Mohon tunggu...
Erfransdo
Erfransdo Mohon Tunggu... Lainnya - Journalist, Traveler

Penggiat aksara dan penggemar tualang | Chelsea fans

Selanjutnya

Tutup

KKN Pilihan

Misteri Lenyapnya Mahasiswa KKN di Pedalaman Sukabumi

20 Juni 2024   18:13 Diperbarui: 20 Juni 2024   18:51 315
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi bangunan tua di pedalaman (Unsplash/m wrona)

Jakarta, Juni 2024

Andaikan saja 16 tahun lalu aku menyadari bahwa perjalanan kami itu adalah sebuah kesalahan, mungkin aku tidak akan kehilangan mereka. Aku sama sekali tidak pernah menyangka bahwa kegiatan KKN yang sangat aku nantikan akan menjadi sebuah tragedi yang tidak bisa kulupakan seumur hidup.

Maafkan aku teman-teman...

Bandung, Juni 2008

Suasana Bandung pagi ini begitu dingin ditambah hujan yang membasuh bus rombongan mahasiswa KKN. Aku sudah tidak sabar untuk menapaki tanah Sukabumi tempat aku dan keenam temanku mengabdi. Kami ditempatkan di pedalaman Sukabumi dengan Pak Rangga sebagai dosen pembimbingnya.

Meskipun sangat antusias, namun aku merasakan hal yang kurang nyaman. Entah mengapa, sejak mimpi buruk semalam, aku merasa ada sesuatu yang aneh dalam perjalananku kali ini. Tapi aku berusaha membuang pikiran buruk itu dan fokus untuk mengabdi.

“Hei, Salsa, kenapa ngelamun terus dari tadi, kamu lapar?” Pak Rangga memecah lamunanku di balik jendela bus.

“Ah, enggak kok pak, aku cuma kurang tidur aja kayaknya,” jawabku seadanya dengan senyum sopan.

Pak Rangga hanya mengangguk dan kembali ke tempat duduknya di belakang setelah sebelumnya berkeliling memeriksa mahasiswa. Kala itu jam masih menunjukkan pukul 8 pagi, namun langit cukup muram karena cuaca buruk.

Enam jam lebih kemudian, aku, Pak Rangga, dan keenam temanku yang lain baru tiba di lokasi KKN. Kebetulan timku menjadi tim terakhir yang tiba di lokasi KKN. Beberapa tim lain yang juga satu bus denganku sudah lebih dulu turun karena lokasi yang tidak begitu jauh.

Saat turun dari bus, kepalaku terasa sangat pusing hingga aku pun sama sekali tidak tahu apa yang terjadi setelah itu.

***

“Sal, kamu udah bangun?” sayup-sayup aku mendengar suara Ezar, ketua kelompok KKN, dengan tatapanku yang belum sepenuhnya jelas.

Ezar sudah memegang gelas berisi air putih di tangannya.

Aku pun berusaha untuk setengah duduk. Saat itu aku sedang dikerumuni oleh teman-temanku di ruangan yang sepertinya sebuah kamar dengan penerangan lampu petromaks berwarna oranye. Di antara mereka, aku melihat ada satu sosok yang tak aku kenali. Ternyata itu adalah Pak Asep, ketua RT yang menyewakan rumahnya kepada kami.

Pak Rangga kemudian menceritakan kronologi kejadian hingga aku ada di atas kasur ini. Tampaknya saat aku turun dari bus, mungkin karena kelelahan, aku langsung pingsan di tempat. Pak Rangga dan Ezar langsung membopongku ke rumah Pak RT.

Saat itu, langit sudah gelap. Ternyata aku sudah pingsan selama kurang lebih tiga jam. Karena perutku benar-benar lapar, aku pun makan ubi goreng yang sudah disediakan oleh Pak RT. Setelah itu, badanku mulai pulih kembali.

***

Hari Pertama KKN

Meskipun Ezar menyarankanku untuk istirahat, namun aku kekeh ingin ikut KKN di hari pertama karena keadaanku sudah pulih kembali. Akhirnya aku dan keenam temanku mulai melakukan KKN. Sementara Pak Rangga tinggal di rumah warga untuk menyelesaikan tugas disertasinya sambil memantau kami dari kejauhan.

Di hari pertama, kami mulai memetakan apa saja yang akan kami lakukan selama sebulan ke depan. Permasalahan utama di desa ini adalah mengenai sistem irigasi sawah warga yang masih belum optimal. Untuk itu, kami pun fokus pada permasalahan tersebut.

Ezar mulai membagi tugas kepada kami. Selain Ezar, aku satu tim dengan lima teman lainnya. Mereka di antaranya adalah Alfiyan, Dito, Rafan, Elia, dan Dinda. Kami semua tinggal di rumah Pak RT yang cukup luas dengan arsitektur seperti bangunan Belanda.

Kami baru selesai mengerjakan proyek di hari pertama pada pukul lima sore. Suara serangga sangat kentara kami dengar karena kami benar-benar berada di pedalaman yang penuh dengan pohon-pohon besar. Akses ke jalan raya cukup jauh. Penduduk di sini pun tidak terlalu banyak.

Sebelum matahari terbenam, kami sudah sampai di rumah Pak RT. Sebagai juru masak, aku dan Elia pun masak untuk keperluan makan malam ini. Aku dan Elia memasak mie dan beberapa sayuran. Sementara itu Dinda bertugas untuk memasak nasi menggunakan tungku bersama Dito. Saat itu, listrik belum masuk ke desa yang kami tempati. Penerangan masih menggunakan lampu petromaks.

Entah perasaanku saja atau bukan, aku seperti mencium bau amis darah.

“Kok aku kayak cium bau amis darah, ya?”

“Eh bener, aku juga cium baunya, Sal!” Elia mengamini penciumanku.

Aku mulai kembali merasakan hal yang aneh. Tapi, agar anak-anak tidak berprasangka apa pun, aku meminta Elia untuk tidak cerita kepada yang lain. Kebetulan saat itu kami sedang memasak mie di luar menggunakan kayu bakar. Bisa saja ada seseorang yang baru saja memotong ayam.

Jam 7 malam kami mulai menyantap makanan yang kami masak. Kami seharian belum melihat penampakan Pak RT. Sepertinya beliau sedang tidak ada di rumah. Kami pun begitu lahap menyantap makanan di tengah rumah dengan penerangan yang cukup minim.

Setengah jam setelah istirahat, Ezar mulai memimpin rapat untuk kegiatan besok. Hari semakin larut, Dito, Rafan, Alfiyan, dan Dinda sudah mulai tertidur. Sementara aku, Erza, dan Elia masih mencoba bertahan. Namun tidak lama setelah itu, kami pun memutuskan untuk tidur karena sudah kelelahan. Jam sudah menunjukkan pukul 11.30 malam.

Lelaki tidur di tengah rumah, sementara perempuan tidur di kamar yang saat itu jadi tempat aku istirahat setelah pingsan. Aku berusaha untuk memejamkan mata, namun tidak bisa. Sayup-sayup aku seperti mendengar suara langkah kaki di belakang rumah. Aku berpikir mungkin itu Pak RT yang baru pulang.

Tapi, habis dari mana Pak RT sampai baru pulang tengah malam begini? Aku ingin memeriksa, namun mataku tiba-tiba semakin berat hingga aku pun tertidur lelap.

***

Keesokan harinya, Pak Rangga datang menghampiri kami. Ia menyampaikan pada kami bahwa Dito memutuskan untuk pulang lebih dulu karena menerima kabar bahwa orang tuanya kecelakaan. Pak Rangga memberikan kabar kepada Dito di tengah malam. Di antara kami, hanya Pak Rangga yang membawa handphone.

Sepertinya semalam suara langkah kaki yang aku dengar adalah suara Pak Rangga yang hendak memberikan kabar buruk pada Dito. Aku benar-benar merasa kasihan pada Dito, padahal dia sangat antusias bisa mengabdi di pedalaman Sukabumi ini. Namun, sayangnya ia malah mendapatkan kabar tak mengenakkan.

Tim pun berkurang menjadi enam anggota. Meskipun begitu, kami tetap harus melanjutkan KKN dengan semangat demi membantu warga yang ada di sini.

Kegiatan KKN pun kami lanjutkan kembali. Baru saja tiba di lokasi, aku melihat beberapa warga sedang menggotong keranda. Tampaknya saat itu ada warga yang meninggal dunia. Tak lama setelah itu, hujan pun turun.

Kami berusaha untuk berteduh di saung dekat dengan sawah. Karena kami lupa membawa bekal, Alfiyan pun berinisiatif untuk kembali ke rumah Pak RT mengambil makanan yang tertinggal sambil kepalanya ditutupi daun pisang agar tidak terkena hujan.

