Pilihan politik dan pilihan seksual tidak lebih dari pernyataan secara terbuka menjadi kebenaran.Â
Diakui, ia masih tetap disorot sebagai permasalahn moral. Bahaya bagaimanapun juga, ia menjadi diskursus.
Satu diskursus berganti ke diskursus lainnya. Ia menghilang sebelum waktunya nampak menuju titik akhir pelanggaran batas-batas pilihan politik seseorang seiring dengan hilangnya tabu dan larangan atas pilihan seksual.
Saat kita melihat plihan berangsur-angsur akan dibangkitkan, maka pilihan politik yang terseksualkan hanyalah sifat alami menjalar dalam kehidupan politik yang dinamis dan cair.Â
Sesuatu hal yang menggembirakan, ketika artikulasi kepentingan ternyata tidak bisa dilepaskan dari artikulasi kesenangan seksual.
Dalam diskursus politik, produksi gagasan tidak muncul tanpa produksi hasrat seksual. Artinya, pilihan politik menyentuh sesuatu yang sifatnya pribadi dan sangat dalam.Â
Kita masih saja terjatuh dalam pengulangan diskursus tanpa benar-benar menemukan suatu batas-batas gambar baru dengan mekanisme yang belum dikenal sebelumnya.
Betapa diskursus memaksa kita untuk menggunakan diskursus lainnya.Â
Meskipun kita terpaksa secara tidak gegabah untuk meminjam perbendaharaan bahasa dan logika, maka kita sendiri belum tentu mengerti apa-apa yang dimaksudkan.
Tetapi, dalam diskursus, politik yang terseksualkan terjadi 'tanpa persetubuhan' atau hubungan intim.Â
Tatanan simbolik menggunakan tatanan bahasa keseharian tentang tema-tema politik dan seksualitas, diantaranya meliputi: "orang tua" dan "anak," "pria" dan "wanita," "politisi" dan "konstituen,"' "idola" dan "pemuja," "negara" dan "rakyat," "yang dipilih" dan "yang memilih" dengan mekanismenya melalui pilihan politik sebagai pilihan seksual setelah melepaskan dirinya dari bahasa "jenis kelamin" murni.