Selama tahun politik, permainan politik kembali riuh memenuhi jagat diskursus. Tetapi, riuhnya peristiwa yang terjadi, diskursus intelektual terasa hambar tanpa pilihan politik dan pilihan seksual.
Pertanyaannya, apa hubungannnya pilihan politik dan pilihan seksual dalam kontestasi pemilihan umum?
Dalam benak kita mungkin tergambar kisah seorang politisi terduga melakukan pelecehan seksual terhadap stafnya. Maaf (vulgar), diajak wik wik dulu sebelum masuk ke bilik suara.
Gambaran tersebut amat berbeda dengan apa yang dimaksud pilihan politik sebagai pilihan seksual.
Ini bukam fantasi gila-gilaan. Lalu, apa yang dimaksud pilihan politik itu juga pilihan seksual? Sabar sodara!Â
Marilah kita sejenak merenung sembari periksa di bagian kepala, jangan sampai rambut rontok.
Mengapa kita memilih si ang, si ing atau si eng?
Ada kemungkinan kita memilih lantaran ada daya pikat tersendiri. Kesan pertama begitu menggoda.
Alasan lain, mungkin karena kita lebih bergairah memilih calon pemimpin yang akan membawa masa depan gemilang negeri ini, misalnya.Â
Jadi, sesuatu yang memikat dan merangsang itulah politik serupa seksual dalam pengertian yang luas.
***
Pilihan politik dan pilihan seksual tidak lebih dari pernyataan secara terbuka menjadi kebenaran.Â
Diakui, ia masih tetap disorot sebagai permasalahn moral. Bahaya bagaimanapun juga, ia menjadi diskursus.
Satu diskursus berganti ke diskursus lainnya. Ia menghilang sebelum waktunya nampak menuju titik akhir pelanggaran batas-batas pilihan politik seseorang seiring dengan hilangnya tabu dan larangan atas pilihan seksual.
Saat kita melihat plihan berangsur-angsur akan dibangkitkan, maka pilihan politik yang terseksualkan hanyalah sifat alami menjalar dalam kehidupan politik yang dinamis dan cair.Â
Sesuatu hal yang menggembirakan, ketika artikulasi kepentingan ternyata tidak bisa dilepaskan dari artikulasi kesenangan seksual.
Dalam diskursus politik, produksi gagasan tidak muncul tanpa produksi hasrat seksual. Artinya, pilihan politik menyentuh sesuatu yang sifatnya pribadi dan sangat dalam.Â
Kita masih saja terjatuh dalam pengulangan diskursus tanpa benar-benar menemukan suatu batas-batas gambar baru dengan mekanisme yang belum dikenal sebelumnya.
Betapa diskursus memaksa kita untuk menggunakan diskursus lainnya.Â
Meskipun kita terpaksa secara tidak gegabah untuk meminjam perbendaharaan bahasa dan logika, maka kita sendiri belum tentu mengerti apa-apa yang dimaksudkan.
Tetapi, dalam diskursus, politik yang terseksualkan terjadi 'tanpa persetubuhan' atau hubungan intim.Â
Tatanan simbolik menggunakan tatanan bahasa keseharian tentang tema-tema politik dan seksualitas, diantaranya meliputi: "orang tua" dan "anak," "pria" dan "wanita," "politisi" dan "konstituen,"' "idola" dan "pemuja," "negara" dan "rakyat," "yang dipilih" dan "yang memilih" dengan mekanismenya melalui pilihan politik sebagai pilihan seksual setelah melepaskan dirinya dari bahasa "jenis kelamin" murni.
Politik yang terseksualkan (parpol saling merangsang soal siapa yang duluan mendaklasikan capresnya) tanpa fantasi birahi menjadi bagian dari celah diskursus politik di hari-hari terakhir.Â
Pilihan politik yang terseksualkan seiring kegilaan yang khas.Â
Politik dan hasrat seksual merupakan darah dan jenis kelamin tanpa metafora yang sama sebagai simbol-tanda yang mengalir dalam kehidupan yang melampaui identitas, darah, fisiologis, dan biologis berdasarkan rujukan pengetahuan ilmiah.
Suatu hal yang perlu digambarkan dalam pilihan politik, dimana mesin permainan dibangun dan dituntut untuk memerankan permainan 'politik yang memiliki aturan'. Pilihan politik berarti meletakkan kebebasan pilihan seksual yang melebihi dorongan hasrat seksual dan jenis kelamin melalui tubuh murni kita.Â
Pilihan politik yang terseksualkan merupakan rezim kebenaran dengan teks-teks, janji-janji, lekukan-lekukan, gambar-gambar, dan luapan-luapan politik kenikmatan yang membuat seseorang terpikat.
Jika tidak terkontrol, seseorang bisa menghancurkan kenormalan dirinya sendiri melalui pengumbaran seksual secara represif.Â
Begitulah peranan penting dari pemikiran modern melibatkan dirinya betapa pentingnya suatu pendidikan politik rakyat.Â
Pendidikan politik secara terbuka untuk umum merupakan kekuatan baru bagi pilihan seksual yang menggelikan.
Latar belakang pendidikan dengan pilihan politik dan pilihan seksual secara beriringan menyertakan ketidakhadiran seks murni (jenis kelamin laki-laki dan perempuan).Â
Ia merupakan prasyarat keberlangsungan kehidupan politik, tanpa dominasi kelompok atas yang lainnya.
Pria dan wanita masing-masing memilih secara bebas pada siapa yang dipilih melalui deseksualitas tubuh (godaan di balik sosok yang dipilih).Â
Di sini, pilihan politik yang terseksualkan diselingi dengan guyonan, senyuman, dan bahkan selingan gelak tawa menghibur untuk melupakan sejenak ketegangan dan kesalingmenyerangan antara pihak pendukung yang satu dengan pihak yang lainnya.
Pilihan seksual secara radikal bertujuan untuk mencairkan ketegangan politik. Ia bisa merileksasi hujatan hingga kebencian antara satu pendukung dengan pendukung lainnya.Â
Kekerasan politik yang dibumbuhi dengan kegenitan akan menghilang dalam ruang publik, sekalipun di antara perbedaan 'pilihan politik'.
Senyuman dan guyonan dianggap lazim dalam permainan politik, datang dan pergi dengan ketegangan, manuver, dan intrik politik berikutnya.Â
Di situlah pilihan politik yang terseksualkan akan dimainkan untuk merangsang, menghangatkan, melumaskan, dan menyegarkan permainan politik. Ia merupakan kesenangan di tengah ingar-bingar kehidupan yang menantang dan menuntut permainan yang sulit diterka.
***
Apa yang dimaksud pilihan politik berkelindan dengan pilihan seksual tanpa "persetubuhan" (seperti ngotot siapa capres atau cawapresnya, keluar dari pemerintahan) bisa meluluhkan dan membungkam kekerasan politik.Â
Yang sudah bisa ditebak, dalam hal ini politik yang terseksualkan akan terhindar dari kesewenang-wenangan.
Para pendukung memilih pilihannya seakan-akan dirasuki oleh tulisan hipnotis, yang "tersihir" dalam sebuah mesin politik yang bernama ketidaksadaran (hasrat, fantasi politik). Ia muncul tatkala mereka tidak ingin beranjak dari tempat seiring melepaskan bayangannya yang menghantui.Â
Mereka mencium, memeluk, dan sebelum berselfi ria dengan idolanya. Kenormalan pilihan dihingar-bingarkan dalam ketidaksadaran berfoto bersama sebagai anggota masyarakat yang menantikannya datang dari rayuan terakhir.
Di dalam dan di luar kontestasi politik pun, setiap prilaku politik senantiasa melibatkan dorongan seksual menjadi pilihan yang pada titik menentukan politik itulah pilihannya.Â
Kita mengetahui secara seksama dalam proposisi dan logika yang dibangun selama ini, pilihan politik merupakan wujud kenormalan menjadi bagian utama dari strategi politik kuasa setelah kuasa itu sendiri mengalami 'fase produktifitas'.
Sementara tanpa pilihan politik tergesa-gesa, sehingga pilihan seksual merupakan suatu perwujudan dari kenormalan menjadi bagian dari tanda sekaligus tuntutan kehidupan dan sifat alami dalam sejarah pemikiran.Â
Karena itu, keduanya merupakan pemikiran modern yang belum tertelan dan tidak tuntas oleh dan dari zaman.Â
Tidak disangkal, setiap pilihan politik yang terseksualkan betapapun telanjangnya peristiwa dari tokoh, pesohor, dan pengikutnya menempatkan pilihan yang tersembunyi selalu memperbarui dan merepresentasi dirinya sampai representasi menghilang dalam dirinya sendiri.
Pilihan atas calon tertentu mengalami "deseksualitas tubuh politik" (manuver, permainan politik), yang padanya dilekatkan sifat alami. Ia menandai pilihan politik politik seiring pilihan seksualnya.Â
Orang-orang akan mengarah pada pilihan-pilihan politik sekaligus seksual. Apalagi pilihan-pilihannya itulah justeru memungkinkan terjalin kreatifitas setelah membebaskan dirinya dari orientasi seksual tertentu.
Rumusnya cukup sederhana. Kontestasi pemilu dan peristiwa politik lainnya adalah sesuatu yang merangsang, memikat, dan menggoda tidak lebih dari pilihan seksual.
Dalam pilihan-pilihan yang beradu kencang dan dinamis, tindakan seksual dari pendukung atau kelompoknya dihapus dengan pilihan seksual melalui tubuh politik.Â
Pilihan seseorang menuntun pilihan rasional yang kadangkala irasional tidak membutuhkan peta politik berdasarkan jenis kelamin laki-laki dan perempuan.
Diskursus politik akan mengakhiri pilihan politik semata-mata pilihan berdasarkan orientasi seksual: "lain jenis" dan "sejenis kelamin." Ini bukan juga dimaksud pilihan politik sebagai pilihan seksual.Â
Bentuk pilihan politik yang terseksualkan di bawah rezim diskursus bukanlah kata-kata melimpah-ruah yang direpresentasikan oleh bahasa melalui tubuh.Â
Acapkali kenormalan pilihan tidak membutuhkan sesuatu yang pasti dan terukur.
Tempat pemungutan suara seakan-akan berbicara bukan pada pemilih, melainkan kertas-kertas yang tidak bisa disembunyikan kebenaran darinya.Â
Dokumentasi yang dimiliki oleh penyelenggara pemilu secara teliti dan disiplin dalam menghitung jumlah suara.Â
Ia dihubungkan dengan kekuatan rangsangan, gairah, dan daya pikat melalui pilihan politik antara pemilih dan yang dipilih.
Mesin hitung suara bergerak tidak melawan arah dengan pergerakan mesin politik yang terseksualkan.
Panggung politik Indonesia masih diselingi dengan penampilan karikaturisasi atau parodisasi yang melibatkan laki-laki yang berpakain gaya perempuan.Â
Gaya politik dibayangkan sesuatu 'pasti dalam ketidakpastian' dan 'terukur dalam ketidakberukuran' akibat melampaui dirinya melalui pilihan-pilihan seksual yang tidak terpetakan kecenderungan politiknya.
Tercatat, Daftar Penduduk Potensial Pemilih Pemilihan (DP4) (2022) untuk Pemilu 2024, mencakup, jumlah pemilih laki-laki sebanyak 102.181.591 pemilih. Perempuan sebanyak 102.474.462 pemilih, yang tersebar di 38 provinsi pemilih.Â
Hanya saja, wujud politik dan wujud seksual tidak bergantung pada jumlah pemilih, termasuk sex ratio pemilih laki-laki dan perempuan. Jalinan keduanya melampaui dan memiliki mekanisme berbeda dengan mekanisme politik praktis seperti yang kita kenal selama ini.
Sampai di sini, pilihan politik yang terseksualkan berarti tanpa seks (jenis kelamin) dan mekanisme-mekanismenya diatur diluar prosedur dan tanpa indikator yang terukur, pasti, dan jelas.
Sekali mencoba untuk memilih dan meluap keluar, maka pilihan politik dengan wujud seksualnya menjadi orang penasaran dan ketagihan.Â
Memang, pemikiran modern menemukan cara untuk memainkan pilihan politik yang bergerak secara mekanis tanpa tubuh murni.
Dari suatu pandangan politik secara luas dan pergerakan-pergerakan pilihan seseorang mulai melepaskan dirinya dari rantai elektoral melalui menit-menit pemilihan.Â
Momen itu bisa jadi hanya permainan yang terakhir dari "deseksualitas tubuh politik" menjadi "repolitisasi tubuh seksual." Duh, istilah-istilah tersebut  membuat kita tambah ngilu.
Karena itu, bukan hanya melipatgandakan motif dan dorongan yang dimilikinya, tetapi juga saling berinteraksi dan inheren antara wujud politik dan wujud seksual yang secara imanen (ada dengan sendiri). Politik yang terseksualkan menantang kehidupan dan pemikiran. Wujud seksual menjadi bawaan politik. Melalui mekanisme yang tersembunyi, seseorang akan merangsang dirinya atau terpicu untuk mengulangi kembali prilaku politik sekaligus tindakan seksual sehari-hari.Â
Karena sulit untuk dihindari, maka ia masih layak diperbincangkan secara normal.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H