Mohon tunggu...
Ermansyah R. Hindi
Ermansyah R. Hindi Mohon Tunggu... Lainnya - Free Writer, ASN

Bacalah!

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Ketika Sosok Pengarang Keluar dari Kungkungan Teks

2 Januari 2023   11:33 Diperbarui: 4 April 2024   15:52 331
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi sosok pengarang (Sumeber gambar: aboutamazon.com)

"There is nothing outside the text" (Tidak ada sesuatu di luar teks).

Pernyataan paling 'ngejos' itu dari Jacques Derrida (1997:158), filsuf Perancis. Saya dan mungkin Anda ngefans sama dia. 

Meski tidak bisa dibandingkan, pengaruh pemikir besar itu menyentuh catatan saya lewat teks tertulis.

Di sini muncul pertanyaan. Pernahkah kita membaca buku tanpa kosa kata, huruf-huruf atau teks tertulis? Bisakah buku tanpa wujud benda? 

Setelah teori, apakah yang dilakukan oleh orang-orang jika tidak ada lagi teori?

Deretan pertanyaan di atas mungkin dianggap setengah gila. Tunggu dulu ya pak, bu, bestie!

Bukankah teks banyak ragamnya? Seperti teks gedung pencakar langit atau kecerdasan artifisial, bukan?

Baiklah! Sekarang, dimanakah relasinya antara bujuk rayu dan teks ada dimana-mana? Apakah bujuk rayu buku bermula datang dari hasrat lewat dunia teks atau dari tubuh? 

Teks tidak lebih penting ketimbang hasrat untuk pengetahuan melalui buku libidinal. Dari satu libido ke libido lainnya.

Buku sebagai libido, yang ditopang oleh tubuh dan akhir dari teks. Buku 'revolusioner' adalah hasrat radikal yang dingin dan telanjang. Titik kelenyapan realitas datang dari sesuatu yang merangsang. Ia masih tetap dipertajam oleh buku sebagai libido yang khas. 

Buku libidinal merupakan sumber kelenyapan 'idealisme', yang pada akhirnya tidak ada lagi kenikmatan atas teks, kecuali kegalauan atas realitas.

Buku sebagai libido mengalir keluar melalui tubuh. Buku bersama pengarang memiliki keserbaragaman sel yang memasuki pasangan, keluarga, pribadi, dan obyek. Buku tidak lebih dari pemenuhan hasrat. 

Bisa dikatakan hasrat atau libido bukanlah permasalahan moral. Selama ini, libido yang dimaterialisasi melalui buku merupakan bagian dari kebenaran. 

Untuk itu, semacam tawa yang tidak lucu datang dari hasrat seksual non manusia dalam pengertian luas melalui buku.

Setiap orang memiliki anugerah tubuh sebagai teks yang digoda oleh teks lain. Sang nyata begitu datang terlambat. Kalimat yang dibentuk dari suara ke teks. "Mereka makan bersama pria seksi dengan dada berbulu", "Anda dianugerahi kulit putih mulus yang merangsang." "Mereka mencicipi makanan cepat saji yang lezat" terjalin relasi bolak-balik dan teracak melalui relasi hasrat, tubuh modal dan tubuh seksual.

Masyarakat secara umum dan kaum terpelajar secara khusus berada dalam relasi bolak-balik. Mereka belum tentu mengalami sintesis obyektif dalam mengiringi pergerakan 'libido' melawan 'logos', 'kamus' melawan 'ensiklopedia', 'batas' melawan 'batas', 'aksioma' melawan 'takhyul', dan 'konsep melawan 'alam'. 

Sebaliknya, pada kecenderungan lainnya, saat tidak ada lagi metafora, pergerakan arus produksi hasrat non manusia, tanpa penalaran logis-analitis sebelum suara-suara kritis meledak keluar untuk menghadapi ruang kosong.

Banyakkah fakta atau ilusi yang hadir dalam dunia? Bentuk kegoncangan ekonomi, wabah penyakit, kriminalitas, kelaparan, perang, perubahan iklim, rumah tangga berantakan, terorisme (asli), dan peristiwa politik tidak cukup menjadi teori atau analisis panjang lebar.  

Berkaitan dengan teori, dimana teori bukan hanya menjadi bagian dari peristiwa, tetapi juga menempatkan dirinya sebagai sumber takhyul dan menjadi korban dari realitas yang menghilang dari pandangan kita atau dari serangan hiperealitas. Teori bukan hanya melampaui dirinya, tetapi juga korban dari simulasi sampai kematian menjemputnya.

Begitu pula kegilaan terhadap buku mengakhiri teori. Buku sebagai libido dalam kaitannya dengan pengetahuan (kertas dan laboratorium) memiliki peranan penting dalam pembentukan relasi ekonomi, dimana tanda-tanda muncul dengan teks yang dibaca orang berada di taraf kode dan makna. 

