Mohon tunggu...
Ermansyah R. Hindi
Ermansyah R. Hindi Mohon Tunggu... Lainnya - Free Writer, ASN

Bacalah!

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Seperti Obat Perangsang

10 Oktober 2022   09:05 Diperbarui: 22 Januari 2025   07:33 226
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: monitorindonesia.com, 14/03/2022

Teman saya, seorang suami idaman. Kemarin sore, dia mendengar isterinya mengomel tentang pelakor. Tanpa peduli kalau jam itu adalah hari kantor suaminya. Kenapa isterinya memata-matai suaminya, penuh curiga? “Tuh, lihat sohibmu, bapaknya anak-anak!” Dandanannya makin necis, tidak sepertinya biasanya,” begitu kata isteri teman saya. “Yang mana, bu?” Tanyaku sekenanya.

Mengenai ketidakbiasaan itu tidak perlu pertengkaran panjang kali lebar. Curiga ya curiga. Saya bingung. Tetapi, bukan di situ substansinya. Sekilas cerita itu menggambarkan iklim politik tanah air. 

Yang ingin saya bicarakan adalah berubahnya teman politik menjad dicurigai. Kenapa?

Sudah bukan rahasia umum, nyaris dihafal di luar kepala jika di dunia politik, baru semenit yang lalu masih teman. Di hari berikutnya teman sudah “bermain mata” dengan partai politik di sebelah. Akhirnya, teman jadi lawan, lawan jadi teman.

Ah, hal itu sudah biasa. Saya tersenyum. Serius amat sih, teman? Begini saja, agar nikmat, kadangkala politik mirip dengan “pelakor” (perebut lelaki orang). Menjadi “pelakor” itu nikmat

Pasangan suami isteri, berarti sah secara hukum, tetap saja akan terbayang-bayangi oleh “pelakor.” Suami isteri dalam kaitannya dengan penundaan pemilu sama-sama disoroti secara hukum. Bedanya, suami isteri sah secara hukum negara akan terganggu oleh “pelakor.” 

Ide dan diskursus (wacana) tentang penundaan pemilu, akhirnya ditolak oleh sebagian besar masyarakat dan didukung oleh segelintir.

Pendukung wacana tentang penundaan pemilu bukan berarti sebagai “pelakor” atau pengganggu. Ia semata-mata metafora alias kiasan.

Dari situ juga saya kira rebut-ribu wacana politik terpanas semusim tidak lebih sebagai obat perangsang. Saya tidak terlalu menanggapinya karena orang tidak heran dengan keriuhan politik semacam mabuk wacana. Begitu pun kita temukan riuh rendah penuh ide dan wacana politik di media sosial. Mencuat sedikit saja wacana politik di tingkat elite, mucul pula gesekan di tingkat massa pendukung.

Lalu, bukankah ide atau wacana tentang penundaan pemilu bertentangan dengan konstitusi? 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun