemilu. Dia rupanya sempat menempuh studi perbandingan politik di Amerika Serikat. 

Di negeri Paman Sam, pembagian wilayah hasil survei sebagai bahan masukan kebijakan pemerintah lewat kampanye. Sosok senior itu nampak membayangkan seandainya LSI Denny JA memanipulasi data hasil survei. "Ini yang saya tidak tahu," kata senior saya.

Sesungguhnya, tidak ada yang terlarang dalam diskusi secara terbuka sepanjang orang-orang bersedia berbeda pendapat dan didukung oleh argumen-argumen yang masuk akal. Suatu saat, orang-orang yang terlibat berdiskusi dengan ragam pemikiran menyambungkan satu titik ke titik lainnya melalui logika, pembuktian, dan analisis ilmiah mengenai data yang dirilis oleh lembaga survei. Keluar dari lingkaran opini berdasarkan data dan analisisnya tidak akan membatalkan apa yang sudah dirilis. 

Segala hal menuju jalan lurus, bergelok, dan tanjakan. Data yang valid sesuai metode ilmiah tanpa permainan kata-kata mereka yang tidak diketahui dimana ujung pangkalnya. Aliran data sejalan dengan aliran hasrat untuk memilih tentu bisa diuji kebenarannya di lapangan (para pemilih, termasuk pemilih mengambang dan pemilih yang belum menentukan pilihannya).

Kita mengakui pentingnya landasan ilmu pengetahuan dalam kegiatan survei elektabilitas, sebelum dan setelah debat calon presiden. Cukup menarik hasip survei saat ditinjau dari berbagai variabel. Jadi, mustahil dalam survei politik menggunakan cara "kaca mata kuda." Banyak faktor didalamnya yang turut memengaruhi elektoral calon presiden. Ada komentar dari salah seorang warga di grup ditimpali oleh warga yang pertama menanggapi tulisan Denny JA.

Menurut pengakuannya, dia nampak senang mengomentari tulisan itu karena dia sendiri pernah belajar tentang ilmu survei. Dia bukan kaleng-kaleng karena berhasil mengikuti kuliah satu semester, Manajemen Politik di George Washington University, AS. Ada lagi sosok yang tidak tinggal diam. Komentar senior yang satu ini memperingatkan pada kita tentang ilmu pengetahuan seturut dengan kampanye politik. Dia menambahkan agar jangan fanatik terhadap lembaga survei, yang menurutnya sama sekali tidak mendatangkan manfaat.

Aneh bin ajaib. Sebentar dia katakan pentingnya ilmu pengetahuan, di lain waktu tidak ada manfaatnya survei.

Akankah lembaga survei tanpa ilmu? Apakah kegiatan survei mampu bekerja jika tidak menggunakan metode ilmiah? Hal ini memang kedengaran lucu dan naif. Atas nama "tahun politik," seseorang lebih senang mengungkit-ungkit masalah politik, yang sudah berlalu. 

Kita juga disarankan untuk belajar tentang masalah kampanye Pemilu 2014 dan 2019, kampanye Jokowi. Kebohongan? Ia berlipatganda absurdnya. Saya juga makin heran bercampur geli. Saat metode survei yang tepat dan sah, maka ia tidak berganti seiring dari Pemilu ke Pemilu.

Lantas, saya mencoba berkomentar tentang kata-kata dari usia yang lebih tua. Ekspresi Data Denny JA bikin salfok dan tidak sreg, malah makin dongkol. Santuy saja obrolannya (saya tertawa lewat stiker). 

Cobalah! Saya tidak bermaksud mengajarinya. Bagaimana caranya? 

Salah satu cara untuk membantah argumen Denny JA dengan argumen lain. Satu diantaranya, dalam epistemologi kita mengenal hypothetical argument dan sceptical argument. Apa contohnya? 

"Jika Anda tidak percaya survei, Anda tidak dikibuli" (hypothetical argument)

Apa itu sceptical argument? "Jika kita menolak alias ragu atas Ekspresi Data Denny JA, maka kita mesti membantahnya juga dengan argumen ilmiah." Karena metode survei adalah bagian dari metode ilmiah, maka kita harus membantahnya (Ekspresi Data Denny JA) dengan kejelian melihat celah melalui prosedur dan metode ilmiah.

Masih orang yang sama dalam diskusi di grup. Saya mengomentari sesama warga grup yang berusia lebih tua, yaitu Imam Hasan (nama samaran). Asyik juga. Dalam sains modern, tanpa bermaksud mendikte, kita bisa menguji Ekspresi Data Denny JA. Entah itu melalui Context of Justification (CoJ) atau Context of Discovery (CoD)? "Lah, yang bohong siapa? Kalau kita ingin ajeg, tidak berubah alias tidak tanggung gugat, maka yang dipakai CoJ. Kalau diyatakan oleh LSI Denny JA dan CSIS, elektabilitas Prabowo 43 persen lebih, misalnya. Ya, itu saja." Tetapi, Ekspresi Data Denny JA bisa diuji dan dibantah dengan keduanya.