Hal ini tidak berarti aliran hasrat telah keluar dari penguraian 'darah idealis', yang membuat teks ada melalui tubuh sebagai kekuatan sang pengarang.

Sebaliknya, pengarang bisa melihat aliran darah bukan model ritual dari sekte kepercayaan atau tatanan primitif, melainkan pengetahuan untuk melawan taklid buta.

Kerangka epistemik adalah ledakan. Jika anak muda begitu gila "berpikir keluar dari nalar." 

Teks melampaui teks. Ia akan membebaskan dirinya dari nalar atas dialektis ke paralogi (banyak nalar), sekalipun nalar menandai ketidakhadiran subyek.

Ada juga pengarang lebih senang membeberkan lika-liku permasalahan sehingga pembaca bisa terbuai. Agar tidak terkungkung, pengarang mesti tidak terkungkung dari satu teks ke teks yang lain.

Sedangkan, buku terorisme bukan sumber inspirasi. Lalu, mengapa masih ada orang yang percaya bahwa tidak ada teroris? Yang ada hanya pengarang yang memicu pendapat publik tentang ideologi kekerasan dari terorisme sebagai teks.

Karena terlanjur menjadi teks, maka pengarang bisa mendramatisasi keadaan sehingga teror atau terorisme muncul dari ketidakadilan, misalnya. 

Suatu teks tertulis digiring dalam diskursus, dimana pengarang mengelolanya sebagai isu “seksi.” Dimanakah filsuf, pemikir atau profesor? 

Teks tertulis dalam buku terorisme akan menjadi semacam teriakan perang yang menghentakkan. Kita tahu, teks tertulis dalam buku terorisme sebagai barang bukti pihak berwajib.

Dari titik ini, walaupun atas nama kebebasan berpendapat, maka pengarang perlu keluar dari teks yang justeru membuat terperangkap oleh hasrat untuk menulis. Tentu saja, pengarang punya hak untuk menyatakan jika ruang bebas terpenuhi dimulai dari dirinya yang bebas.

Meskipun terdapat alasan-alasan lain dari orang-orang yang melancarkan kritik di sini dan di sana secara terbuka maupun analisis ilmiah terhadap kesadaran maupun kepercayaan.

Di luar kepercayaan, mereka (masyarakat, kaum intelektual) masih menjadi model korban yang berulang dari kekerasan bahasa, kekerasan pikiran, kekerasan teks, dan kekerasan simbolik, tatkala dunia nyata (virtualitas) "membunuh" petanda (logos, nalar, ruang suci, dan petanda transendental). Sejauh ini, akhir dari ilmu pengetahuan adalah tapal batas bagi fantasi atas permukaan tubuh.

Dari sini, pengetahuan tidak memiliki cukup alasan, bahwa pergerakan pengetahuan adalah kekuatan untuk melepaskan dirinya dari kedalaman yang kosong, yaitu kesadaran, fantasi, selera dan keseragaman. Pada suatu saat, ilmu pengetahuan akan seperti halnya demikian.

Kekuatan sang nyata dari dunia virtual, sekalipun tanpa pengakuan metafora melawan teori. Suatu kekuatan baru tiba-tiba muncul dari dunia nyata di sekeliling kita membuat "setan" dengan kecerdasannya mulai linglung. 

Kita melihat, wujud seksualitas dipuja-puja selama permukaaan tubuh dipuja-puja. Sebagian yang lain, teks visual dan tertulis menjadi teks virtual dengan strategi pembujukan, pembatasan dan stabilitas (diantaranya melalui televisi, internet).

Kini, setelah rangkain rayuan dan tipu muslihat dunia nyata menjadi kecerdasan sang jahat. Kesenangan dan hasrat nyata apa lagi yang melebihi teori (apabila teori tersebut bukan lagi dari kecerdasan sang jahat)? Dimanakah kebenaran permainan? 

Kebenaran tidak lebih dari permainan acak dan lelucon konyol. Ia bukan lagi kesangsian (terhadap kebenaran), melainkan kekaguman atas penderitaan.

***

Tantangan dan permasalahan kemiskinan, pemanasan global, bahaya narkotika, dan korupsi sama merangsangnya dengan pornografi. 

Jadi, buku sebagai libido bukan untuk dihindari, melainkan ia menjadi obyek analisis pergerakan aliran produksi hasrat.

Saya kira, pengarang yang terlepas dari realitasnya saat teks tertulis dibaca dan "digoyang" oleh pembaca akan terjalin kembali ke realitas. Jika demikian, buat apa juga teks tertulis 'ada' jika tidak bersentuhan dengan realitas? 

Sebaliknya, seseorang secara sukarela berada dalam perubahan dihubungkan dengan urutan diskursus teoritis yang meletakkan pembebasan tatanan dari egoisme. 

Nilai ilmiah dimaksudkan adalah bukan menunjukkan sebagai perangkap 'tatanan nalar' bergerak secara linear dari Cogito Cartesian. Pengetahuan meletakkan relasi antara hasrat dan teori, dimana teks tertulis menjadi bagian dari sirkulasi pembebasan atas kuasa hukum yang tidak berat sebelah (penafsiran dekolonisasi KUHP Baru). 

Sementara, bentuk konflik antara fakultas intelektual dan fakultas sosial, fakultas nalar dan fakultas spiritual terjalin kelindang dan bahkan suatu saat saling menetralisir antara satu dengan lainnya. Bisakah kegelisahan dikuantitaskan pada saat kita menyaksikan peristiwa yang tidak cepat berlalu? 

Tatkala kita menggambarkan tentang bagaimana tema-tema baru dibentuk oleh relasi antara ilmu pengetahuan dan ideologi sekaligus saling menetralisir.

Bagaimana rumusan konsep tentang peristiwa dimungkinkan rampung selama manusia melihat dirinya sendiri hingga mampu memainkan suatu "permainan kecil" untuk melintasi "permainan besar." 

Bisakah buku sebagai libido diletakkan sebagai nilai ilmiah? Bertahankah relasi antara buku revolusioner dan pemikiran, jika pemihakan intelektual beradu dengan kepentingan politik, yang lebih kasat mata? 

Memang, sesuatu yang merangsang dan menantang datang dari kasat mata. Buku sebagai libido membuat kita lebih memilih pergerakan intelektual. Anak muda sulit ditulari dengan mistifikasi benda-benda. Jadi, buku menjadi sebuah 'proses' dari energi libido melalui tubuh sebagai teks.

Teks bukanlah tanda ingatan dan nilai ilmiah membantu merumuskan suatu konsep produksi ditengah konsumsi, melainkan kesenangan untuk mendiagnosis dunia nyata, fenomena, dan ilusi itu sendiri. Aspek kesadaran menjadi wilayah kosong seakan-akan tidak berpenghuni.

Kesadaran justeru perlu diwaspadai, ketika subyek (pikiran manusia) tidak lagi dimasukkan dalam jejak-jejak melalui buku. 

Dari benda-benda di balik ide, hasrat, khayalan, dan dibalik tidur panjang. Seseorang bergerak bukanlah bergantung pada kekuatan buku sebagai libido maupun daya kritis yang diambil setelah masa tidur yang panjang.

Pembebasan hasrat di balik buku datang setelah diskursus teoritis dan praktek diskursus menghadapi bahaya. Teks diperhadapkan pada individu memasuki permainan yang berbahaya. 

Seseorang berada dalam ketidakhadiran konsep karena sama sekali tidak ada "tantangan" dan "tanggapan" (Toynbee). 

Individu tidak melawan institusi kuasa negara, tetapi "membongkar kedok" (Foucauldian) dan melucuti permainan topeng dari kuasa.

Sebaliknya, cara penggunaan teknis atau praktek tradisi keilmuan yang berbeda-beda bukan proses produksi yang dicapai dalam ilmu pengetahuan. Tetapi, hasrat untuk mengetahui melalui "bahasa." 

Ada pula logika pembebasan hasrat dari rezim kebenaran tunggal. Karena pada umumnya, rezim kebenaran yang tengah berjalan merupakan struktur kuasa dalam kehidupan. 

Berbeda dan melawan rezim kuasa negara, selera dan hasrat sebagai rezim tanda (kuasa). Tidak ada rezim lain (diskursus, kebenaran), kecuali rezim itu sendiri.

Secara organik, orang berbicara tanpa dilema menghadapi rezim diskursus. Secara institusional, Anda memiliki perangkat pendukung terhadap setiap pola pergerakan arus produksi hasrat individu.

Seseorang perlu memusnahkan dan menata ulang kepercayaan yang dimilikinya sebelum ia dikendalikan oleh mesin teori kritis lainnya (mazhab Frankfurt).

Jika pergerakan arus produksi hasrat pengarang akan mendobrak tabu, menolak larangan dan mereproduksi ide, mimpi, dan imajinasi yang dipadatkan melalui buku intelektual. 

Di situlah mereka menanam gerakan subversif sebagaimana teror atas pikiran di tengah kejumudan bahkan kelumpuhan daya kritis.

Bagaimana mungkin kepercayaan mereka dibangun, sedangkan sebagian orang direnggut menjadi korban dari buku 'terorisme'. Tetapi, korban dari buku 'terorisme' yang satu melawan ideologi (konsumerisme) yang lain. Ia bukan lagi sekadar semboyan.

Tidak ada jalan lain, kecuali hasrat dan mimpi individu menjadi sumber teror bagi pemikiran individual, wabah di saat tidak ada virus atau penyakit kelumpuhan akut (paralisis) pergerakan. 

Pada saat yang sama, individu membebaskan dirinya dari kungkungan teks institusi (negara) melalui sistem pendidikan, kurikulum dan regulasi lainnya yang membatasi ruang ekspresi dan pendapat. Seseorang tidak mengikuti, kecuali menciptakan arus, karena arus itulah non individu (wujud ideal). 

Pertama-tama datangnya arus dari pikiran, libido dari hasrat non manusia. Jika tidak, individu hanya sebagai pemama-biak istimewa yang nyaris di setiap panggung yang ada dimana-mana (praktik kemasyarakatan, diskursus politik, ekonomi, hukum, dan keagamaan).

Energi libido sebanyak arus yang ia lepaskan atau ledakkan keluar. Jika kita percaya, bahwa 'diskursus teoritis sebagai libido' dan 'libido sebagai arus'. 

Suatu hal yang dianggap aneh, jika kita meletakkan energi libido terhadap tanggungjawab intelektual kolektif secara umum. Jejak yang dilacak selama ini (kebenaran, keadilan) dalam masa demokrasi sedang diuji ketahanannya dalam menghadapi proses pemulihan krisis (seperti strategi pembatasan oleh kuasa negara, miopi intelektual).

Sehingga mereka memiliki ketidakmampuan untuk merangsang dirinya untuk melihat yang mana "musuh bersama" (tirani diri terselubung atau ketidakadilan yang terorganisir). Ataukah mereka telah berhasil 'dibungkam' seribu bahasa?

Teks tertulis bukan hanya masih berada ‘di pinggiran’, tetapi juga merangsang diskursus. Suatu diskursu layaknya perpaduan hasrat, kesenangan, dan tulisan. Bukankah diskursus yang menciptakan realitas? 

Tanda-tanda kehidupan seiring dengan aliran hasrat untuk menulis tentang benda-benda yang bernilai sebagai teks tertentu (dari nilai guna ke nilai tanda). 

Karena itu, teks tertulis yang tidak jelas apa maknanya justeru untuk melipatgandakan kekuatan hasrat itu sendiri agar si pembaca tidak tergiring dalam kecanduan permainan kata.  

Kini, buku melawan teks baru di balik kecerdasan artifisial. Teks akan muncul dari satu teks ke teks yang lain, dalam zaman yang berubah cepat. 

Jadi, teks tertulis bukan satu-satunya teks. Bagaimana kalau pengarang buku dan teks yang lain disponsori oleh pihak yang berkepentingan? Bisa saja, buku “dipolitisir” sedemikian rupa.

Suatu pembebasan hasrat individu tidak terelakkan. Ini bukan kabar gembira gaes. Oke deh! 

Memang betul, makin kencang pembebasan, maka hasrat bergelora repot dikekang. Sebagaimana misi pembebasan hasrat, maka pembebasan pengetahuan justeru menjadi titik tolak berkembang-biaknya pengetahuan dengan wawasan dan sudut pandang lebih teracak dan berbeda (apabila hal itu diperjuangkan secara sungguh-sungguh). Pembebasan kepercayaan dari takhyul saat tidak ada lagi pengetahuan hakiki, karena hasrat untuk berkuasa menjadi hasrat untuk pengetahuan begitu lambat datangnya. 

Belum lagi kita melihat tentang sejauh mana relasi antara pengetahuan dan kepercayaan digiring dalam teks-teks menurut pikiran pengarang dan pikiran pembaca. 

Hasil dari ilmu pengetahuan yang dipadatkan tidak lebih dari obyek-obyek yang memenuhi ‘rak buku perpustakaan’, ‘rumah’, dan laboratorium di tengah tuntutan perubahan di sekitar kita.

Mengenai penafsiran tunggal atas teks hukum yang datang lebih cepat dibandingkan bentuk pembungkaman kebebasan berbicara dan berekspresi warga. Saya kira, paling tidak ada saja teks untuk kepentingan politik rezim kuasa. 

Setelah menguasai naskah, dokumen ilmiah, penelitian, dan laboratorium, maka sekadar huruf-huruf yang beku ternyata untuk memutuskan pemikiran pengarang dengan realitas.

Sebaliknya, seseorang semakin tidak tahu saat menyerap aura kesenangan untuk mencumbui buku. Dari titik ini, akhir dari teks ilmiah sebagai kesenangan atau kegemaran betul-betul terjadi karena tidak bersentuhan dengan akar permasalahan kehidupan wong cilik.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun