Sukarno memanfaatkan situasi ini, di mana partai komunis Indonesia menjadi partai terbesar di Parlemen dan Sukarno membangung hubungan harmonis dengan komunis Uni Soviet untuk mendatangkan peralatan militer Invasi West Papua. Hal ini menjadi ancaman serius eksitensi dan kepentingan barat dan Amerika Serikat, karena komunis Uni Soviet dapat menanamkan pengaruh di Asia Pasifik. Karena itu, Indonesia dan Amerika bertemu untuk dilakukan perjanjian di atas sebuah kapal milik Amerika.
Dalam kapal itu dilakukan perjanjian, di mana Amerika Serikat akan mengambil dan menguasai gandungan gunung emas di Papua, dan Indonesia mengambil alih Papua. Di mana gandungan emas itu kini diekploitasi oleh PT. Freeport Indonesia di Tembagapura. Perjanjian dilakukan tahun 1967, sebelum dilakukan Penentuan Pendapat Rakyat (PEPERA) dan Papua belum diintegrasikan. Inilah dianggap sebagai akar masalah yang dimainkan Indonesia dan Amerika untuk merebut kekayaan alam Papua.
(Baca ini: Penyelenggaraan PEPERA Tahun 1969 di Papua dan Keputusannya)
Setelah Amerika dan Indonesia melakukan perjanjian untuk merampas tanah Papua dan kekayaan alamnya, maka Amerika Serikat membatalkan rencananya untuk hadir dalam deklarasi Parlemen New Guinea di Holandia. Setelah usia negara Papua 19 hari sejak 1 Desember 1961, Sukarno keluarkan maklumat pada tanggal 19 Desember 1961 di Jog-Jakarta untuk invasi Negara Papua Barat yang baru merdeka itu, di mana maklumat invasi militer untuk aneksasi Papua Barat ini disebut Tri Komando Rakyat (TRIKORA). Dalam Maklumat Invansi ini menginstruksi tiga perintah:
- Kibarkan bendera merah putih di seluruh Papua;Â
- Bubarkan Negara Papua Barat;Â
- dan lakukan Mobilisasi Umum.
Salah satu yang sangat berhasil adalah Sam Ratulangi dari Manado yang dibuang ke Serui, di mana ia merekrut Silas Papare dan didokrin ideologi Indonesia raya. Silas Papare kemudian menjadi tokoh central pro Indonesia di Serui dan dibentuk partai politik warna Indonesia di sini. Para migran dan infitrasi Indonesia itu direkrut Frans Kaisiepo dari Biak menjadi tokoh central pro Indonesia.
Marthen Indey yang sebelumnya sekolah di Ambon juga didokrin ideologi Indonesia raya, Mathen Indey dan B.T.J. Jufuary adalah anggota Parlemen Daerah Dapansoro kemudian menjadi tokoh central pro Indonesia di daerah Jayapura. Dalam pidato pembukaan Parlemen Daerah, Marthen Indey tidak bicara sedikit pun bagaimana kerja sama dengan Belanda untuk mewujudkan negara Papua yang baru dibentuk itu. Dia justru bicara pengiriman siswa Papua ke Jepang dan kerja sama Indonesia.
Pada bulan Juni 1960 Indonesia merekrut Rumaseeuw dan didokrin ideologi Indonesia Raya dan ketika itu dia tinggal di Indonesia. Kemudian dia kampanya aktif di Papua untuk mendukung aneksasi Papua ke Indonesia. Rumaseeuw mengirim surat kepada Wajoi, di mana Wajoi dan Partai Nasionalnya sibuk mengusulkan agenda perundingan segi tiga antara Belanda, Indonesia dan Papua.
Rumaseeuw dalam suratnya mengatakan, Belanda menjuarakan kepada orang Papua suatu kesadaran jadi diri palsu, sedang kebenaran yang tak tegoyahkan adalah orang Papua sama seperti orang Ambon, Sumatra, jawa dan menjadi bagian dari Indonesia Raya. Rumaseeuw melakukan suatu pertemuan pada 1 Juli dan orang-orang dalam pertemuan itu berhasil diindokrinasi dengan gagasan Indonesia Raya. Womsiwor dan Marthe Indey mencari kontak dengan Silas Papare di Indonesia.
Di Belanda Hasan seorang wartawan antara dihubungkan dua mahasiswa Papua Kirihio dan Saul Hindom dengan duta besar Indonesia Drs. Marjaid di Bonn, atase militernya Panjaitan dan Hasan sendiri. Bonay juga kemudian bergabung dengan kelompok ini, di mana mereka melakukan pertemuan pada tanggal 9 September di Antwerpen.
Dalam pertemuan ini mereka diindokrinasi dengan kekuatan militer Indonesia dan berjanji akan diberikan Otonomi Luas kepada Papua dalam ikatan Negara Indonesia. Di mana mereka direncanakan untuk bertemu dengan Silas Papare yang menjadi tokoh pro Indonesia waktu itu.