Mohon tunggu...
Ermansyah R. Hindi
Ermansyah R. Hindi Mohon Tunggu... Lainnya - Free Writer, ASN

Bacalah!

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Pajangan, Menatapku Begitu Bernafsu, dan Melecehkanku

11 Oktober 2022   15:05 Diperbarui: 22 Februari 2024   14:31 243
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Seorang laki-laki melihat gambar organ seks melalui media sosial dan internet bukan hanya terdorong oleh obsesi terhadap sesuatu, tetapi juga ingin terlibat dalam sebuah proses penanaman dan penyebaran fantasi berahi. 

Kata lain, keterlibatan diri melalui “perayaan organ seks” yang tanpa tersadari telah menjatuhkan kehormatan perempuan. 

Sudah tentu kehormatan kelamin akan berbeda dengan ‘wujud tubuh yang terpusat’. Manusia sakit!

Dalam tatapannya melalui video dengan penuh nafsu di zaman anyar. ‘Pria digital’ bangga karena melecehkan organ seks yang dimiliki lawan jenisnya. Dia menghina organ intim, padahal dia ada lewat organ tersebut. Tanpa disadari, dia telah menghina dirinya sendiri.

Kita bisa membayangkan, seks global memperbudak sebuah kampung tradisional. Di manakah kritisisme? Seseorang mengumbar organ seks berarti menelanjangi dirinya sendiri.

Secara genealogis, masih perlukah kita belajar sejarah dari kesalahpahaman tentang organ seks?

Ada suatu argumentasi ketika melihat rentetan gambar bersuara di video, yang membuat kaum perempuan memprotes tidak ada kaitannya dengan feminisme di luar masyarakat lokal yang masih memelihara budaya malu. 

Di sini, kespontanan pergerakan protes, paling tidak ada dua kemungkinan jika sebuah kisah penghinaan organ seks kaum perempuan terangkat ke dunia film.

Pertama, menyangkut jenis kelamin yang terverbalisasi atau tervisualisasi melalui video. 

Ia dimainkan dalam representasi kaum pria tidak diterima oleh sutradara. Kemungkinan akan terjadi konflik.

Kedua, meskipun tidak bermaksud untuk mengobral pornografi, pemerosotan eksistensi kelamin tertentu tidak terpotong oleh Lembaga Sensor Film Indonesia sesuai keinginan sutradara, karena sebagai kisah penting untuk membangun keterbukaan informasi yang berguna bagi kehidupan sosial. (Lihat Cinzia Arruzza, Tithi Bhattacharya, Nancy Fraser dalam Feminism for the 99 Percent: A Manifesto, Verso, London-New York, 2019)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun