Apabila kita memikirkan obyek kamera dalam hiperealitas bergejolak karena sentuhan keras sensasi. Ia layaknya gairah yang kosong dari makna energiknya di dunia pikiran.Â
Di sini, tubuh adalah tubuh dari hiperealitas berhasil "menyadap" rahasia citra pikiran. Seperti ada seseorang memiliki hasrat untuk membeli sebuah kamera digital.Â
Terlebih awal, obyek yang "menciptakan" hasrat. Tulisan-suara Ilahi di balik tulisan cahaya (bacaan atas teks Al-Qur'an melalui ponsel atau medsos) akan menghidupkan hasrat agar lebih terkontrol dari penggunanya.
Sebagai obyek nyata, karena kamera digital dari ponsel bermanfaat terutama mengambil obyek gambar sesuatu yang juga nyata.Â
Kekuatan logika yang dilahirkan oleh pengguna kamera tersebut cukup membosankan, karena nilai sesuatu obyek hanya sebatas nilai kegunaan eksklusif dari dunia maya.Â
Dalam kamera itu dilengkapi perhitungan jarak, cakupan-batasan, muatan, dan bahkan jumlah warna terungkapkan. Prinsip logis bukan sekedar nama benda dan berhadapan dengan prinsip estetis.Â
Prinsip logis memaksakan sebuah kamera disinari dengan garis cahaya yang dipantulkan oleh obyek yang dipotret. Prinsip estetis menggambarkan cahaya sebagai suatu persfektif kegairahan yang tidak diketahui kesilauan tubuh dengan penglihatan konvensional.
Sebuah obyek yang disorot cahaya melalui lensa yang memantulkan sebuah obyek tertentu tergiring dalam tubuh. Seseorang terlanjur disirami suatu cahaya kamera, dalam pikiran hanya satu, yaitu dunia yang ada dalam dirinya sangat menarik pandangan.
Betapa sebuah sarana pemuasan sensasi sangat menarik, tetapi mustahil tidak menarik prinsip estetis.Â
Suatu kamera interior adalah sarana sensasi dan media pergulatan pikiran, karena cahaya yang kuat ditransendensasikan untuk memperjelas bayangan dengan elemen pengaturan otomatis, seperti ketajaman gambar dan efek cahaya sebuah obyek.Â
Dalam tulisan cahaya itulah ada "mata" yang bernama kamera. Lantas, penjelasan tentang ketidakjarakan antara obyek dan tulisan cahaya melalui ketajaman sekaligus kekaburan sensorik.