Mohon tunggu...
Ermansyah R. Hindi
Ermansyah R. Hindi Mohon Tunggu... Lainnya - Free Writer, ASN

Bacalah!

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Alarm Terdengar Jauh Sebelum Resesi Global

11 Januari 2023   18:15 Diperbarui: 11 Januari 2023   20:44 425
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi resesi global 2023 (Sumber gambar: Bisnis Ekonomi)

Pada saat tertentu, tema pembicaraan tentang utang negara di tanah air kita tidak begitu aktual. 

Sebagian orang menganggap biasa-biasa saja, karena dimaklumi ada alasan pembenaran terjadi di masa-masa sebelumnya.

Setiap rezim kuasa negara masing-masing tampil di atas panggung menghadapi situasi yang berbeda dengan rangkaian pilihan orientasi, cara, dan langkah-langkah yang memang tidak mudah untuk membebaskan negara kita dari beban utang.

Sebagian yang lain membuatnya tidak mampu tersenyum gembira. Sesungguhnya kita akan meninggalkan pertanyaan yang menjurus pada sesuatu. 

Siapa yang memulai suatu permulaan? Siapa yang bertanggungjawab dari permasalahan yang kita hadapi?

Kita akan menempuh cara yang berbeda dengan menggali kuburan kita sendiri, jika anak bangsa saling berhadap-hadapan hingga berlarut-larut tanpa diketahui dimana ujung pangkalnya. 

Marilah menatap masa depan kita, apapun keadaannya, sambil belajar secara sungguh-sungguh tentang peristiwa yang telah berlalu!

Agaknya di sini kita tidak perlu lagi meniupkan terompet 'hari pembalasan'. Bisa dikatakan, dimana-mana kita berkeluh kesah, yang sesungguhnya tidak ada gunanya untuk memecahkan permasalahan. 

Bagi yang mengikuti perkembangan Indonesia, perbedaan suasana dari orang-orang, ada yang satu menyantai dan yang lain menegang menanggapi permasalahan utang, jika ia dianggap sebuah permasalahan.

Semuanya itu bukanlah sejenis pertentangan, melainkan sesuatu yang plural. 

Paling penting sekarang, bagaimana mengikatkan seluruh anak zaman pada sebuah simfoni kehidupan, bukan kehidupan di bawah bayang-bayang tembok raksasa berdiri dibalik kedirian kita.

Lalu, kita juga sadar bahwa bagaimana jalan yang harus ditempuh agar negeri ini tidak berada dalam pengulangan beban utang yang sama dan berbeda, terutama tingkat pertumbuhan, pengendalian defisit, peningkatan, dan keterjangkauan infrastruktur. 

Mungkin, suatu pandangan kita tentang peristiwa yang sedang berlangsung saat ini setidak-tidaknya datang dari dua hal.

Pertama, pengakuan atas hukum kausalitas sebagai nilai dan prinsip universal. Kita masih sering mendengar, bahwa krisis, pemulihan, dan harapan masa depan saling berinteraksi satu sama lain. Dibalik keterpurukan muncul kebangkitan.

Kedua, pengingkaran atas hukum kausalitas dengan cara meruntuhkannya dari dalam peristiwa mutakhir yang tidak ada hubungannya dengan masa lalu. 

Kita tidak bermaksud untuk mengatakan bahwa yang memulai dari X dan mengakibatkan pada Y atau Z.

Satu hal juga, tanpa disadari, kita tidak jarang terperangkap pada pernyataan pribadi yang dicarikan pembenaran. 

Dalam permasalahan sedemikian yang bersifat kompleks pada seseorang di luar diri kita.

Jika kita kembali pada karakter masyarakat Indonesia kontemporer, kita masih tetap sadar untuk menghindari pada hal yang kedua, suatu pandangan yang cukup menantang di era pasca-kebenaran.

