Mohon tunggu...
Ermansyah R. Hindi
Ermansyah R. Hindi Mohon Tunggu... Lainnya - Free Writer, ASN

Bacalah!

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Pajangan, Menatapku Begitu Bernafsu, dan Melecehkanku

11 Oktober 2022   15:05 Diperbarui: 22 Februari 2024   14:31 243
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber : detik.com, 17/09/2021

Satu atau lebih penampilan kelamin terpajang. Misalnya apa? Boneka berkelamin anu berdiri di samping etalase sebuah mal di salah satu pusat kota di negeri ini. 

Tetapi, si perjaka tidak tertarik dengan kelamin non-manusia. Suatu keberuntungan, boneka berkelamin tersebut terbalut busana. 

Harap maklumlah, bukan boneka India! Hanya boneka tanpa merek apa-apa. Kapan mulai muncul boneka pajangan tersebut di mal? 

Yang jelas, sekalipun tidak berbalut kain selembar apa pun pada boneka pajangan, terdapat alasan. Pertama, boneka pajangan tanpa busana tidak membuat kita “terangsang,” kecuali penge- mal tertarik pada sampel busana yang menempel di boneka pajangan. Kedua, sejauh ini, belum ada pihak yang menyatakan jika boneka pajangan di mal memiliki hak-hak asasi sebagaimana HAM pada manusia.

Dalam persepsi umum, berbicara tentang kelamin, berarti terikut alat kelamin. 

Satu paket kenormalan melekat pada sebuah tubuh seksual secara biologis.

Berapa banyak mal atau pusat perbelanjaan berskala besar yang menyediakan boneka pajangan yang berkelamin di negeri ini? Belum ada data statistik yang menyebutkannya.

Bagi anak rebahan, mungkin malas nge-mal. Tetapi, orang-orang yang doyan nge-mal ada istilah “cuci mata.” Biar tidak penat melanda, rasa letih pun menyusut. 

Hiburan menjadi salah satu dorongan kawula muda dan orang dewasa. Berkurang atau bertambah jumlah pengunjung mal tidak memengaruhi keberadaan boneka berkelamin.

Di masa pandemi saja diharapkan jangan terlalu lama pembatasan mobilitas. Pinta sekian banyak penge-mal perlahan-lahan terkabul saat terjadi pelonggaran kunjungan.

Senang rasanya mereka bisa bersua dengan teman-teman sebayanya tatkala bisa melihat apa gerangan di mal. 

Khusus boneka pajangan yang berkelamin bukanlah sebagai objek tontonan, melainkan eksistensi kolektif dari mal atau pusat perbelanjaan.

Boleh kita kata, hampir tidak jenuh para penge-mal hadir setiap saat di mal hanya untuk menikmati waktu senggang atau hari libur. Tentu saja, tidak semua ramai mengunjungi ruang belanja atau etalase yang dilengkapi boneka pajangan berkelamin.

Berbeda dengan kasus di salah satu daerah. Gegara menghina alat kelamin perempuan oleh seorang pria, akhirnya emak-emak melakukan protes hingga turun unjuk rasa di jalan. 

Peristiwa itu masih jarang terjadi untuk ukuran daerah. Berbicaralah emak-emak tentang pergerakan politik seks! Bersuaralah emak-emak, “Kelaminku, kehormatanku!”

Dugaan penghinaan alat alat kelamin yang memicu perlawanan sosial kaum emak-emak begitu sensitif berawal dari pria berinisial EC ketika satu rekaman video menampakkan jualan gorengan pisang di depan sejumlah pria.

Tidak lama berselang, tiba-tiba arah pembicaraan antara EC dengan kaum pria lain yang berada di lokasi jualan pisang menyinggung alat kelamin tertentu dengan nada yang membuat tersinggung kaum emak-emak. 

Kekesalan melimpah-ruah dari kaum emak-emak lantaran hinaan tersebut.

Berdasarkan hasil konfirmasi dari pihak berwewenang, Kasat Reskrim Polres Bulukumba, Iptu Muhammad Yusuf, mengatakan: “Iya masalah itu, masalah perasaan perempuan kan, kesal, tidak enak.”

Perasaan perempuan siapa yang tidak tersinggung dan kesal jika terjadi kata-kata vulgar yang menghina? Kasus tersebut memerlukan penjelasan secara terbuka pada publik. 

Ruang komunikasi tetap kita harapkan bisa berlangsung untuk menengahi kesenjangan atau ketidaksetaraan gender, termasuk ‘bentuk ujaran-citra’ yang pantas demi martabat kemanusiaan. (detik.com, 17/12/2021)

Upaya mediasi kita lakukan untuk membangun tatanan sosial yang hidup dan saling merawat perbedaan maupun kehidupan yang selaras. 

Kata-kata terselipkan dalam tatanan kelamin dan bisa jadi pria dengan videonya menandakan tingkat kesejahteraannya.

Selama seseorang dan kelompok individu berada dalam tanda kesejahteraan yang memadai dengan ketenangan yang teruji, maka pertentangan antar-relasi sosial bisa kita hindari dari sejak permulaan interaksi kehidupan bersama.

Satu sisi, peristiwa kespontanan dari pergerakan kaum perempuan melalui penolakan relasi hierarki ujaran bernafsu tetapi melecehkan membuat mereka tidak menerima perlakuan tidak adil. Hal ini menunjukan gambaran titik jenuh atas keadaan yang belum jelas kapan berakhirnya. 

Padahal, tanda kespontanan pergerakan kaum perempuan sama sekali tidak terilhami atau terpantulkan oleh pergerakan feminisme Barat di abad ke-18, 19, 20 hingga gelombang keempat.

Pada sisi lain, diskursus tentang seksualitas mencoba berlindung di belakang manusia bebas. Suara emansipasi kehidupan bersama memasuki hierarki ujaran di balik aura kekerasan atas kaum perempuan.

Dalam suara serak tertahan di tenggorokan berbeda dengan suara yang datang dari ‘ruang batin’ menentang arogansi kelamin pria (de-phallucentric). Pembicaraan atau gambaran yang menghina organ seks berarti penghinaan diri secara otomatis dalam kehidupan.

Selama sekian lama perjuangan simbolik dari kaum perempuan untuk menentang sistem kuasa patriarki. “Kelaminku, kehormatanku!” Katakanlah pada semua orang. Pentingkah ruang bebas, ekspresi bebas, atau masyarakat bebas?

Tahun 1994, pemikiran Barat telah mencapai titik klimaks tentang perempuan, seksualitas, dan tuntutan untuk mengakhiri kekerasan terhadap perempuan. Di tahun tersebut, pementasan The Vagina Monologues tergelar di bawah besutan Eve Ensler, penulis dan aktivis sosial.

Sebelum memasuki abad ke-21, tema pembicaraan masih mengarah pada cara eksistensi perempuan dan perubahan stigma perempuan sebagai subordinasi laki-laki. 

Kelahiran feminisme Barat telah ditandai dengan teater kekerasan perempuan, gadis remaja, dan planet harus diakhiri. Jejak-jejak pergerakan eko-femenisme memungkinkan bisa terlacak dalam kurun waktu yang berlalu. Suatu masa, mekanisme perlawanan terhadap kekerasan perempuan tampil melalui karya seni pementasan. (vday.org, 2020/07/14)

Di Indonesia dalam dekade 90-an masih terdengar sayup-sayup. Jika tidak dikatakan tanpa pergerakan protes kaum perempuan terhadap kekerasan seksual. Asal-usul ujaran vulgaritas dan peristiwa kespontanan perempuan Barat tampak beriringan dengan lumpuhnya kritisisme kaum perempuan Indonesia atas akumulasi permasalahan yang cenderung mengibiri hak-hak manusia.

Secara khsusus, ujaran vulgaritas tentang organ seks masih teranggap tabu di tengah masyarakat yang memegang teguh tradisi dan budaya lokal. Selama itu, realitas yang ada adalah realitas yang masih sunyi dari suara protes, karena realitasnya telah terlucuti dan terasingkan di dunia lain.

Runtuhnya kekuatan dari dalam tanpa semboyan “Kelaminku, kehormatanku!” membuat kita di saat tertentu bisa mempermainkan sebuah permainan yang lebih dekat dengan teater kekerasan. 

Kelupaan atau ketidaksadaran permainan gambar yang melecehkan organ seks kaum perempuan itulah sesungguhnya yang memalukan kita.

Marilah kita melihat keadaan yang berkembang di luar. Lenyapnya tabir malu dan tidak ada lagi rahasia (pribadi, publik) menandai ruang siber. Hilangnya nilai dan kematian makna di zaman ketransparanan.

Padahal, jika kita tanya pada lubuk hati paling dalam, laki-laki manakah yang menolak poligami dan perempuan mana yang tulus menerima poligami? 

Sudahlah. Hal itu akan menjurus pada proses pengaburan terhadap pelecehan organ seks. Lucu dan aneh, bukan?

Lagi pula di negeri ini, melecehkan atau menghina salah salah organ seks memangnya dapat “Kelamin Award?” 

Meskipun awalnya iseng-iseng, kelamaan menjadi kenikmatan puncak yang terselubung. Bukan berarti jika ada kaum laki-laki yang bernada membela kaum perempuan bisa kita simpulkan ketinggalan zaman.

Di era digital, pembicaraan tentang kehidupan di bumi masih di seputar kekerasan seksual, pengalaman seksual yang konsensual dan non-konsensual, citra tubuh, perawatan vagina, pekerjaan seks, masa menstruasi, ragam umur, seksualitas, dan sebagainya dalam sudut pandang kaum perempuan. 

Belum lagi kita terlibat dalam tema pembicaraan tentang perbedaan di balik permukaan tubuh.

Seorang laki-laki melihat gambar organ seks melalui media sosial dan internet bukan hanya terdorong oleh obsesi terhadap sesuatu, tetapi juga ingin terlibat dalam sebuah proses penanaman dan penyebaran fantasi berahi. 

Kata lain, keterlibatan diri melalui “perayaan organ seks” yang tanpa tersadari telah menjatuhkan kehormatan perempuan. 

Sudah tentu kehormatan kelamin akan berbeda dengan ‘wujud tubuh yang terpusat’. Manusia sakit!

Dalam tatapannya melalui video dengan penuh nafsu di zaman anyar. ‘Pria digital’ bangga karena melecehkan organ seks yang dimiliki lawan jenisnya. Dia menghina organ intim, padahal dia ada lewat organ tersebut. Tanpa disadari, dia telah menghina dirinya sendiri.

Kita bisa membayangkan, seks global memperbudak sebuah kampung tradisional. Di manakah kritisisme? Seseorang mengumbar organ seks berarti menelanjangi dirinya sendiri.

Secara genealogis, masih perlukah kita belajar sejarah dari kesalahpahaman tentang organ seks?

Ada suatu argumentasi ketika melihat rentetan gambar bersuara di video, yang membuat kaum perempuan memprotes tidak ada kaitannya dengan feminisme di luar masyarakat lokal yang masih memelihara budaya malu. 

Di sini, kespontanan pergerakan protes, paling tidak ada dua kemungkinan jika sebuah kisah penghinaan organ seks kaum perempuan terangkat ke dunia film.

Pertama, menyangkut jenis kelamin yang terverbalisasi atau tervisualisasi melalui video. 

Ia dimainkan dalam representasi kaum pria tidak diterima oleh sutradara. Kemungkinan akan terjadi konflik.

Kedua, meskipun tidak bermaksud untuk mengobral pornografi, pemerosotan eksistensi kelamin tertentu tidak terpotong oleh Lembaga Sensor Film Indonesia sesuai keinginan sutradara, karena sebagai kisah penting untuk membangun keterbukaan informasi yang berguna bagi kehidupan sosial. (Lihat Cinzia Arruzza, Tithi Bhattacharya, Nancy Fraser dalam Feminism for the 99 Percent: A Manifesto, Verso, London-New York, 2019)

Pemenuhan hasrat seksual yang tersosialkan secara alami dan sah tanpa kekerasan dan eksploitasi dalam kaitannya dengan kehidupan melampaui ‘mekanisme’ dan ‘superioritas’ dari kelamin, tanpa kelamin non-manusia. Tidak pas lihatnya, tidak tepat kelamin boneka!

Pada saat kritisisme begitu polos beriringan dengan kespontanan muncul dari kelamin kaum perempuan, maka di situlah terdapat kekuatan yang tidak lazim ditandai oleh ketelitiannya untuk melihat celah ujaran dan gambar yang dimanipulasi sedemikian rupa sebelum merebak ke mana-mana.

Kelahiran kritisisme berupa aksi protes menandakan kelamin kaum emak-emak paling jelas dan tegas saat organ seksnya terhina. Kelamin kaum laki-laki tidak lebih perkasa dari kelamin kaum emak-emak.

Lebih penting lagi, kritisisme terhadap penyaluran fantasi berahi sebagai seni yang terpendam melalui medium tertentu. 

Tetapi, ia bukanlah hasil kontemplasi atas peristiwa tentang diskriminasi dalam kehidupan sosial dan intelektual. 

Semata-mata seni erotis yang terlampiaskan dari individu tidak lebih dari penyaluran fantasi berahi liar dan dangkal.

Kekuatan penampilan wujud seksual menerobos permukaan tubuh, sejenis kelamin yang hidup dan bergerak melalui dunia nyata dan tiruan kita sebut organ tanpa vital. 

Untuk menambah ritme kehidupan, wujud seksual melibatkan fantasi dan imajinasi, tetapi tidak bisa terefleksikan melalui kelamin.

Kita tidak bisa bayangkan, kelamin yang gemar menumpahkan kekalutan pikirannya melalui gambar video seronok yang menciptakan fantasi berahi. 

Di tempat lain, kaum perempuan perlu menyalurkan kesenangan membaca buku, menulis, menelaah, dan membagi pengalaman tentang dunia yang mereka impikan akan menjadi kenyataan.

Bebas dari kebebasan yang membawa ilusi itulah titik tolak perjuangannya. 

Bukan gambar video seronok, tetapi tatapan mata penuh nafsu. Fantasi berahi yang tidak terkontrol melalui tubuh nyaris di luar batas nalar.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun