Satu titik celah dari yang tertulis dan terbaca tidak hanya keterputusan pembacaan atau penulisan pada beberapa halaman dan bab saja, tetapi juga tinta yang tertoreh tidak dibentuk oleh permukaan bibir. Kata-kata yang dipadatkan telah meleleh karena basah oleh zat cair dan termuat di media online sehingga kata-kata atau angka-angkanya menjadi jelas atau sama sekali tidak jelas untuk dibaca kembali.
Pada dasarnya, titik rangsangan teks tertulis yang menyeret kita kedalamnya tidak terletak pada kalimat atau gambar yang memunculkan hasrat, tetapi, gejolak batin bersamaan pikiran. Yang membaca atau menulis sesuatu sampai subyek berada di luar buku yang memuat kalimat atau konsep. Gejolak batin atau sentuhan melalui pernyataan yang terlepas dari apakah salinan, penggandaan, tiruan atau nyata. Kalimat atau gambar, seperti kita tidak akan berusaha membaca dan menulis kembali tentang bintang-bintang tidak terkira jumlahnya sebagai bagian astronomi, karena tanda-tanda yang menggerakkan secara langsung mata kita terlebih dahulu diletakkan antara realitas sebelum disalin dan disebarkan secara luas. Mungkin angka-angka numerik dan huruf-huruf alfabetik tidak dikenal sampai sekarang membentuk relasi antara nyata dan imajiner mengundang pertanyaan besar.
Sekarang, teknik penerjemahan teks tertulis yang termuat dalam huruf paku misalnya, lewat bantuan kecerdasan artifisial.Â
Sudah tentu, teks tertulis dari tulisan kuno sebagai tubuh terkuak melalui realitas baru, yaitu kecerdasan artifisial.
Teks tertulis yang baru akan muncul menjadi pembacaan kembali terhadap angka-angka atau kata-kata yang tidak hanya terbaca lewat buku. Tetapi, seluruh pergerakan yang datang bertubi-tubi menjadi pernyataan yang tidak diketahui melalui perbedaan gelimang cuan lewat tulisan dan bermeditasi sebelum tulisan.
Apapun jenis huruf-huruf yang telah teracak dari akibat perpindahan kalimat yang murni ke bentuk salinan, ia tidak dapat disalin ke bentuk-bentuk pengungkapan tubuh yang keluar dari pembacaan batin. Fakta-fakta tertukar dengan tulisan bergantung pada kedalaman penuturan yang melintasi ruang, tembok-tembok, rak-rak, perpustakaan, dan bahkan pustakawan. Kealfaan, perbedaan, dan kebutaan lain muncul dari kelalaian pembacaan, bukanlah sesuatu yang tidak terkatakan atau terejakan. Buku yang diminati bukanlah sekedar dibaca atau sebagai obyek yang hanya di tangan seseorang.Â
Obyek bacaan bukan sejenis rantai kebergantungan gagasan melalui tuturan ketimbang gagasan yang dituangkan melalui teks tertulis. Lebih dari itu, teks tertulis dan pembacaan ulang atas realitas saling mengisi satu sama lainnya.
Setiap kesenangan dan penderitaan, riang dan ironi, komedi dan tragedi manusia hanya dapat dibaca dengan kemungkinan terjadi penolakan-penolakan yang tidak berarti melalui pembacaan batin. Bisa saja, relasi-relasi yang terbentuk dalam pembacaan batin tidak lebih dari kumpulan lelucon konyol dan tidak masuk akal, tetapi, pertukaran benda-benda dari rangkaian relasi yang sama antara penampakan dan kedalaman ruang tidak akan pernah ada jalinan makna sejati yang diperjuangkannya, tanpa pembacaan atas realitas yang berlapis-lapis, maka penanda dan petanda, pengarang dan pembaca sulit tertulis kembali.
Buku dan pustakawan, penerbit dan edisi akan berubah menjadi ‘dongeng’ bagi yang tidak doyan dengan tulisan. Segalanya memasuki titik celah saat diungkapkan dalam kematian makna.Â
Tantangan hidup tidak sama dengan doyan minum dan gila puji-pujan sebagai kesenangan selalu menguras dan menjajah pikiran.Â
Justeru pada saat rangkaian relasi-relasi ini berada pada tingkat tertinggi. Dapat dikatakan proposisi, setiap kecantikan adalah racun bagi hal-hal yang dikritisi, karena kritik berlangsung tatkala orang hanyut dalam kecantikan dirinya, dalam penampakan. Â