"Cantik," gumam Aditya, pandangannya tertuju pada tablo tenang di hadapannya. Danau itu bagaikan cermin bagi jiwa, mengungkapkan apa yang sering tersembunyi di bawah permukaan.
Agnes melepaskan tangannya dan duduk di tepi peron, kakinya menjuntai di atas air. "Kau tahu, aku datang ke sini saat aku merasa tersesat," akunya, suaranya nyaris berbisik. "Ketika beban dari apa yang saya inginkan berbenturan dengan siapa saya."
Aditya bergabung dengannya, bahu mereka bersentuhan. Ini adalah momen yang penuh dengan kerentanan---sebuah momen yang mengupas lapisan-lapisan di baliknya, memperlihatkan inti ketakutan manusia. "Kadang-kadang," dia memulai, suaranya diwarnai keraguan, "aku khawatir pencarianku akan makna hanyalah...sebuah pelarian. Bahwa aku menggunakannya untuk menghindari bagian-bagian kehidupan yang tidak dapat aku kendalikan."
"Bukankah itu yang kita semua lakukan?" Agnes menoleh ke arahnya, matanya mencari matanya dalam cahaya remang. "Kita semua berusaha menemukan tempat kita di alam semesta yang luas ini, untuk memahami kekacauan yang terjadi."
"Namun kamu tampak begitu berani," kata Aditya, mengagumi kekuatan tatapannya.
"Penampilan bisa menipu," jawabnya sambil tertawa pelan. "Saya mengambil risiko karena saya juga takut---takut akan kehidupan yang belum dijelajahi, akan impian yang belum dikejar."
Bayangan mereka bercampur di permukaan air, dua jiwa terjalin karena pengakuan bersama. Di dunia bawah tanah ini, Aditya merasakan hubungan dengan Agnes yang sedalam dan misterius bagaikan air di bawahnya.
"Ayo," katanya tiba-tiba, berdiri dan mengulurkan tangannya padanya. "Izinkan aku berbagi sesuatu denganmu juga. Sesuatu yang menjadi dasar bagiku."
Mereka muncul dari kedalaman yang gelap, meninggalkan bisikan sunyi di bawah tanah. Kota menyambut mereka dengan kesibukan dan kebisingannya, sangat kontras dengan keakraban tenang yang mereka alami di bawah.
Aditya membawa Agnes ke sebuah kafe kecil yang terletak di antara gedung-gedung tinggi. Aroma biji kopi panggang menyelimuti mereka saat mereka melangkah masuk, sebuah janji indra akan kenyamanan dan kehangatan.
"Selamat datang di tempat perlindunganku," kata Aditya sambil menunjuk ke arah mesin espresso yang berkilauan. Tangannya bergerak dengan mudah, mengukur dan menggiling kopi sambil menjelaskan setiap langkah kepada Agnes. "Membuat kopi adalah sebuah seni, sebuah ritual. Ini tentang menemukan keseimbangan sempurna---seperti kehidupan, bukan begitu?"