Mohon tunggu...
Ermansyah R. Hindi
Ermansyah R. Hindi Mohon Tunggu... Lainnya - Free Writer, ASN

Bacalah!

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Diskursus Kemiskinan

13 Desember 2022   09:05 Diperbarui: 4 Maret 2024   16:11 262
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dalam struktur ruang wilayah, Gini Ratio perkotaan pada bulan dan tahun sekian tercatat sekian angka, naik dibanding Gini Ratio bulan dan tahun sekian sebesar blablabla dan turun dibanding Gini Ratio bulan yang berbeda dan tahun yang sama sebesar blablabla.

Gini Ratio di wilayah perdesaan pada bulan dan tahun sekian sebesar blablabla, turun dibanding Gini Ratio bulan dan tahun sebelumnya sebesar sekian. Gini Ratio bulan sebelumnya dan tahun yang sama sebesar sekian. Pengukuran ketimpangan yang dilakukan oleh Bank Dunia maupun BPS berdasarkan pengeluaran atau konsumsi, bukan kekayaan atau pendapatan.

Sudah tentu, perhitungan berdasarkan pengeluaran menghasilkan angka ketimpangan jauh lebih rendah dibandingkan berdasarkan ukuran ketimpangan pendapatan (income inequality) atau ketimpangan kekayaan (wealth inequality). Kita melihat pergerakan angka-angka berdasarkan pengukuran ketimpangan Bank Dunia, distribusi pengeluaran pada kelompok sekian persen dan terbawah adalah sebesar sekian persen.

Hal ini berarti pengeluaran penduduk pada bulan dan tahun selanjunta berada pada kategori tingkat ketimpangan rendah. Apabila dirinci menurut wilayah, di daerah perkotaan angkanya tercatat sebesar sekian persen berarti pada kategori ‘ketimpangan sedang’. Sementara untuk daerah perdesaan, angkanya tercatat sebesar 20,59 persen, yang berarti tergolong dalam kategori ‘ketimpangan rendah’.

Sebagaimana Faisal Basri (2019) yang mengutip data dari Global Wealth Report 2018 yang dikeluarkan oleh Credit Suisse, ketimpangan berdasarkan kekayaan, dimana satu persen orang terkaya di Indonesia menguasai 46,6 persen kekayaan nasional, meningkat dari 45,4 persen pada tahun 2017. Posisi Indonesia tahun 2018 terburuk kelima di dunia setelah Thailand, Rusia, Turki, dan India.

Namun demikian, benarkah tingkat ketimpangan pendapatan begitu rendah? Berbeda dengan persepsi masyarakat awam terhadap data yang ada. Selain itu, pengamatan sekilas terhadap kondisi jalanan di ibu kota Jakarta menimbulkan keraguan menyangkut keakuratan data.

Ibu kota Jakarta dipenuhi dengan pusat-pusat perbelanjaan kelas atas atau perumahan yang sangat mewah dari kalangan jet set. Tidaklah aneh, dimana kita akan melihat di mana-mana mobil-mobil mewah, seperti Jaguar dan Mercedes berseliweran dan berjejer bersebelahan dengan bus-bus metro mini yang sudah usang.

Dalam kondisi tidak layak sesungguhnya merupakan sarana angkutan umum utama di Jakarta, dibanding dengan daerah-daerah tertinggal dan terisolir. Ada kemungkinan penjelasan mengenai perbedaan nampak antara angka statistik pemerintah dan pengamatan yang dilakukan secara sederhana adalah karena survei rumah tangga Susenas tidaklah cukup menggambarkan tingkat pengeluaran penduduk kaya.

Fenomena Indonesia mengalami ketimpangan kesejahteraan yang masih sulit dikurangi, karena pertumbuhan ekonomi tidak cukup pesat. Struktur ekonomi Indonesia yang masih dalam tahap awal masuk ke ambang negara yang berpendapatan menengah dengan apa yang disebut fenomena middle income trap membuat pertumbuhan ekonomi tahunan sekitar 5 persen tidak semestinya dibanggakan karena tingkat pertumbuhan sebesar itu belum cukup untuk mendorong perbaikan kesejahteraan.

Supaya menyerap seluruh tenaga kerja baru setiap tahun, pertumbuhan ekonomi Indonesia setidak-tidaknya 7 (tujuh) persen (dalam kondisi tanpa krisis atau resesi ekonomi). Bisa dikatakan, bahwa ada kesalahan kebijakan struktural berlangsung sejak lama membuat ekonomi Indonesia mengalami deindustrialisasi atau hilirisasi industri.

Ekspor Indonesia relatif masih bergantung pada beberapa komoditas, kalau tidak boleh dikatakan hanya dua: sawit dan batu bara. Kita ditunjukkan pada alur distribusi nilai tambah di kedua sektor itu masih terpusat pada pemilik modal dengan daya ungkit yang kecil bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun