BAB 11 : MISI PENCARIAN
Aditya duduk sendirian di tempat biasanya di sudut kafe yang remang-remang, aroma biji kopi sangrai menyelimutinya seperti pelukan seorang teman lama. Dia memegang cangkir hangat di antara kedua tangannya, permukaannya dilapisi dengan warna-warna alami yang sepertinya mencerminkan kekayaan minuman yang dikandungnya. Cairan pahit bermain di langit-langit mulutnya, mengundang pelarian singkat ke dalam labirin pikirannya.
"Masih yang sama, Raden?" barista, seorang pria dengan senyum penuh pengertian, bertanya ketika dia lewat, mengelap meja.
"Seperti biasanya," jawab Aditya tanpa mengalihkan pandangannya dari pusaran uap kontemplatif yang mengepul dari cangkirnya. Suaranya membawa sedikit rasa syukur, karena kafe telah menjadi tempat perlindungan di mana ia bisa mengungkap benang introspeksi dirinya.
Dalam suasana akrab ini, Aditya membiarkan pikirannya melayang kembali ke hari-hari awal perjalanannya---hari-hari yang penuh dengan ambisi tanpa henti dan pencarian kepuasan diri sendiri. Setiap tegukan kopi mengingatkannya pada kesenangan sederhana yang sering dia abaikan; hangatnya sinar matahari di kulitnya, gelak tawa bersama teman-teman lama, kesunyian dini hari sebelum dunia bergemuruh. Saat-saat singkat ini, yang dulu hilang dalam bayang-bayang aspirasinya, kini berkilau dengan makna baru.
"Kehidupan ini...lebih dari sekedar pencapaian," renungnya dalam hati, menyadari adanya pergeseran dalam dirinya. Cita rasa kopi, yang tadinya sekadar rutinitas menyenangkan, kini menjelma menjadi sebuah jangkar---sebuah isyarat indra yang mengingatkannya untuk mengapresiasi masa kini.
Namun saat dia meneguknya lagi, beban tanggung jawabnya menggerogoti batas ketenangannya. Dia tidak bisa lagi mengabaikan tarian halus antara kegembiraan pribadi dan kewajiban. Bagaimana dia bisa mengejar kedalaman kesenangan hidup yang sederhana tanpa meninggalkan jaringan kewajiban yang juga mendefinisikan dirinya?
"Menemukan keseimbangan itu seperti meracik kopi yang sempurna," katanya dalam hati, hampir tertawa mendengar metafora tersebut. "Terlalu banyak pahit atau manis, dan seluruh cangkirnya menjadi sia-sia."
"Raden, terlihat serius sekali. Semua baik-baik saja?" sebuah suara yang familiar membuyarkan lamunannya. Itu adalah barista lagi, yang sekarang berdiri di sampingnya dengan kain disampirkan di bahunya.
"Ah, aku hanya sedang berpikir tentang hidup," Aditya mengaku sambil menatap pria itu. "Terkadang, kita begitu sibuk mencari kebahagiaan hingga lupa akan tanggung jawab yang harus dijaga."