Khusus CoD, data itu bukan harga mati. Ia tidak bebas nilai. Data siap dibantah dengan Context of Discovery

"Wah, bukan gitu datanya." Ini datanya yang valid, sahih (CoD). Di situlah, Survei melawan Survei?

Pantaslah dalam diskusi ringan terjadi interupsi, sanggahan sama nikmatnya kritik sini dan kritik sana. Ada lagi yang datang dari sudut pandang berbeda. Seseorang mengatakan di grup: "Metode ilmiah bukanlah metode pencarian kebenaran mutlak. Hanya salah satu metode ilmu pengetahuan. 

Tingkat kebenaran hasilnya sangat ditetukan oleh subjektifitas di balik aktor yang terlibat didalamnya." Pernyataan bernada diakletis ini sepenuhnya tidak keliru sebagaimana tidak cemplangnya metode survei.

Berlanjut di tempo berikutnya. Saya anggap diskusi sebagai sarapan karena obrolan terjadi di pagi hari. Kali ini, obrolan saya disambar oleh Doktor Siswono (nama samaran). Dia seorang akademisi. 

Saya mencoba menjawab sekenanya. "Subyektivitas berlangsung dari pilihan masing-masing pemilih dan pendukung salah satu Capres-Cawapres (paling tidak di grup WA ini) lantaran tidak mampu membuktikan kebenaran (evidensial) antara huru-hara yang bertengger di kepala dan Ekspresi Data Denny JA (kembali ke topik) melalui survei opini publik berbasis data lapangan." Dari obrolan itu saja menandakan usia kita sudah bukan lagi tujuh belas tahun ke samping di grup terpanas.

Karena itu, kita (termasuk saya) hanya bacot karena tidak mampu membuktikan (demonstrasi) tentang bagaimana cara untuk mengetahui melalui metode ilmiah yang lebih sahih. Cara untuk mengetahui tentang siapa calon presiden dan calon wakil presiden yang unggul jelang 35-34 Hari Pencoblosan, 14 Pebruari 2024 (ogah dengan Survei) ternyata dalam bahasa gaul, "sotoy" alias sok tahu gara-gara kita tidak mampu untuk membuktikan bantahan atas Ekspresi Data Denny JA.

Maka, sisa "cara membaca" Ekspresi Data Denny JA, berjudul "Setelah Debat Capres yang Ketiga" (kembali ke Laptop). Satu diantaranya begini. Idealnya, ambang batas aman dua paslon di bawah Prabowo (katakanlah butuh 7 persen untuk tiket satu putaran) masing-masing memang membutuhkan tambahan sekian persen.

Katakanlah, kita mengambil sebuah rilis data lembaga survei. Pasangan Calon 2 (Dua) butuh sekitar kurang dari 10 persen untuk satu putaran. Pasangan Calon 1 (Satu) sekitar 27 persen dan Pasangan Calon 3 (Tiga) sekitar 35 persen juga untuk sampai satu putaran. Sementara, nyoblos sisa 30-29 hari, 14 Pebruari 2024? Jarak antara Prabowo-Gibran dengan kompetitornya, Anies-Muhaimin dan Ganjar-Mahfud di atas 17 persen.

Di samping itu, terdapat hal yang perlu dibicarakan mengenai berapa jumlah sampel yang ditangani oleh setiap Lembaga Survei (Pemilu/Pilpres). Saya kira, ada semacam standar sampel sebanyal 1.200 responden per Provinsi. Harap maklum, celoteh ini bukan sekadar justifikasi, pembenaran, melainkan penjelajahan dan penyingkapan kebenaran berkedok.

Segalanya mengalir ditandai dimana ada satu waktu sosok calon presiden, di situ ada calon presiden di lain waktu. Menariknya, setiap diterpa isu miring dari salah satu calon presiden, dia justeru semakin gercep untuk safari, kampanye atau menyambanga para pendukungnya.

Mereka bisa genjot samping kiri, genjot samping kanan di tengah masalah (jika betul-betul "mencium" ada masalah). Daripada nambah banyak musuh, mending mereka tidak ambil pusing. Isu digembar-gemborkan menambah semangat para calon presiden untuk turun ke khalayak umum. 

Mereka menyapa masyarakat, padahal terhembus kabar buruk. Mereka bertemu dengan sopir, pedagang, buruh, tokoh agama, santri, petani, nelayan, kawula muda hingga warga yang belum pernah kenal dengan calon presidennya di tengah gemuruh serangan bertubi-tubi menimpa mereka. Segalanya mengalir dari satu prinsip yang penting mereka ingin membangun dan memajukan Indonesia.

Berita politik paling anyar datang dari petisi 100 tokoh untuk menghembuskan pemakzulan terhadap Presiden Jokowi. Dari para pendukung berat. Apa katanya anak muda. "Apa kurang kerjaan?" "Itu mimpi di siang bolong, bro!" Kita bisa lihat Jokowi menganggap tuntutan keras itu bagai angin berlalu. Dia tidak goyah dari terpaan isu, sepersen pun.

Bagi pihak lain, terutama dari kompetitor Prabowo-Gibran menganggap pemakzulan sebagai pengalihan isu. Lalu, bagaimana dengan kasus videotron calon presiden, Anies Baswedan yang diturunkan di bilangan Jakarta dan Bekasi? Padahal belum cukup sepekan, videotron itu sudah dicopot? Nyatanya, di daerah yang terakhir disebut, ada upaya Bawaslu untuk mengusut kasus videotron sudah tercopot. Ataukah baliho Ganjar-Mahfud dicopot di suatu daerah? Lenyap satu, muncul di tempat lain. Demikian halnya masing-masing calon presiden saling sindir membuat segalanya mengalir akan bertahan lama.

Jika bukan alasan selingan dan dinamika politik, apalagi jika dikatakan permainan. Segalanya mengalir ada dalam permainan, setiap permainan juga ada dalam segalanya mengalir. Kita tidak bisa terburu-buru mengatakan jika salah satu pasangan calon berbuat curang hingga menghancurkan masa depan bangsa jika terpilih sebagai presiden dan wakil presiden kelak. Itulah diantaranya cara kerja frasa segalanya mengalir. Apapun perseturuhan politiknya akan muncul satu dinamika ke dinamika lainnya.

Kita melangkah dari satu hal yang segalanya mengalir ke mengalir lain. Apa yang baru saja dikatakan yang dimunculkan dari segalanya mengalir tidak menarik perhatian dari pihak hanya merebut hasil. Sejauh yang kita lihat, segalanya mengalir tidak laris bagi kaum "instan," lebih-lebih lagi bagi "si pendengkur" saat terjaga.

Satu hal yang menjadi tanda tanya ketika segalanya mengalir berhadapan dengan demokrasi yang dibajak oleh para pemodal jumbo atau "pebisnis gelap." Bukankah Pemilu 2024 dan yang sebelumnya menjadi pertaruhan demokrasi? Ia dibayangkan sudah terancam dalam bahaya besar. 

Sebagian orang melihat demokrasi berada di tubir jurang. Demokrasi siap ditelan oleh pelahap demokrasi.

Bagaimana harus menafsirkan dua tiang penyangga utama demokrasi, yaitu kebebasan dan toleransi sedang retak parah, yang tercermin antara pro penguasa dan kontra penguasa? Saat keduanya saling menyerang secara kasar, maka di situlah akan terjatuh dalam kehampaan makna persatuan dan kesatuan. Mereka larut atau lupa bahwa politik itu cair dan dinamis. 

Kita bisa cek dimana letak kelemahannya? Kita tahu, adanya polarisasi secara tajam antarpendukung mungkin karena belum dewasa dalam perbedaan pilihan politik.

Pihak yang pro penguasa perlahan-lahan akan meraup keuntungan berupa hak istimewa secara politis, diantaranya kebebasan dan toleransi. Hak-hak istimewa yang "di atas angin" itu kadangkala berfungsi untuk memainkan opini dan menyingkirkan lawan politik sebagai pihak yang kontra alias melawan rezim penguasa, yang sah sekalipun. Hak-hak istimewa dari pihak yang pro penguasa bisa dimainkan secara halus dan kasar, telanjang dan senyap.

Sementara, hak-hak dari pihak yang kontra penguasa, seperti hak berbicara dan berekspresi dibalik menjadi hak-hak yang patut dicurigai lantaran hak-hak tersebut dianggap mengancam posisi rezim penguasa. Salah sedikit dari pihak yang kontra penguasa bisa dicap sebagai hak-hak berbicara dan berekspresi secara bebas sebagai hak-hak "subversif." Menjurus apalagi terbukti subversif secara jelas dan nyata dari pihak yang kontra penguasa atas rezim penguasa merupakan mimpi buruk bagi masyarakat yang memperjuangkan demokrasi.

Sejatinya, dalam kehidupan demokrasi yang subtansial, setiap pemenuhan hak-hak warga negara mesti adil dan setara di hadapan hukum. Apakah saya dan Anda mengigau atau tidak? Bukankah juga penegakan hukum sebagai nilai dasar atau prinsip dari demokrasi? 

Di beberapa kasus, termasuk permainan politik, ranah hukum justeru dikebiri. Hukum dipolitisir demi politik kuasa. 

Jadilah tontonan nyata di hadapan mata kita, bagaimana kuasa dalam genggaman rezim penguasa mampu memainkan politik, sekalipun tindakannya bertentangan dengan hukum. Pada akhirnya, orang tidak bisa lagi membedakan, yang mana urusan negara dan yang mana urusan pribadi dan keluarga. Segalanya mengalir hingga melampaui kepentingan politik, yang diharapkan di ujung labirin muncul seberkas cahaya. Mengalir, mengalir, dan mengalir!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun