Anak-anak gaul sudah bisa mengunggah teks Al-Qur'an versi MP3 di ponsel atau di medsos. Siapa yang tidak senang menggunakan ponsel atau medsos di zaman now?
Medsos berbahaya sekaligus bermanfaat. Tenang, bro! Eh, Akhi, maksud saya, hehe.
Betapa senangnya saya dan Antum saat anak, adik atau keponakan sendiri bisa memainkan ponsel dengan membaca teks tertulis Al-Qur'an sebagai 'tulisan cahaya'.
Paling tidak, mereka bisa menyimak tulisan-suara Ilahi yang bersenandung melalui ponselnya.
Tetapi, betulkah akhir dari tulisan manual alias tulisan cetak, seperti buku, koran, majalah, dan sejenisnya?
Basis material dari tulisan tersebut tidak usang, melainkan mulai berangsur-angsur kehilangan daya tariknya karena sudah ketinggalan zaman.
Suatu ketika, saya sempat penasaran dengan satu atau dua eksemplar koran yang bertengger di atas meja ruang tunggu di kantor. Saking mata ini "nyantol" terhadap tajuk koran yang saya anggap menarik, lalu saya mencari halaman bersambung.
"Mengapa ukuran kertas koran nampak kecil dari biasanya?" Begitu gumanku. "Mungkin pengaruh media online, sehingga ukuran koran berbeda dari sebelumnya." Kurang lebih begitu jawaban dari seorang kawan.
Kita lupakan dulu urusan koran. Kita betul-betul ingin tanda ekspresi baru dan bacaan atas teks tertulis baru.
Kita ingin lebih nyaman, efektif, dan mobile membaca teks Al-Qur'an. Lagi pula, bermodal ponsel atau medsos dengan klik murattal Al-Qur'an 30 juz, misalnya di MP3.
Bacaan atas tulisan cahaya itu muncul di layar internet. Saya biasanya nge-Googling tentang murattal Al-Qur'an. Mulai dari Syekh Sudais, Muhammad Taha al-Junayd, Musyaari Rasyid, Hani ar-Rifai hingga Muammar ZA.
Semuanya kita bisa mengakses teks-suara Al-Qur'an. Saya acapkali membuka file penting yang ada urusannya dengan kegiatan kantor, di folder Personal Computer.
Saya juga harus mengakui urusan pribadi bercampur dengan urusan kantor sembari mendengar dan sesekali membaca teks tertulis Al-Qur'an secara online di medsos dan di internet. Murattal Al-Qur'an secara online tidak lebih dari tulisan cahaya. Ia menggantikan tulisan manual.
Tulisan cahaya berbasis online betul-betul tidak ribet. Kita bisa membaca teks tertulis berupa ayat demi ayat Al-Qur'an yang berjalan di layar secara online. Mudah dan nikmat!
Bagaimana jika saya sedikit mengurai (sekalipun saya bukan ahlinya) dari sudut pandang lain tentang tulisan cahaya (teks Al-Qur'an). Teks tertulis tersebut secara online memungkinkan tersaji di ponsel atau di medsos dan layar-layarnya.
Tulisan cahaya, ponsel, dan medsos sebagai 'tubuh'. Suatu 'tubuh' yang sedang mengalami 'metamorfosis' sedemikian rupa.
Baiklah, tatapan mata mengikuti penggabungan tubuh dan keriangan, fantasi ringan dan jarak pandang, yang pada akhirnya memasuki ruang yang berbeda.
Ruang tersebut penuh 'tulisan cahaya' memuat teks agama (Al-Qur'an). Tulisan cahaya banyak dibaca oleh kaum muslimin di masjid dan tempat lain.
Suara Ilahi bergema yang dipadatkan dalam bentuk teks tertulis melalui layar ponsel kerap disenandungkan dalam bulan suci Ramadhan. Permukaan layar media sosial tanpa cairan kental dalam tubuh dengan rangsangan cerita detektif, dan drama komedi.
Aura kekerasan cahaya dinetralisir dengan suara-tulisan cahaya Ilahi melalui ponsel atau medsos yang bertujuan untuk mengakhiri perang urat syaraf, hoaks, dan ujaran kebencian.
Penglihatan mata sekejap digambarkan sebagai percikan cahaya di ujung ruang kegelapan karena membersitkan ingatan-ingatan traumatik dan pergolakan aneh dalam suara Ilahi. Sedangkan, rentetan kegelapan di sekitar kita mengambil analogi "tungku api nafsu" yang berkobar-kobar menjelma sebagai suatu energi Ilahi.
Tetapi, nafsu yang padam dan kembali bergejolak menampik ekstase Keilahiaan. Garis-garis masa kegairahan individu yang kita bayangkan termuat dalam dimensi waktu telah 'menjadi binatang berakal' di hadapan hiperealitas.
Melalui kegairahan diri yang berada dalam ekstase Keilahiaan, maka tubuh di bawah kilatan-kilatan tajam sebuah tatapan penuh nafsu. Hiperealitas merupakan langkah pasti bagi pengaburan baru dari kebenaran.
Tersembunyi dalam 'wajah hiperealitas yang kusam' sebagai produksi hasrat yang tidak terkontrol.
Kebenaran, ingatan, dan khayalan akan menjadi kegairahan binatang berakal. Tubuh dengan lompatan, shalat, puasa, zakat, haji, bacaan, tulisan, nyanyian, dan hal-hal yang bisa digambarkan dari dalam tentang binatang berakal yang tipikal.
Tubuh secara murni dirembesi dengan kata-kata, citra, bau, rasa, dan warna disebut kualitas inderawi (Lockean).
Jenis tubuh ini begitu berbeda dengan tubuh menurut "Aku adalah binatang berakal." Kita mesti banyak belajar terhadap kemandekan atau kelihaian nafsu (dimana pikiran dibuat tidak berkutik saat berhadapan obyek hasrat yang tidak terkontrol.
Setiap orang membaca teks agama (Al-Qur'an) merasa adem setelah merahi tanda-tanda cahaya-Nya.
Dari titik ini, proses "menjadi binatang berakal" merupakan tugas dan tanggungjawab setiap individu. "Aku adalah binatang berakal" dalam tidur bersama dunia mimpi panjang. Dia bersama “Sang Pencipta” atas segala realitas seakan terjebak dalam kegototan pada apa yang harus ditulis oleh penulis.
Tetapi, kontradiksi mungkin terjadi antara kekaburan dan kecerahan ingatan, yaitu kelenyapan obyek dan jejak yang dipertajam oleh kelenyapan manusia akan diperbaharui melalui tulisan cahaya sebagai tanda ekstase Keilahiaan.
Jejak tulisan yang tidak terhapus bukan tulisan tanpa akhir, melainkan jejaknya diperbaharui menjadi tulisan yang lain.
Substansi tulisan cetak atau manual yang tidak bisa sirna karena hanya diganti dan diubah menjadi tulisan cahaya. Baik tulisan manual dan tulisan cahaya tidak terhapus menandakan masih ada jejak bahkan manusia.
Maka muncul pertanyaan. Apakah kontradiksi antara kegelapan dan cahaya saling berdialog, memantulkan percikan hikmah tanpa mimpi buruk menjadi sirna dalam dirinya?
Tulisan cahaya setelah kegelapan mengarungi jagat realitas baru di antara ruang kosong. Saya sadar, ada ruang kosong itu lenyap dalam tulisan cahaya (teks agama melalui ponsel atau medsos).
Ketika warna bercampur aduk dengan tanda ekspresi yang ditanggulangi oleh "Aku adalah binatang berakal," maka permasalahan yang kompleks bakal perlahan-lahan tersingkir dari kehidupan intelektual, spiritual, dan sosial karena haus akan informasi, yang belum tentu bisa disaring melalui media online yang menggempur kita dari segala penjuru.
Suguhan informasi membuat kita haus terus-menerus itu bisa muncul ketika kita hanya silau pada penampilan luar dan tertarik pada limpahan pengikut seorang pakar atau penulis keren.
Kita malah kurang tertarik pada konten, apakah suguhan informasi membawa ajaran kebenaran atau hanya menghamburkan beribu-ribu informasi sekadar untuk menghibur penonton? Itu lain soal.
Kemudian, kita lebih gampang mengakses tulisan cahaya dari huruf hijaiyyah maupun huruf latin lewat ponsel yang menyimpan MP3, misalnya, dan kita pun membaca teks Al-Quran seraya mendengarkan suara melalui murattal Juz ke 30 atau bahkan 30 Juz sekalian.
Tanda kegairahan teks pun tumbuh dengan sendirinya. Pokoknya, yang terbakar oleh nafsu akan lenyap seketika.
***
Apabila kita memikirkan obyek kamera, dimana hiperealitas menampakkan dirinya karena sentuhan keras sensasi. Ia layaknya gairah yang kosong dari makna energiknya di dunia pikiran.
Di sini, tubuh adalah tubuh yang datang dari hiperealitas seperti main game atau internet. Ia juga bisa menciptakan selera atau “menyadap” citra pikiran. Sebagaimana ada seorang memiliki hasrat untuk membeli sebuah kamera digital.
Terlebih awal, obyek yang “menciptakan” hasrat. Tulisan-suara Ilahi di balik tulisan cahaya (bacaan atas teks Al-Qur’an lewat ponsel atau medsos) akan menghidupkan hasrat agar lebih terkontrol dari penggunanya.
Sebagai obyek nyata, karena kamera digital dari ponsel bisa bermanfaat terutama mengambil obyek gambar sesuatu yang juga nyata.
Kekuatan logika yang dilahirkan oleh pengguna kamera tersebut cukup membosankan, karena nilai sesuatu obyek hanya sebatas nilai kegunaan eksklusif dari dunia maya.
Dalam kamera itu dilengkapi perhitungan jarak, cakupan atau batasan, muatan, dan bahkan jumlah warna terungkapkan. Prinsip logis bukan sekedar nama benda dan berhadapan dengan prinsip estetis.
Prinsip logis yang memaksakan sebuah kamera disinari dengan garis cahaya yang dipantulkan oleh obyek yang dipotret. Prinsip estetis menggambarkan suatu cahaya sebagai suatu persfektif kegairahan yang tidak diketahui kesilauan tubuh dengan penglihatan konvensional.
Sebuah obyek yang disorot cahaya melalui lensa yang memantulkan sebuah obyek tertentu tergiring dalam tubuh. Seseorang terlanjur disirami suatu cahaya kamera, dalam pikiran hanya satu, yaitu dunia yang ada dalam dirinya sangat menarik pandangan.
Betapa sebuah sarana pemuasan sensasi sangat menarik, tetapi mustahil tidak menarik prinsip estetis.
Suatu kamera interior adalah sarana sensasi dan media pergulatan pikiran, karena cahaya yang kuat ditransendensasikan untuk memperjelas bayangan dengan elemen pengaturan otomatis, seperti ketajaman gambar dan efek cahaya sebuah obyek.
Dalam tulisan cahaya itulah ada "mata" yang bernama kamera. Lantas, penjelasan tentang ketidakjarakan antara obyek dan tulisan cahaya melalui ketajaman sekaligus kekaburan sensorik.
Sebuah kamera dengan tulisan cahaya (teks Al-Qur'an melalui medsos dan internet), makin besar angka diafragma, makin kecil peluang sebuah diafragma atau sebaliknya. Karena semua alat-alat visual tidak lebih dari permainan cahaya.
Dalam cahaya sebuah benda hanyalah akhir kebutaan yang ada di dalam benda itu sendiri. Misalnya, seorang pembaca, melihat suatu kilatan cahaya dari kamera akan mengakibatkan efek pemancingan sensasi yang terbatas. Memancing penulis dan pembaca yang mengganggu pikirannya atas pantulan cahaya dari sebuah obyek yang tidak nyata dalam bentuk halusinasi ingatan melalui tulisan cahaya.
Bentuk yang tersembunyi dianggap bukan sebagai seni yang mencerahkan jiwa, mencakup rentetan huruf-huruf Arabik yang teratur dan menukik tajam.
Apabila kita memikirkan sebuah gambar tercetak melalui lensa kamera hanyalah obyek-obyek sebagai realitas spasial dengan garis dan lingkaran yang menyelimuti dirinya. Pantulan-pentulan tubuh bersama tulisan cahaya bernuansa intelektual dan spiritual sebetulnya tidak tersamarkan dengan ketajaman sensasi mata.
Karena itu, ruang tatapan dan pendengaran yang memisahkan, antara hal yang nyata dengan ilusi, terang dengan gelap. Tulisan cahaya melalui teks agama (Al-Qur'an) berbasis online bersentuhan dengan kehidupan adalah sehat.
Tetapi, berhadapan dengan teks tertulis, titik cahaya tanpa terhalangi oleh cahaya lain karena dinetralisir keindahan tulisan cahaya yang tidak terkira.
Pandangan sekilas tidak menggiurkan suatu intelek, karena ia hanya seperti ekspresi ocehan besar bagi sebuah tulisan cahaya menyatakan "ketiadaan dunia dalam dirinya sendiri", sesuatu yang tidak jelas, tidak lebih sebagai suatu 'kekaburan dunia'.
Kejelasan-kejelasan gambar diri yang ambigu dalam sebuah cermin, bukanlah 'pengetahuan diri'. Tetapi, sebuah penjelasan kekaburan yang saya pikirkan dan digembar-gemborkan sebagai pantulan cahaya yang redup dalam ruang kosong. Inilah yang perlu kita panjatkan. Kita mesti menyelidiki sebagai sebuah kamera sebagai bacaan atas teks tertulis dari tulisan cahaya (Al-Qur'an).
Selama paradoks tubuh dan jiwa, menyingkapkan struktur dan tanda sebagai ekstase Keilahiaan. Kita tidak perlu dunia dari sebuah permainan cahaya, ternyata dibalik makna yang harus dipecah-pecah menjadi sebuah kekusutan absurditas fantasi yang ditata demi dunia lain.
Pembentukan despiritualisasi tulisan cahaya selalu menentang "setan pikiran.'' Tergantung pada kejernihan intelektual dan ketentraman, terlepas dari akar-akar antara apa yang dipikirkan dan apa yang dibayangkan oleh seseorang.
Tanpa beban kata, tulisan cahaya bukan halusinasi. Ia adalah sebuah kehidupan dinamis akan memenuhi ruang kosong menjadi ekstase Keilahiaan.
Saya tidak meyakini bahwa saya berada di awan. Saya dan Anda senang membaca satu atau juz atau lebih tulisan cahaya (teks Al-Qur'an) dalam sehari.
Seorang pembaca tulisan cahaya berarti sang pemuja yang berpikir bagaimana mencermati taburan cahaya lampu jalan yang dianggap sekejap mata. Tetapi, membaca tulisan cahaya (teks Al-Qur'an) melampaui cahaya di balik lampu berpijar terang?
Dalam kesadaran diri, cahaya optikal di sekitar kita terseret ke arah tanda ekstase Keilahiaan.
Efek tubuh yang diciptakannya bersifat temporal, dimana kegelapan dunia masih di titik sensasional. Pikiran mengenai cahaya optikal masih berhubungan dengan tubuh yang ditampilkan dunia indera.
Cahaya yang ada pada tubuh setelah mendahului identitas benda. Kita telah mengarahkan kilatan tajam dari obyek yang lain menjadi kilatan-kilatan cahaya yang melebur dalam wihdat al-wujud (unity of existence, kesatuan wujud) merupakan substansi wujud Tuhan yang tunggal. Ketika kita menerima sinyal-sinyal sederhana dari kesadaran di balik tulisan cahaya.
Ketika kita menerima sinyal-sinyal sederhana dari kesadaran di balik tulisan cahaya, maka kita akan kembali ke semangat baru dengan waktu bergerak menembus tapal batas dunia fisik. Suatu peristiwa penulisan sebelum dan setelah tubuh pembaca tulisan cahaya melebihi persepsi indera.
Kita begitu mabuk dalam dunia ide, dimana eksistensinya bisa melebur dengan dunia ide. Menurut jiwa, tubuh yang "berubah" secara temporal, tidak terpisahkan dengan dunia indera, kecuali birahi-intelek sebagai sub kegairahan manusia.
Namun demikian, tubuh dan hasrat berkaitan dengan perasaan dan indera. Seperti juga dunia ide atau akal memang menantang saat dihubungkan dengan tubuh dan hasrat untuk menulis atau membaca tulisan cahaya tenyata masih ada minat yang besar pada tulisan cetak atau tinta.
Karena dengan akal, jiwa atau gairah membaca tulisan cahaya (teks Al-Qur’an) tidak semua bisa dipahami semata-mata melalui dunia indera. Substansi tidak lebih dari permasalahan tentang dunia.
Sementara, Neo Platonik menggambarkan nafsu sebagai bagian dari jiwa yang diletakkan di bawah akal dan kehendak.
Saat gairah membaca tulisan cahaya merupakan pijaran muncul melalui tubuh yang melekat, maka bayangan berada di ambang batas cahaya yang lain, yaitu dunia ide. Sebaliknya, kejahatan nafsu menjelma kebajikan yang hadir dalam dunia.
Saya tidak bisa berbicara lain, bahwa obyek di luar tubuh bagai “ekstase” Keilahiaan melintasi hasrat dan kesenangan untuk membaca tulisan cahaya (teks Al-Qur’an).
Dunia dari sebuah tahapan 'permainan metamorfosis'. Seringkali kita tidak bisa menerima gagasan lain bagi orang yang berkeinginan melihat dunia lain melalui tulisan cahaya.
Satu kali ketukan tangan di atas meja di tengah lingkaran "cahaya" berarti tidak lepas dari suatu tubuh.
Tulisan cahaya dengan ekstase Keilahiaan terarak-arak melintasi kepucatan para pemimpi, bahwa amarah sebagai sifat paling tipikal yang membekukan dunia.
Ketidakserasian amarah dan pikiran jernih mendisposisikan kedirian di dunianya sendiri, ketika birahi tidak terkelabui, tetapi, dunia dapat dinyatakan tetap eksis melalui pengelabuan kosa kata dan gambar.
Bisa dikatakan, hal-hal yang bukan hanya tampak di permukaan yang kita lihat telah tertulis melalui “tulisan-asali” (arché-writing), tetapi juga penafsiran atau pemahaman dari pembaca atas tulisan cetak atau tinta dari penulis mesti sejalan dengan tulisan cahaya. Selanjutnya, keberadaan tulisan cahaya mungkin akan diperbincangkan kembali setelah kelahiran ide tentang dunia.
Syukurlah, masih ada anak gaul dan anak-anak lainnya diantar dengan hasrat dan gairah membaca tulisan cahaya berbasis online (teks Al-Qur’an lewat HP, medsos atau internet) hingga mengkhatamkan 30 juz selama bulan Ramadhan.
Ia bukan lagi tatanan alam, tatanan psikis, dan apalagi tatanan tulisan sekadarnya. Dalam sebuah relasi di luar teks dunia yang awalnya buram ditata ulang dengan 'menulis' tentang kegelapan dan cahaya.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI