Lalu, kita juga sadar bahwa bagaimana jalan yang harus ditempuh agar negeri ini tidak berada dalam pengulangan beban utang yang sama dan berbeda, terutama tingkat pertumbuhan, pengendalian defisit, peningkatan, dan keterjangkauan infrastruktur.Â
Mungkin, suatu pandangan kita tentang peristiwa yang sedang berlangsung saat ini setidak-tidaknya datang dari dua hal.
Pertama, pengakuan atas hukum kausalitas sebagai nilai dan prinsip universal. Kita masih sering mendengar, bahwa krisis, pemulihan, dan harapan masa depan saling berinteraksi satu sama lain. Dibalik keterpurukan muncul kebangkitan.
Kedua, pengingkaran atas hukum kausalitas dengan cara meruntuhkannya dari dalam peristiwa mutakhir yang tidak ada hubungannya dengan masa lalu.Â
Kita tidak bermaksud untuk mengatakan bahwa yang memulai dari X dan mengakibatkan pada Y atau Z.
Satu hal juga, tanpa disadari, kita tidak jarang terperangkap pada pernyataan pribadi yang dicarikan pembenaran.Â
Dalam permasalahan sedemikian yang bersifat kompleks pada seseorang di luar diri kita.
Jika kita kembali pada karakter masyarakat Indonesia kontemporer, kita masih tetap sadar untuk menghindari pada hal yang kedua, suatu pandangan yang cukup menantang di era pasca-kebenaran.
Di atas semua hal tersebut, orang-orang akan memiliki pilihan hidup untuk mengungkapkan secara jernih tentang keadaan apa sesungguhnya yang kita hadapi, yang terlanjur sudah beban itu digunakan untuk kepentingan jangka panjang. Beban apakah itu? Utang Indonesia.
Harus diakui, kecenderungan utang negara kita meningkat dari periode ke perode, dari tahun ke tahun utang kita laksana membola-salju.Â
Data-data tentangnya bisa tersaji. Syahdan, secara genealogis, utang Indonesia dikenal dengan istilah 'ekonomi utang' muncul sejak zaman Orde Baru dan ternyata terwariskan hingga pasca reformasi.