Hubungan antara sang tuan dan sang budak adalah hubungan eksploitasi dan penyiksaan. Sang tuan, Dhora, seakan-akan membayar ketidakadilan dengan perbudakan.Â
Anehnya, sang tuan tidak mampu membeli esensi manusia. Apapun alasannya.
Lebih lanjut laporan tersebut menyatakan, bahwa: "Perempuan dan anak perempuan mencapai 11,8 juta dari total pekerja paksa. Lalu, dari total pekerja tersebut, terdapat lebih dari 3,3 juta pekerja paksa adalah anak-anak." Suatu angka yang tidak sedikit dalam kondisi krisis dan ketidakpastian hidup.
Apa pemicunya? Meningkatnya bentuk perbudakan modern ditengarai karena adanya pandemi, perubahan iklim, dan rawan konflik.
Bentuk interaksi itu mencuat perbudakan anak di tengah era disrupsi yang tidak diharapkan.
Kondisi krisis corona berdampak pada kemiskinan dan pengangguran. Akhirnya, kondisi yang serba tidak mengenakkan jadi pelariannya pada kerja paksa dan anak jongos alias jadi budak demi tuntutan hidup.
Kita sepakat 100 persen. Bahwa perbudakan modern, perbudakan anak muncul karena hilangnya rasa keadilan sosial. Bagi yang hafal sila Pancasila juga faham. "Kemanusiaan yang Adil dan Beradab" dan Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia," sila kedua dan ketiga Pancasila. Enteng dihafal, berat dipengamalannya.
Lihatlah? Makin hari makin berat tanggungjawab kita. Tanggungjawab orang tua pada anak-anaknya, misalnya. Bukan kepalang tantangan hidup, kian hari kian terjal dan curam jalan hidup.Â
Begitulah hidup. Kadangkala senang hari ini, besok lusa jadi susah. Semuanya silih berganti dalam kehidupan.
Anda lebih faham, jika perbudakan menyalahkan kehidupan tanpa ingin membebaskan dari belenggunya. Berarti Anda termasuk gagal memahami makna kehidupan yang dianugerahkan sejak kakek nenek terdahulu hingga gen Z ini.Â
Sumpah serapah tidak dimiliki oleh si RMS dan si SPM yang lugu sekali.