Manakah yang gelung Jawa,
Semua telah ada yang punya,
Mana yang belum dipunya.
Pada tahun 2014 secara nasional pantun telah ditetapkan sebagai warisan budaya. Berikutnya pada tanggal 17 Desember 2020 pantun ditetapkan sebagai warisan budaya tak benda oleh UNESCO pada sesi ke 15 intergovernmental comittee for the safeguarding of the intangible cultural heritage.
Adanya penetapan tersebut, berarti generasi sekarang dan akan datang wajib untuk terus memelihara sebagai warisan budaya tak benda dunia, pantun harus terus dikaji, ditulis sehingga terus lestari di masyarakat.
Mempelajari dan melestarikan dengan melatih peserta didik berpantun, membuat pantun, menulis buku kumpulan pantun adalah cara-cara untuk melestarikan pantun.
Pantun seringkali kita dengar saat pidato atau sambutan. Namun yang membuat khawatir adalah pantun digunakan untuk mengolok-olok, ujaran kebencian seperti yang sering kita saksikan di acara televisi.
Sebab itu perlu untuk memahami definisi mengenai pantun.
Menurut Renward Branstetter (Suseno, 2006; Setyadiharja, 2018; Setyadiharja, 2020) berasal dari kata "Pan" yang merujuk pada sifat sopan. Dan kata "Tun" yang merujuk pada sifat santun. Kata "Tun" dapat diartikan juga sebagai pepatah dan peribahasa (Hussain, 2019)
Pantun berasal dari akar kata "TUN" yang bermakna "baris" atau "deret". Asal kata Pantun dalam masyarakat Melayu-Minangkabau diartikan sebagai "Panutun", oleh masyarakat Riau disebut dengan "Tunjuk Ajar" yang berkaitan dengan etika (Mu'jizah, 2019)
Pantun termasuk puisi lama yang terdiri dari empat baris atau rangkap, dua baris pertama disebut dengan pembayang atau sampiran, dan dua baris kedua disebut dengan maksud atau isi (Yunos, 1966; Bakar 2020)