Di atas semua hal tersebut, orang-orang akan memiliki pilihan hidup untuk mengungkapkan secara jernih tentang keadaan apa sesungguhnya yang kita hadapi, yang terlanjur sudah beban itu digunakan untuk kepentingan jangka panjang. Beban apakah itu? Utang Indonesia.

Harus diakui, kecenderungan utang negara kita meningkat dari periode ke perode, dari tahun ke tahun utang kita laksana membola-salju. 

Data-data tentangnya bisa tersaji. Syahdan, secara genealogis, utang Indonesia dikenal dengan istilah 'ekonomi utang' muncul sejak zaman Orde Baru dan ternyata terwariskan hingga pasca reformasi.

Pada wilayah yang tidak jelas, dimana gambarnya diproyeksikan agar pemikiran modern bisa menerobos fantasi ekonomi utang yang ditopang oleh kalkulasi atau logika kuantitatif.

Namun demikian, akar-akar kemunculan beban utang itu menjadi alat pembenaran terhadap perkembangan kondisi kekinian. 

Terbuka kemungkinan terjadi perbandingan antara rezim yang lama dan rezim yang baru.

Malahan angka-angka utang dijadikan komodifikasi politik yang dipertontonkan. Kebijakan tidak populer dimainkan dalam permainan politik bertujuan untuk menyudutkan, meme, dan nyinyir. 

Di situlah terjalin dalam relasi antara nalar ekonomi utang dan komodifikasi politik  berlangsung di antara kebijakan yang ditempuh oleh pemerintah.

Persepsi menjadi rujukan tersendiri menyangkut perkembangan kinerja ekonomi nasional. Dalam perbedaan tidak terelakkan, pihak yang satu mempersepsikan rezim pasar melahirkan perubahan.

Pihak yang lain menilai rezim baru telah mematikan perubahan dan transformasi kehidupan bangsa dan negara di berbagai bidang pembangunan yang telah dirahi.

Demikian pula sebaliknya, semuanya bisa juga dievaluasi atau disoroti dengan kaca mata kenampakan yang berbeda. Dinamika atau dialektika pemerintahan tidak terlepas dari tarik-menarik antara kebijakan populer dan yang bukan. 

Sesungguhnya juga merupakan bagian dari beban tanggungjawab yang dipikul menjadi bahan pertimbangan dalam pengambilan kebijakan utang.

Sekiranya diharapkan pola kebijakan betul-betul efektif untuk mengeluarkan kemelut atau lilitan utang. Oleh pemerintah yang sedang berjalan menggunakan untuk membiayai beban hidup masyarakat dari dampak pandemi corona, yang ditandai refocusing anggaran negara. Meskipun harus diakui bahwa pergerakan utang negara tidak menyusut dalam nominal, malahan berlipat ganda dan menumpuk terus-menerus.

Tetapi, tarik ulur dengan bulan dan tahun sebelumnya yang memungkinkan juga terjadi penurunan utang. 

Setiap langkah yang akan ditempuh oleh pemerintah akan menemukan resiko dan dampak apalagi di tengah resesi global, 2023. Ia ditandai makin terbentuk penumpukan beban ekonomi, sosial, dan sumber daya lainnya. 

Kita mengetahui, jika penumpukan beban yang bernama utang negara menimbulkan efek tidak main-main.

Sesuatu yang terjadi dalam proses penumpukan biasanya memiliki efek samping. Kemiripan dan analogi terlibat dalam peristiwa disiplin ilmu pengetahuan, seperti dalam praktek diskursus ekonomi.

Kemiripan analogi berperan dalam penilaian atas beban utang negara tanpa mengabaikan perbedaan dalam wilayah pembentukan efek penumpukan beban yang ditimbulkannya. 

Lebih dekat dari angka-angka yang diperhadapkan pada perbedaan penilaian atas kesahihan a priori ekonomi (stabil). Satu hal yang kita mencoba membangun beberapa arah kebijakan pemerintah.

Pada umumnya, pengambilan kebijakan diarahkan untuk menanggulangi dampak yang ditimbulkan dari peningkatan utang negara. 

Pemanfaatan dan keberlanjutan secara efektif dan efisien dengan pertimbangan yang masuk akal. Dalam cara berpikir logis, perhitungan, dan pengukuran yang mengantisipasi terjadinya kebijakan kontroversial.

Kebijakan yang sama selalu berulang pada kasus pembentukan pokok dan bunga utang yang tidak diimbangi penerimaan yang besar bersumber dari pajak dan non pajak akan memiliki konsekuensi logis pula, ditandai dengan rapuhnya APBN.

Pada akhirnya beban utang negara yang menumpuk dan menumpuk akan menggiring prakondisi ketidakseimbangan ekonomi nasional. Didik J. Rachbini, Ekonom Senior Institute for Development of Economics and Finance (Indef), mengatakan: "Kalau dulu dipicu oleh nilai tukar, maka sekarang dipicu oleh APBN yang sekarat dan krisis pandemi karena penanganan yang salah kaprah sejak awal. 

Jadi, gabungan dari kedua faktor itu potensial memicu krisis ekonomi," tuturnya. Sejauh itukah dampaknya?

Kemunculan beban utang yang menumpuk menandai teknik perhitungan dan bagaimana memformulasikan kebijakan fiskal untuk menanggulangi pembengkakan defisit.

Dalam hal ini Menteri Keuangan, Sri Mulyani Indrawati. "Kami memahami bahwa extraordinary fiscal policy selama Covid-19 memberikan beban yang meningkat bagi APBN kita. Rasio utang kita meningkat dari 30 persen menjadi di akhir dan tahun depan akan mencapai di atas 40 persen," ujarnya di Komisi XI.

Langkah demi langkah penanganan beban utang yang menumpuk di tengah krisis corona telah melibatkan mode kehidupan. 

Perhitungan atas dampak atau konsekuensi beban utang yang diperhadapkan krisis merupakan bentuk pengorbanan masyarakat. 

Karena itu, beban utang ditanggung orang per orang sebesar puluhan juta rupiah berdasarkan hasil pembagian jumlah utang dengan jumlah penduduk.

Begitulah bukti-bukti dan fakta ketika beban utang dibayar oleh negara sekaligus obyek korbannya ditimpakan pada masyarakat luas. 

Ragam komentar dan pernyataan keprihatinan bercampur dukungan terhadap langkah-langkah kebijakan afirmatif yang ditempuh oleh pemerintah.

Rangkaian pernyataan, seperti: "Apapun yang dilakukan pemerintah pasti itu yang terbaik ... hanya orang bodoh yang bisanya cuma mem-bully pedahal tidak tahu apa-apa." "Dalam kondisi pandemi seperti ini bukan hanya Indonesia yang merasakan beban berat memenuhi kebutuhan rakyatnya. Apalagi yang bisa dilakukan selain berhutang karena kebutuhan rakyat diatas segalanya. Semoga pandemi cepat berlalu." "... Tentu saja tidak. Masih banyak lagi hal yang harus di perbaiki oleh pemerintah Indonesia. Seharusnya mereka tidak menambah utang negara, tetapi memperbaiki struktur kekacauan dari dalam dulu, dimana koruptor seharusnya dihukum secara adil, oknum-oknum diberikan hukuman, memberikan fasilitas yang bisa di jangkau semua rakyat ..." "Ujung-ujungnya bea pajak dan tagihan akan baik buat melunasi utang negara tetapi sedikit yang dinikmati. Perlu keberanian seorang pemimipin dan dukungan rakyat penuh untuk mengatasinya."

Tetapi, satu artikulasi yang dipertimbangkan untuk menghadapi peningkatan utang negara yang bergeser dari perubahan nilai tukar ke sistem fiskal (APBN) yang teridentifikasi sebagai pemicunya. 