Namun, dua jam setelah Alfiyan pergi menuju rumah Pak RT, ia tidak kembali lagi. Rafan menyangka bahwa Alfiyan sengaja pulang untuk tidur. Kami pun kesal dan terpaksa harus melakukan kegiatan tanpa bekal.

Jam 5.30 sore kami baru sampai di rumah Pak RT. Namun, aku sama sekali tidak melihat batang hidung Alfiyan. Kukira dia memang sengaja tidur, tapi nyatanya dia tidak ada di dalam.

Langit pun mulai kembali gelap. Alfiyan belum juga pulang ke rumah. Kami pun mencoba untuk mencari ke sekitar rumah warga, namun hasilnya masih nihil. Merasa ada yang tidak beres, kami mencoba melapor kejadian ini kepada Pak RT.

Pak RT pun langsung mengerahkan massa untuk mencari Alfiyan ke penjuru desa. Pak Rangga mengonfrontasi kami, namun kami benar-benar tidak tahu apa yang terjadi. Alfiyan tidak mungkin kabur, sebab perlengkapannya masih ada di dalam rumah.

Lima jam setelah pencarian, Alfiyan masih belum ditemukan. Pak RT pun memutuskan untuk melapor kepada polisi keesokan harinya. Aku merasakan ada hal yang benar-benar aneh di tempat ini.

***

Hari ke-7 KKN

Satu minggu berada di sini, banyak sekali kejadian aneh yang aku alami. Sampai saat ini, Alfiyan masih belum juga ditemukan. Polisi masih mencari keberadaan teman kami itu. Sementara Pak Rangga tetap menyarankan kami untuk terus melanjutkan kegiatan KKN meskipun situasi kurang kondusif.

Aku, Ezar, Rafan, Elia, dan Dinda pun terpaksa harus kembali ke lokasi KKN meskipun kami sudah tidak fokus karena khawatir dengan keadaan Alfiyan.

Mungkin karena kelelahan dan juga pikiran, Dinda pingsan saat mengerjakan tugas KKN. Wajar saja kalau dia sangat kepikiran Alfiyan yang merupakan kekasihnya. Kami pun membopong Dinda ke rumah Pak RT dan menunda kegiatan KKN.

Tidak terasa, hari sudah kembali gelap. Kondisi Dinda semakin memburuk. Pak Rangga yang tidak ingin terjadi apa-apa dengan Dinda langsung berinisiatif membawanya ke rumah sakit terdekat. Pak Rangga dan Pak RT membawa Dinda menggunakan mobil bak yang menjadi satu-satunya kendaraan yang ada di desa.

Kami tidak bisa ikut. Kami hanya bisa mendoakan yang terbaik untuk keselamatan Dinda. Elia menangis di pelukanku karena khawatir dengan keadaan Dinda. Ezar berusaha untuk menenangkan suasana agar tidak ada yang berpikir aneh-aneh.

Kami pun mencoba untuk beristirahat setelah menyantap ubi goreng. Cuaca di luar sedang hujan. Aku harap Dinda sudah tiba di rumah sakit.

***

Hari ke-14 KKN

Sudah dua minggu kami tinggal di pedalaman Sukabumi. Tim kami tersisa empat orang. Keadaan Dinda yang memburuk membuatnya harus dirujuk ke rumah sakit kota oleh orang tuanya untuk mendapatkan penanganan yang lebih intensif.

Kami tidak boleh patah semangat. Kami harus menyelesaikan misi pengabdian di tempat ini tanpa kehadiran Dito, Alfiyan, dan Dinda. Teknik irigasi yang kami kembangkan sebentar lagi akan rampung untuk membantu para petani di desa ini.

Warga di desa ini menyambut antusias kegiatan yang kami lakukan untuk memperbaiki irigasi sawah mereka. Namun, di balik senyuman mereka seperti ada hal yang sedang disembunyikan. Entah, mungkin ini hanya perasaanku saja.

Saat itu kami pulang ke rumah lebih awal. Sebab, saat itu Pak RT meminta bantuan kami untuk memasak merayakan keberhasilan anaknya yang baru saja diterima kerja di kota. Aku dan Dinda membantu memasak di dapur. Sementara Ezar dan Rafan membantu Pak RT mencari kayu bakar tambahan di hutan.

Satu jam berlalu. Ezar dan Pak RT pun datang kembali. Namun, aku sama sekali tidak melihat Rafan. Sementara itu Ezar dan Pak RT malah bertanya yang membuatku bingung.

“Salsa, Rafan sudah pulang ke rumah?” tanya Ezar.

“Loh, bukannya tadi Rafan sama kalian, ya? Soalnya dia belum pulang ke sini,”

“Kamu jangan bercanda, deh, Sal!” ujar Ezar dengan raut wajah yang khawatir.

Lagi-lagi, teman kami menghilang—tanpa jejak.

***

Hari ke-21 KKN

Rafan belum juga ditemukan. Polisi sudah mencari ke mana-mana, namun sama sekali tidak membuahkan hasil. Warga setempat berpendapat bahwa Rafan sudah dimakan oleh hewan buas sebab hutan yang dikunjungi Rafan, Ezar, dan Pak RT masih rawan dengan kedatangan hewan buas seperti harimau.

Kendati demikian, tidak ada tanda-tanda keberadaan tubuh Rafan. Polisi maupun warga tidak berhasil menemukan jejak-jejak darah atau potongan tubuh Rafan jika benar teman kami itu dimakan oleh harimau.

Di sisi lain, entah pikiran ini datang dari mana, aku merasa bahwa Ezar ada kaitannya dengan hilangnya Rafan—atau bahkan juga dengan hilangnya Alfiyan.

“Ezar, kamu jujur, apa yang sebenarnya terjadi?”

“Hah? Maksudnya apa, sih, Sal?” jawab Ezar dengan wajah kebingungan.

“Kamu pasti ada sangkut pautnya kan sama hilangnya Rafan?”

“Apaan sih, Sal, kamu jangan ngaco, deh. Kita ini sekarang lagi pusing, kamu jangan tambah keruh suasana, dong. Pikiranmu itu lagi kacau, Sal!”

Aku tidak menjawab pembelaan Ezar dan memilih untuk langsung ke kamar. Hari ini kegiatan KKN diliburkan. Elia, satu-satunya teman perempuanku yang tersisa, juga sedang dicari oleh warga karena tidak kunjung kembali setelah mandi di kali.

Warga bilang kemungkinan Elia terseret arus sungai. Namun, pada kenyataannya arus sungai saat itu sedang tenang. Aku semakin merasa aneh dengan tempat ini. Bahkan, sekarang aku malah curiga kepada temanku sendiri, Ezar.

Di sisi lain, Pak Rangga belum juga datang ke sini setelah kasus hilangnya Rafan. Pak Rangga sedang mengurus kasus ini ke kampus sekaligus mengabari keluarga Rafan dan Alfiyan. Aku juga mulai curiga, apakah Dito dan Dinda benar-benar sudah pulang ke rumahnya atau malah ikutan menghilang.

Hari ke-28 KKN

Kuambil sebilah pisau dari dapur Pak RT. Aku menatap tajam Ezar yang sedang tertidur pulas. Tanganku gemetar sambil memegang pisau di tangan kananku. Tanpa pikir panjang, aku langsung menusuk perut Ezar dengan membabi buta. Ezar mengerang kesakitan.

“Ampun Sal, ampun, apa salahku, kenapa kamu jadi begini?” teriak Ezar sambil berusaha menghindar.

Aku tidak peduli dengan ucapannya. Aku terus menghantamkan pisau ke tubuh Ezar sampai ketua kelompok KKN-ku itu lemas tak berdaya. Wajah dan bajuku penuh dengan bercak darah. Aku teriak sekencang-kencangnya sebelum aku tak sadarkan diri setelahnya.

Hari ke-30 KKN, hari terakhir di Sukabumi

Pak Rangga memapahku masuk ke dalam mobil. Pak RT menjabat tangan Pak Rangga erat-erat dengan raut wajah penyesalan. Langit muram, gerimis mengundang. Aku dan Pak Rangga meninggalkan Sukabumi dengan wajah yang muram. Mobil melaju menjauhi tubuh Pak RT yang perlahan membuka kopiah di kepalanya.

***

Sudah 16 tahun berlalu sejak kejadian naas itu. Aku tidak bisa melupakan keenam temanku saat di pedalaman Sukabumi. Sampai saat ini aku tidak bisa memaafkan diriku sendiri. Semoga kalian semua memaafkan kesalahanku.

Aku ingin sembuh.

“Minum obat dulu, yuk, bu!” pinta dokter padaku yang sedang melamun di atas kursi roda.

Aku hanya tersenyum dengan tatapan yang kosong—dengan jas almamater terpasang di badanku.

SELESAI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten KKN Selengkapnya
Lihat KKN Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun