Satu pihak, dia menjelaskan bukan untuk menyimpan sejuta misteri kuasa, melainkan menyingkapkan gambaran nyata mengenai apa-apa yang sedang kita hadapi dan bagaimana cara melepaskan beban yang menghimpit terjadi di seputar peristiwa dan tokoh tertentu, yang sering disalahpahami oleh sebagian orang.Â
Di pihak lain, nyaris sebagian kecil dari grup diskusi ingin mengeksplorasi begitu banyak terhadap sesuatu hal yang masih samar-samar di balik data hasil survei elektabilitas calon presiden dan calon wakil presiden, misalnya. Karena landasan ilmu pengetahuan yang kuat dari lembaga survei, seorang senior yakin bahwa survei bukan "boneka mainan" penyelenggara Pemilu. Dia rupanya sempat menempuh studi perbandingan politik di Amerika Serikat.Â
Di negeri Paman Sam, pembagian wilayah hasil survei sebagai bahan masukan kebijakan pemerintah lewat kampanye. Sosok senior itu nampak membayangkan seandainya LSI Denny JA memanipulasi data hasil survei. "Ini yang saya tidak tahu," kata senior saya.
Sesungguhnya, tidak ada yang terlarang dalam diskusi secara terbuka sepanjang orang-orang bersedia berbeda pendapat dan didukung oleh argumen-argumen yang masuk akal. Suatu saat, orang-orang yang terlibat berdiskusi dengan ragam pemikiran menyambungkan satu titik ke titik lainnya melalui logika, pembuktian, dan analisis ilmiah mengenai data yang dirilis oleh lembaga survei. Keluar dari lingkaran opini berdasarkan data dan analisisnya tidak akan membatalkan apa yang sudah dirilis.Â
Segala hal menuju jalan lurus, bergelok, dan tanjakan. Data yang valid sesuai metode ilmiah tanpa permainan kata-kata mereka yang tidak diketahui dimana ujung pangkalnya. Aliran data sejalan dengan aliran hasrat untuk memilih tentu bisa diuji kebenarannya di lapangan (para pemilih, termasuk pemilih mengambang dan pemilih yang belum menentukan pilihannya).
Kita mengakui pentingnya landasan ilmu pengetahuan dalam kegiatan survei elektabilitas, sebelum dan setelah debat calon presiden. Cukup menarik hasip survei saat ditinjau dari berbagai variabel. Jadi, mustahil dalam survei politik menggunakan cara "kaca mata kuda." Banyak faktor didalamnya yang turut memengaruhi elektoral calon presiden. Ada komentar dari salah seorang warga di grup ditimpali oleh warga yang pertama menanggapi tulisan Denny JA.
Menurut pengakuannya, dia nampak senang mengomentari tulisan itu karena dia sendiri pernah belajar tentang ilmu survei. Dia bukan kaleng-kaleng karena berhasil mengikuti kuliah satu semester, Manajemen Politik di George Washington University, AS. Ada lagi sosok yang tidak tinggal diam. Komentar senior yang satu ini memperingatkan pada kita tentang ilmu pengetahuan seturut dengan kampanye politik. Dia menambahkan agar jangan fanatik terhadap lembaga survei, yang menurutnya sama sekali tidak mendatangkan manfaat.
Aneh bin ajaib. Sebentar dia katakan pentingnya ilmu pengetahuan, di lain waktu tidak ada manfaatnya survei.
Akankah lembaga survei tanpa ilmu? Apakah kegiatan survei mampu bekerja jika tidak menggunakan metode ilmiah? Hal ini memang kedengaran lucu dan naif. Atas nama "tahun politik," seseorang lebih senang mengungkit-ungkit masalah politik, yang sudah berlalu.Â
Kita juga disarankan untuk belajar tentang masalah kampanye Pemilu 2014 dan 2019, kampanye Jokowi. Kebohongan? Ia berlipatganda absurdnya. Saya juga makin heran bercampur geli. Saat metode survei yang tepat dan sah, maka ia tidak berganti seiring dari Pemilu ke Pemilu.
Lantas, saya mencoba berkomentar tentang kata-kata dari usia yang lebih tua. Ekspresi Data Denny JA bikin salfok dan tidak sreg, malah makin dongkol. Santuy saja obrolannya (saya tertawa lewat stiker).Â