Pertimbangan ulang ditujukan pada pengelolaan utang melalui APBN. 

Negara kita ternyata dalam masa yang tidak dipastikan kapan pertumbuhan ekonomi di atas lima persen bergantung pada krisis.

Instrumen harus diuji kemampuan analisis pendapatan dan pembiayaan maupun pilihan instrumen kebijakan lain. Ia diharapkan kegunaannya untuk mengokohkan penanganan pandemi dan pemulihan ekonomi nasional. 

Hanya dengan keseimbangan konfiguratif dari utang dan penerimaan negara, maka secara perlahan-lahan pembayaran atas cicilan atau bunga utang dapat berjalan sesuai dengan kesepakatan penggunaan uang.

Bank Dunia misalnya, menetapkan utang dibayar dengan uang yang direpresentasikan dalam nilai tukar mata uang negara penerima pinjaman terhadap dollar Amerika Serikat yang dibangun dari tahun ke tahun pemberlakuan kewajibannya pada kreditor, pemberi pinjaman.

Tanda-tanda pertumbuhan utang luar negeri jangka panjang merupakan pengalaman yang berbeda dengan jenis utang lain, seperti utang jangka pendek. 

Pemberlakuan kewajiban sebagai debitor, penerima pinjaman tidak menyatakan dirinya melalui rasio utang atau surat utang.

Tidak bisa dipungkiri bahwa utang menjadi obyek kebutuhan dan Hasrat. Ia terbangun dalam korelasi kemampuan pembayaran dan tingkat penerimaan negara. 

Utang menggantikan kesalingpengaruhan penyediaan untuk pembiayaan berupa uang. Relasi timbal balik antara utang dan uang dibangun dalam bentuk dokumen perjanjian, nilai tukar mata uang, dan sirkulasi.

Dalam perkembangannya, rangkaian kewajiban untuk membayar utang yang dibebankan pada penerima pinjaman memiliki kekuatan penampilan pembayaran. Ia meliputi perjanjian utang piutang tidak meninggalkan sama sekali residu yang dimunculkannya.

Sekali lagi, utang sangat memungkinkan diuangkan dan cara pengukuran secara tepat hanya pada utang, bukan ditujukan pada rincian kewajiban debitor terhadap kreditor.

Kekuatan penampilan memikat yang memberi arah untuk menghidupkan permukaan surat utang, dimana pembentukan kesimultanan antara utang dan uang.

Dimana ada utang di situ ada uang. Kemunculan utang sejak puluhan tahun lalu dilacak dalam jejak dan tanda-tanda yang direpresentasikan dalam uang. 

Pengetahuan tentang utang itu juga menjadi pengetahuan tentang uang. Pergerakan transaksi pembayaran dan sirkulasi yang melekat dalam representasi dan tanda-tanda penggunaan mata uang yang berada di sekitar kita.

Dalam cara yang masuk kedalam transaksi mengantarkan pada sejumlah perkembangan wujud dan status utang hingga perhitungan pada tingkat ke berapa pembayaran dan pada ambang batas dimana diketahui ancamannya yang memberi sinyal kemunculan krisis lain. Hal itu, justeru akan menjadi sejenis akumulasi yang berjalan melebihi wujud alamiahnya.

Apakah utang berlaku tidak lebih dari seratus ataukah lebih dari itu? Belum lagi kita membicarakan tentang kebutuhan dan hasrat untuk bertahan hidup. "Nasi yang ayah, ibu, dan anak-anak makan, rumah, jalan beraspal, jembatan, bandara udara, pelabuhan, sarana dan prasarana transportasi yang Anda gunakan atau usaha yang kita jalankan, semuanya dari utang negara."

Seluruhnya bisa ditampilkan juga merupakan obyek kebutuhan dan Hasrat. Disamping itu, utang  sekalipun membebani, ia tetap akan selalu dihubungkan dengan kesenangan dan kegunaan atau selera untuk mengulangi pemenuhan kebutuhan.

Jika pengggunaan surat utang menemukan tempatnya dalam rupiah. Tetapi, ia terikat dengan perjanjian tenggang waktu. 

Sebuah mekanisme penerbitan surat utang berdenominasi merupakan satu representasi bisa ditandakan untuk diketahui oleh publik.

Hal-hal yang ditandai menemukan tempatnya dalam kebutuhan, kegunaan, dan kesenangan berutang menimbulkan perbedaan kekuatan penampilan utang ketika rasio utang negara tidak menandakan bahwa ia merupakan kategori negara miskin. 

Perbedaan kekuatan penampilan bisa diparadokskan pada negara tertentu memiliki utang yang banyak. 

Tetapi, ia dihubungkan dengan nilai tukar mata uang yang tidak sedikit direpresentasikan justeru merupakan negara maju seperti Jepang.

Sejauh ini, untuk memainkan peran representasi, uang harus dikelola untuk pembayaran utang. Penyicilannya berguna untuk mengurangi pokok dan bunga utang jangka panjang. 

Dalam nilai yang dimiliki semua uang menuju sumber pinjaman dari pihak asing ke pinjaman lokal.

Permasalahan bukan saat terjadinya pergeseran sumber pinjaman. Tetapi, berapa lama utang harus dibayar dan berapa besar penambahan utang dengan kesepakatan masa pinjaman diatur oleh masing-masing pihak.

Uang menandai atau tidaknya kemampuan pembayaran utang, tetapi ia bukanlah representasi bagi masyarakat yang menanggungnya, sekalipun utang dianggap 'aman' oleh Bank Dunia atau IMF. Bukan permasalahan beban yang berat, lama, dan terwariskan dari sekian dekade. 

Rangkaian tanggungan bahkan ritual pengorbanan masyarakat melalui utang juga bukan tanda kekayaan. 

Karena itu, hanya segelintir saja yang memiliki uang yang melimpah di tangannya dari keseluruhan penduduk Indonesia.

Dalam pemikiran klasik, analisis kekayaan tidak memuaskan jika dibandingkan gambaran uang, rente, laba, sumber penerimaan, dan utang publik sejak zaman Adam Smith bersama The Wealth of Nation (1958). 

Tetapi, titik perbedaan konteks utang saat ini mula-mula direpresentasikan untuk menjadi sebuah tanda. Satu diantaranya kemampuan untuk membayar utang ditanggung oleh per jiwa dari keseluruhan penduduk di negara kita hingga tempo penanganan utang yang tidak dipastikan kapan berakhirnya.

Berlipat gandanya utang dari masing-masing rezim memiliki argumen kebijakan tersendiri, yang diselingi dengan perbedaan kekuatan penampilan dalam bentuk dampak yang lebih banyak dan membekas akan menimpa orang-orang miskin. 

Sementara, kehadiran utang yang jelas terjadi antara prinsip manfaat, kebutuhan, akumulasi, dan peraturan selalu dilampaui oleh kesenangan.

Anak-anak kita tidak ingin mengurusi atau tidak menanggung beban utang dari utang ke utang lain. Ia ditandai jatuh tempo sudah dilewati. Di bawah satu kebijakan untuk melanjutkan kembali pinjaman berjangka lain. Apa yang terjadi dalam rumah kita? "O, Anakku, tidak rela kuwariskan utang ('mimpi buruk') padamu. Tetapi ... ?" 

Sesungguhnya, mimpi, ingatan, dan imajinasi anak-anak zaman tidak ingin terganggu dengan kehadiran utang yang menumpuk.

Mereka sendiri tidak mengetahui jika utang negara turut ditanggungi dari masa ke masa. Perjalanan kehidupan mereka masih lebih panjang, mungkin sepanjang masa berlakunya utang negara.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun