Mohon tunggu...
Erick M Sila
Erick M Sila Mohon Tunggu... Guru - Pendidik

Menulis adalah mengabadikan diri dalam bentuk yang lain di masa depan.

Selanjutnya

Tutup

Cerbung

Belajar dari Nikmatnya Secangkir Kopi #11

15 Januari 2024   15:48 Diperbarui: 15 Januari 2024   16:02 320
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://www.canva.com/design

"Benar sekali," sang barista mengiyakan sambil mengangguk, berhenti sejenak untuk merenungkan perkataan Aditya sebelum melanjutkan tugasnya.

Aditya menyaksikan barista bergerak dengan lancar di sekitar kafe, sebuah tarian yang penuh tujuan dan pelayanan. Hal ini merupakan pengingat yang hening namun kuat bahwa bahkan dalam mengejar kebahagiaan individu, seseorang tidak boleh melupakan keselarasan yang menyatukan berbagai aspek kehidupan.

"Seimbang," bisiknya pada dirinya sendiri, kata itu melayang di udara seperti nada akhir sebuah lagu. Dia tahu bahwa menemukan keseimbangan ini bukanlah tugas yang mudah dicapai dalam kesendirian yang nyaman di kafe favoritnya. Hal ini mengharuskannya untuk melangkah keluar ke dalam hiruk-pikuk tuntutan hidup, berbekal pelajaran yang diperoleh dari saat-saat refleksi yang tenang ini.

"Terima kasih untuk kopinya," kata Aditya sambil tersenyum sambil berdiri untuk pergi, tekadnya diperkuat oleh kejelasan kesadarannya. Setiap langkahnya meninggalkan kafe, ia merasakan tekad untuk merangkai esensi kesederhanaan hidup ke dalam kehidupan sehari-harinya, menyeimbangkan manis dan pahit, bagaikan secangkir kopi yang sempurna.

Raden Aditya Wirawan berdiri di ambang pintu apartemennya, pintu berat itu menutup di belakangnya seperti tanda titik di akhir sebuah kalimat penting. Tatapannya menyapu ruang yang familiar, kini terlihat melalui lensa intensionalitas. Gemuruh lembut kota di luar jendelanya berperan sebagai latar belakang renungannya.

"Keseimbangan," gumamnya, membiarkan kata itu keluar dari lidahnya dan memenuhi ruangan dengan janjinya. Dia meraih buku catatan yang tergeletak di atas meja kopi, ujung-ujungnya melengkung karena sering digunakan, dan mulai menulis catatan dengan tangan yang mantap. Setiap goresan pena merupakan pengakuan atas masa lalu dan komitmen terhadap masa depan yang dibentuk oleh keputusan yang diambil secara sadar.

"Kerja... Keluarga... Diri Sendiri," dia menyebutkan dengan lantang, mengelompokkan bidang-bidang kehidupannya di mana ketidakseimbangan telah merembes. Dia berhenti sejenak, mempertimbangkan setiap bidang dengan cermat.

"Adit," ia memanggil dirinya dengan panggilan akrabnya, sebuah kebiasaan saat memulai dialog diri yang serius, "tugasmu bukan hanya untuk mengejar impianmu, tapi juga untuk menjaga yang telah kau miliki."

Dia membayangkan tempat kerjanya, upaya tanpa henti untuk mencapai kemajuan karier, dan jam kerja panjang yang hanya menyisakan sedikit ruang untuk hal lain. Sudah waktunya untuk menetapkan batasan, untuk mengingatkan diri sendiri bahwa produktivitas tidak diukur dari kelelahan di penghujung hari, tetapi dari kepuasan yang dihasilkan.

"Mulai besok, tidak ada lagi lembur yang tak perlu," dia memutuskan, tangannya berhenti sejenak saat memikirkan implikasinya. Tentu saja akan ada penolakan, tetapi kesejahteraannya menuntut hal itu.

Lalu ada juga orang-orang yang dicintainya---hubungan yang diam-diam layu di bawah bayang-bayang ambisinya. Pikirannya melayang ke pagi hari di akhir pekan yang bisa dihabiskan bersama keluarganya, ke malam hari di mana tawa bisa menggantikan gencarnya ketukan keyboard.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
  14. 14
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerbung Selengkapnya
Lihat Cerbung Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun