Menurut Kepala Pusat Penelitian Politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Firman Noor mengatakan oligarki politik yang menguat di Indonesia bersumber pada dua hal.
Pertama, ketimpangan ekonomi dengan 0,0000000002 persen masyarakat menguasai 10 persen pendapatan domestik bruto (PDB) Indonesia.
Kedua, lanjutnya lagi, “..... adanya warisan Orde Baru dalam sistem ekonomi politik. Aktor politik, bisnis, dan birokrasi berkoalisi untuk menghasilkan kebijakan yang jauh dari kepentingan rakyat.”
Relasi antara kuasa negara dan pemilik modal besar akan bermetamorfosis menjadi suatu lingkaran oligarki yang perkasa, yang pada akhirnya membajak demokrasi. Sehingga kemiskinan dan ketimpangan tidak lebih dari langkah “bunuh diri” dibentuk oleh diskursus yang memikat dan menantang terutama dari kaum intelektual. Siapa sang pelahap itu? Oligarki.
Belakangan, saya heran. Lima ratus trilyun rupiah yang digelontorkan oleh pemerintah, 2022, dampaknya hanya 0,6 persen penurunan angka kemiskinan. Pada lari kemana duit segunung itu, tanyaku membatin.
Tidak heran juga, ratusan trilyunan pronangkis ludes di kegiatan seminar, perjalanan dinas, biaya operasional, dan sebangsanya. Apa tidak ada yang lebih prioritas dan paling mendesak daripada hal-hal yang tidak bisa mengurangi jumlah penduduk miskin.
Sang pelahap dalam jumlah tidak banyak. Tetapi, pengaruh mereka sangat kuat dan luas jangkauannya. JIka kita ingin membayangkan kekuatan mereka. Kita harus melewati tembok-tembok besar, yang menghalangi kita dan rumah tangga miskin untuk menyetarai kekuatan besar mereka.
Saya mencoba mengakhiri permasalahan kemiskinan dengan obrolan biasa yang mirip obrolan di warung kopi. Lingkaran oligarki tidak bisa menyentuh warung kopi karena bukan kelasnya. Kecuali, kebutuhan dasar warga, terutama rumah tangga miskin ikut dipengaruhi oleh oligarki. Coba bayangkan, seandainya semua kebijakan pemihakan pada orang-orang miskin di Indonesia "dibeli" oleh oligarki. Apa yang terjadi? Dari sini kita, saya termangu dengan keadaan rumah tangga miskin.
Momen Oktober 2022, saya bersama kawan-kawan setim dari dua tim melakukan kegiatan monitoring program penanggulangan kemiskinan (pronangkis) di sekian desa dan kelurahan yang peringkat kemiskinan tinggi. Pertama-tama obyek kegiatan monitoring diarahkan ke rumah tangga miskin di kawasan pesisir. Dua rumah tangga miskin. Dari wawancara dengan pertanyaan yang terstruktur ditemukan jawaban polos dari mereka. Sudah berapa lama menerima program tersebut? Baru sekitar enam bulan, jawab mereka.
Padahal ada pronangkis sudah sekian tahun lamanya tidak tersentuh oleh rumah tangga miskin tersebut. Progran keluarga harapan (PKH), misalnya.
Pada rumah tangga miskin yang diwawancarai itu masih layak dan masuk indikator rumah tangga miskin. Bertubi-tubi pertanyaan kami ajukan ke orang tua penerima manfaat pronangkis.