Melalui lembaga forum rekonsiliasi ini kemudian diseleksi tokoh-tokoh Papua 100 orang yang disebut tim 100. Tim ini diorganisir oleh forum rekonsiliasi ini dengan tokoh-tokoh Papua seperti Wily Mandowen, Tom Beonal, Theys Hiyo Eluay, Fredy Numberi, gubernur saat itu, Agus Alua dan tuan Oktovianus Mote intelektual muda dan sebagainya. Tim ini kemudian diberangkatkan ke Jakarta dengan misi khusus dan bertemu presiden J.B. Habibie di istana negara.
Kemudian mereka menyampaikan keinginan rakyat Papua untuk keluar dari Indonesia dan membentuk negara sendiri secara politik. Jawaban atas sikap politik itu, presiden Habibie mengatakan "pulang dan renungkan". Satu-satunya orang yang tidak ikut ke Jakarta bertemu Habibie adalah Ondofolo Theys Hiyo Eluay. Dia mengatakan, saya hanya berjuang untuk Papua Merdeka dan bukan otonomi luas atau otonomi khusus. Dia sudah melihat misi ganda oleh orang-orang tertentu dalam struktur forum rekonsiliasi ini maka dia mengambil sikap politiknya. Karena dia tidak ingin terlibat dalam politik abu-abu dari individu tertentu.
Setelah kembali mereka mobilisasi rakyat dan melakukan musyawarah besar (MUBES) pada tanggal 23-27 Februari 2000 di Hotel Sentani Indah, di Sentani. Dalam MUBES ini diikuti 400 peserta dari utusan 14 Kabupaten dan Kota di seluruh Papua, dan untuk pertama kalinya dalam MUBES ini dihadiri utusan dari warga Papua New Guinea, perempuan, tapol/napol, satgas dan Tentara Pembebasan Nasional Papua.
Dalam MUBES ini Theys H. Eluay dan Tom Beonal terpilih sebagai pemimpin besar bangsa Papua bersama dengan 18 orang anggota inti dan sejumlah komponen perjuangan diwakili dua orang. Mubes ini menghasilkan suatu komunike yang intinya menekankan menuntut kemerdekaan dan kedaulatan bangsa Papua secara damai.
Konsep awalnya disarankan bahwa sayap militer mendapat posisi dalam struktur inti. Tetapi, dengan berbagai pertimbangan dan pembahasan yang hangat Tentara Pembebasan Nasional (TPN) dan Satgas Papua tidak terwakili dalam organisasi ini. Sesuai dengan keputusan hasil MUBES tersebut PDP ditugaskan untuk mengurus tiga agenda pokok yaitu: Pertama, menindaklajuti keputusan-keputusan MUBES; Kedua, menyiapkan sejumlah masalah penting yang belum dibahas secara tuntas; Ketiga, menyiapkan pelaksanaan Kongres Papua II pada bulan Mei 2000.
Pada tanggal 29 Mei sampai 4 Juni tahun 2000 dilaksakan Kongres Papua II di gedung Olahraga Cenderawasih di Jayapura. Kongres Papua II merupakan suatu babak baru dalam perjuangan Papua merdeka, di mana ribuan orang Papua datang dan secara terbuka menyampaikan keinginan untuk kemerdekaan Papua, dalam suatu forum resmi di pusat kota Provinsi. Di mana dalam Kongres ini dihadiri 25.000 peserta yang terdiri dari berbagai delegasi dari seluruh tanah Papua, delegasi perantauan di Indonesia dan delegasi dari luar negeri. Dihadiri pula pejabat, pimpinan militer dan kepolisian Indonesia di Papua.
Dalam kongres ini memutuskan dasar-dasar perjuangan Papua dan ke mana orientasi perjuangan ke depan yang meliputi pelurusan sejarah dan proses kemerdekaan Papua dilakukan secara damai, bermartabat dan dialogis. Melalui kongres ini perjuangan Papua secara sporatis dan gerilya di hutan menjadikan basis perjuangan dalam kota dengan mobilisasi masa rakyat.
Dalam kongres Papua II ini telah melahirkan Presidium Dewan Papua (PDP) secara lengkap sebagai lembaga politik untuk memperjuangkan kemerdekaan Papua secara damai dan dialogis. Di tingkat kabupaten dibentuk Panel Papua. Di mana Theys H. Eluay terpilih menjadi ketua dan Tom Beonal menjadi wakilnya. Toha Alhamid terpilih sebagai sekretaris Jenderal dan dilengkapi sejumlah anggota. Panel di tingkat Kabupaten terpilih seorang ketua, sekretaris dan anggota. Selain itu, Presidium Dewan Papua dilengkapi dengan para duta besar di luar negeri dengan misi khusus melobi negara-negara untuk mendapat dukungan internasional.
(Baca ini: Melawan Lupa: Penculikan dan Pembunuhan Terhadap Theys Eluay, 11 November 2001)
Kongres ini menghasilkan suatu resolusi politik dengan enam butir dan lima mandat agenda politik kepada Presidium Dewan Papua untuk memperjuangkan. Keenam butir resolusi itu intinya dapat dibagi menjadi tiga yaitu: Pertama, gugatan terhadap sejarah yang dianggap cacat hukum dan moral; Kedua, pengajuan pelaku kejahatan kemanusian ke pengadilan internasional untuk dituntaskan; Ketiga, tuntutan pengakuan kedaulan atas Papua Barat.
Sedangkan kelima mandat yang termuat dalam resolusi kongres itu esensinya terbagi menjadi tiga bagian penting. Pertama, menggalang dunia internasional untuk mendapatkan pengakuan kedaulatan; Kedua, memperjuangkan ke pengadilan internasional untuk mengadili para pelaku kejahatan kemanusiaan; Ketiga, membentuk tim independen untuk perundingan internasional.