Mohon tunggu...
Ermansyah R. Hindi
Ermansyah R. Hindi Mohon Tunggu... Lainnya - Free Writer, ASN

Bacalah!

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Ketika Sosok Pengarang Keluar dari Kungkungan Teks

2 Januari 2023   11:33 Diperbarui: 4 April 2024   15:52 331
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kerangka epistemik adalah ledakan. Jika anak muda begitu gila "berpikir keluar dari nalar." 

Teks melampaui teks. Ia akan membebaskan dirinya dari nalar atas dialektis ke paralogi (banyak nalar), sekalipun nalar menandai ketidakhadiran subyek.

Ada juga pengarang lebih senang membeberkan lika-liku permasalahan sehingga pembaca bisa terbuai. Agar tidak terkungkung, pengarang mesti tidak terkungkung dari satu teks ke teks yang lain.

Sedangkan, buku terorisme bukan sumber inspirasi. Lalu, mengapa masih ada orang yang percaya bahwa tidak ada teroris? Yang ada hanya pengarang yang memicu pendapat publik tentang ideologi kekerasan dari terorisme sebagai teks.

Karena terlanjur menjadi teks, maka pengarang bisa mendramatisasi keadaan sehingga teror atau terorisme muncul dari ketidakadilan, misalnya. 

Suatu teks tertulis digiring dalam diskursus, dimana pengarang mengelolanya sebagai isu “seksi.” Dimanakah filsuf, pemikir atau profesor? 

Teks tertulis dalam buku terorisme akan menjadi semacam teriakan perang yang menghentakkan. Kita tahu, teks tertulis dalam buku terorisme sebagai barang bukti pihak berwajib.

Dari titik ini, walaupun atas nama kebebasan berpendapat, maka pengarang perlu keluar dari teks yang justeru membuat terperangkap oleh hasrat untuk menulis. Tentu saja, pengarang punya hak untuk menyatakan jika ruang bebas terpenuhi dimulai dari dirinya yang bebas.

Meskipun terdapat alasan-alasan lain dari orang-orang yang melancarkan kritik di sini dan di sana secara terbuka maupun analisis ilmiah terhadap kesadaran maupun kepercayaan.

Di luar kepercayaan, mereka (masyarakat, kaum intelektual) masih menjadi model korban yang berulang dari kekerasan bahasa, kekerasan pikiran, kekerasan teks, dan kekerasan simbolik, tatkala dunia nyata (virtualitas) "membunuh" petanda (logos, nalar, ruang suci, dan petanda transendental). Sejauh ini, akhir dari ilmu pengetahuan adalah tapal batas bagi fantasi atas permukaan tubuh.

Dari sini, pengetahuan tidak memiliki cukup alasan, bahwa pergerakan pengetahuan adalah kekuatan untuk melepaskan dirinya dari kedalaman yang kosong, yaitu kesadaran, fantasi, selera dan keseragaman. Pada suatu saat, ilmu pengetahuan akan seperti halnya demikian.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun