Dia memiringkan kepalanya, matanya yang tajam sedikit menyipit. "Apa maksudmu?"
"Maksudku," dia memulai, lalu berhenti sejenak, mencari kata-kata yang tepat. "Bukankah ada risiko kehilangan diri kita sendiri? Membiarkan 'kita' menutupi 'aku'?"
Agnes bersandar, kursinya berderit pelan karena berat badannya. Jari-jarinya mengetuk meja kayu dengan irama hening, merenungkan pertanyaannya. "Apa maksudmu bersamaku menghambatmu?"
"Tidak, tidak, tidak sama sekali." Tangan Aditya terulur, ragu-ragu. "Tetapi bukankah pertumbuhan pribadi sama pentingnya dengan pertumbuhan bersama? Bagaimana kita memelihara keduanya tanpa mengabaikan salah satu hal?"
Keheningan menyelimuti mereka, berat dan kental seperti uap yang mengepul dari cangkir kopi mereka. Aditya memperhatikan wajahnya, sebuah kanvas terbuka tempat segudang emosi bermain petak umpet. Dia bisa melihat pikirannya melukiskan alur pemikiran, memadukan keraguan dengan pemahaman.
"Aditya," akhirnya dia berkata, suaranya mantap namun lembut, "kita ini seniman, bukan? Kita mencipta, kita bertransformasi. Bukankah hal yang sama juga berlaku untuk hidup kita? Untuk cinta kita?"
"Ya tapi-"
"Cinta tidak seharusnya menjadi sangkar," selanya, bibirnya membentuk setengah senyuman, setengah cemberut. "Seharusnya itu adalah langit---luas dan tak terbatas. Jika kita memang ditakdirkan demikian, kita akan menemukan keseimbangan."
Aditya membiarkan kata-katanya tenang, hatinya seperti roda tembikar yang berputar perlahan di bawah sentuhan lembutnya. Pikirannya berputar-putar, mempertimbangkan sudut pandangnya, merasakan kebenaran di dalamnya namun bergulat dengan rasa tidak amannya sendiri.
"Baiklah," dia mengakui, suaranya nyaris berbisik. Kalau begitu, mari kita temukan langit kita.
Mereka duduk di sana, keheningan bersama merupakan bukti kompleksitas dua jiwa yang mencari harmoni. Dan saat mereka menyesap kopi, dunia di luar kembali melanjutkan langkahnya, sebuah pengingat bahwa kehidupan, seperti halnya percakapan mereka, adalah perpaduan rumit antara pahit dan manis.