“Pada hari saya masuk Islam, Imam Masjid memberi saya panduan tentang cara melakukan shalat. Saya bertanya-tanya, betapa sulitnya berdoa.
Malam itu saya memutuskan untuk memulai melakukan shalat 5 (lima) waktu, dalam waktu yang ditentukan. Banyak dari apa yang saya ucapkan dalam bahasa Arab, jadi saya harus menghafal transliterasi bahasa Arab dan interpretasi bahasa Inggris. …
Selanjutnya, saya dengan hati-hati menarik tirai hingga tertutup dan kembali ke tengah ruangan. Sekali lagi, saya berdiri tegak dan membisikkan Allah-u-Akbar dengan nada yang nyaris tidak terdengar. Saya perlahan dan kikuk melafalkan surah pertama Al-Qur’an dan surah pendek lainnya dalam bahasa Arab. Saya kemudian rukuk dengan punggung tegak lurus dengan kaki saya.” (Even Angels Ask: A Journey to Islam in America, 1997 : 158-159)
Ekstasi keilahiannya menyebar, ketika penanda murni dan petanda transendental tidak lebih dari perbedaan. Suatu proses terjadi penanda datang dari petanda, atau sebaliknya.
Dari titik akhir ateis menuju permulaan mengenal Tuhan mencapai perbedaan yang kecil, ketika kegilaan penafsiran dan ketelitian dalam teks tertulis sebelum pembacaan atas teks Al-Quran.
Rangkaian kelahiran ‘ekstasi keilahiaan’ dan ‘pengetahuan intuitif’, ‘cinta intelektual’ dan ‘intuisi intelektual’, ‘kesadaran intelektual’ dan ‘pengalaman batin’ dari seseorang menjadi aliran hasrat untuk mengetahui esensi di balik realitas.
Segalanya merupakan sintesa dalam kehidupan dan pemikiran yang cair dan berbeda.
Teks Baruch Spinoza, Ethics, bahwa cinta intelektual terhadap Tuhan sebagai pengetahuan ketiga.
From the third kind of knowledge arises necessarily the intellectual love of God. For from this kind of knowledge arise pleasure accompanied by idea of God as the cause, the love of God, not in so far as we imagine him present, but in so far as we understand God to be eternal: this what I call intellectual love toward God.
(Dari jenis pengetahuan ketiga, tentu muncul cinta intelektual terhadap Tuhan. Karena dari jenis pengetahuan ini muncul kesenangan disertai ide tentang Tuhan sebagai penyebab, cinta Tuhan, Dia bukanlah sejauh yang kita bayangkan dia hadir, melainkan sejauh yang kita pahami tentang Tuhan itu abadi: inilah yang saya sebut cinta intelektual menuju Tuhan). (Ethics, 1959 : 218)
Dalam teks Spinoza, cinta intelektual (amor intellectualis) menuju Tuhan menjadi bagian dari esensi pemikiran yang tidak terhingga. Sedangkan, dalam sudut pandang Cogito Cartesian: “Aku cinta intelektual pada Tuhan, maka Aku ada.”