Di pinggiran kota kecil yang dikelilingi pohon pinus yang menjulang tinggi, berdiri sebuah rumah tua yang lapuk. Dikenal oleh penduduk setempat sebagai "Rumah Wingit", rumah itu telah ditinggalkan selama bertahun-tahun, jendelanya pecah, dan dindingnya diselimuti tanaman ivy. Hanya sedikit yang berani mendekatinya, dan mereka yang berani tidak pernah tinggal lama.
Anjani, pendatang baru di kota itu, tertarik dengan aura misterius rumah itu. Dia pindah ke sana untuk menghindari kebisingan kehidupan kota, mencari ketenangan dan inspirasi untuk tulisannya. Suatu malam, saat menjelajahi kota, dia menemukan Rumah Wingit.
Penduduk setempat telah memperingatkannya tentang hal itu, mengklaim bahwa rumah itu dihantui oleh roh yang gelisah, tetapi Anjani menepis cerita-cerita itu sebagai cerita rakyat belaka.
Rasa ingin tahu menguasainya, dan dia memutuskan untuk menyelidikinya. Berbekal senter dan buku catatannya, dia mendorong gerbang yang berderit dan melangkah ke jalan setapak yang ditumbuhi tanaman liar. Udara semakin dingin saat dia mendekati rumah, dan bayangan pepohonan menari-nari seperti sosok hantu di bawah sinar bulan. Di dalam, rumah itu berbau busuk dan kayu lembap.
Papan lantai berderit karena berat badannya, dan sarang laba-laba menutupi sudut-sudut seperti renda yang tak terawat. Anjani menjelajah dengan hati-hati, mencatat tentang suasana yang mencekam itu. Dia berhenti sejenak di tempat yang dulunya adalah ruang tamu, senternya menangkap kilauan bingkai foto yang pecah dan perabotan yang roboh.
Tiba-tiba, suara samar bergema di tengah keheningan: ketukan lembut, seperti buku jari yang mengenai kayu. Anjani membeku, jantungnya berdebar kencang. Dia mengarahkan senternya ke sumbernya, tetapi tidak ada apa-apa di sana, hanya bayangan. "Halo?" panggilnya, suaranya bergetar.
Tidak ada jawaban. Ketukan itu berhenti, digantikan oleh keheningan yang menyesakkan. Anjani mencoba meyakinkan dirinya sendiri bahwa itu hanya imajinasinya. Mungkin cabang pohon di luar telah menghantam rumah itu. Bertekad untuk tidak takut, dia terus menjelajah, menaiki tangga reyot ke lantai dua.
Di lantai atas, udara terasa lebih berat, dan ketukan itu kembali terdengar, kali ini lebih keras. Sepertinya itu berasal dari pintu tertutup di ujung lorong. Anjani ragu-ragu, jemarinya mencengkeram senter dengan erat. Dia mempertimbangkan untuk berbalik, tetapi rasa ingin tahunya mendorongnya maju.
Dia membuka pintu.
Ruangan itu kosong, kecuali meja tulis kecil berhias di dekat jendela. Di atasnya terdapat telepon putar kuno, gagang teleponnya terlepas dari pengaitnya. Anjani mengerutkan kening; telepon itu seharusnya tidak ada di sana. Itu tampak tidak pada tempatnya di rumah yang sunyi itu.
Ketukan itu semakin keras, tetapi sekarang terdengar lebih seperti dentingan kuku yang berirama di atas meja. Anjani melangkah lebih dekat, denyut nadinya berpacu. Dia meraih telepon, bermaksud untuk memeriksanya, ketika gagang telepon itu berderak hidup.
Sebuah suara terdistorsi berbisik melalui suara statis, "Mengapa kamu datang ke sini?"
Anjani menjatuhkan teleponnya karena terkejut, bunyinya memecah keheningan yang berat. Ia terhuyung mundur, senternya berkedip-kedip. Ruangan itu terasa lebih dingin, dan bayangan-bayangan tampak membentang ke arahnya, mencakar tepi penglihatannya.
Karena panik, ia melarikan diri dari rumah, tidak berani menoleh ke belakang. Ia tidak berhenti berlari sampai ia tiba di rumahnya. Malam itu, ia tidak bisa tidur. Kenangan akan suara itu menghantuinya, dan ia tidak bisa menghilangkan perasaan bahwa ia telah diikuti.
Keesokan paginya, ia mencoba meyakinkan dirinya sendiri bahwa itu adalah mimpi. Mungkin cerita tentang Rumah Tengah Malam telah merasukinya, dan imajinasinya menjadi liar. Namun ketika ia melirik mejanya, darahnya menjadi dingin.
Di sana ada telepon putar dari rumah itu, gagang teleponnya terlepas dari kaitnya.
Tangan Anjani gemetar saat menatap telepon putar yang ada di mejanya. Telepon itu sama persis dengan telepon dari Rumah Wingit, sangat persis. Sinar matahari yang masuk melalui jendela menyinari permukaannya yang hitam mengilap, membuatnya tampak hampir hidup.
Dengan hati-hati ia mengulurkan tangan, tetapi saat jarinya melayang di atas gagang telepon, telepon itu berdering.
Riiiiing...
Suara tajam itu memecah keheningan pagi, dan Anjani tersentak, jantungnya berdebar kencang di dadanya. Siapa yang meneleponnya dengan telepon itu? Dan bagaimana telepon itu bisa sampai di sini?
Dering itu terus berlanjut, bergema di ruangan kecil itu. Melawan setiap naluri yang berteriak padanya untuk membiarkannya saja, Anjani mengangkat gagang telepon.
"Halo?" bisiknya, suaranya gemetar.
Untuk sesaat, hanya ada keheningan. Kemudian terdengar suara rendah dan terdistorsi yang sama yang didengarnya di Rumah Wingit, kini lebih jelas dan mengancam.
"Kau seharusnya tidak pergi ke sana."
Napas Anjani tercekat. "Siapa ini? Apa yang kau inginkan?"
Suara itu terkekeh, suara dalam dan dingin yang membuat bulu kuduknya merinding. "Ini bukan tentang apa yang aku inginkan. Ini tentang apa yang telah kau lakukan. Rumah ini mengingatmu sekarang. Kau membiarkannya masuk."
"Membiarkan apa masuk?" Anjani bertanya, rasa takutnya dengan cepat berubah menjadi putus asa.
Namun, sambungan telepon terputus.
Ia membanting gagang telepon, pikirannya berpacu. Apa maksud suara itu? Apa yang telah ia biarkan masuk?
Udara di ruangan itu terasa lebih berat, dan cahaya di luar meredup secara tidak wajar, seolah-olah badai sedang berkumpul. Anjani melirik ke luar jendela dan tidak melihat apa pun kecuali awan kelabu dan puncak pohon pinus yang bergoyang. Namun saat ia kembali ke mejanya, ada sesuatu yang menarik perhatiannya—gerakan samar dan samar tepat di balik pantulan dirinya di kaca.
Ia berputar, tetapi ruangan itu kosong.
Meraih buku catatan dan kuncinya, Anjani memutuskan bahwa ia butuh jawaban. Jika Rumah Wingit telah menandainya entah bagaimana, ia harus tahu alasannya. Dan seseorang di kota itu pasti tahu lebih dari sekadar peringatan samar yang mereka berikan padanya.
Ia menuju ke warung kecil tempat penduduk setempat sering berkumpul. Bel di atas pintu berdenting saat ia melangkah masuk, kehangatan dan obrolan menawarkan jeda singkat dari kegelisahannya yang semakin besar.
Di belakang meja kasir ada penjaga toko tua yang telah memperingatkannya sebelumnya. Namanya adalah Pak Sutisno , dan wajahnya yang keriput menjadi gelap saat melihatnya.
"Kau pernah ke rumah itu," katanya pelan, tanpa basa-basi.
Anjani membeku. "Bagaimana kau—"
"Itu mengubahmu," selanya, suaranya rendah dan mendesak. "Begitulah caraku tahu. Rumah Wingit... rumah itu hidup dengan caranya sendiri. Rumah itu menjangkau, menandai siapa pun yang masuk ke dalamnya. Kau seharusnya menjauh.”
“Kenapa? Apa yang terjadi sekarang?” tanya Anjani, suaranya meninggi.
Pak Sutisno ragu-ragu, melirik ke sekeliling ruangan dengan gugup seolah takut didengar. Akhirnya, dia mencondongkan tubuh lebih dekat dan berbicara dengan suara hampir berbisik.
“Rumah Wingit dulunya adalah rumah bagi keluarga Raden. Mereka... tidak biasa. Orang-orang berkata mereka mencoba-coba hal-hal yang seharusnya tidak mereka lakukan. Suatu malam, mereka menghilang. Tidak ada mayat, tidak ada jejak. Hilang begitu saja. Dan setelah itu, hal-hal aneh mulai terjadi di sana. Orang-orang yang masuk ke dalam kembali... berbeda. Beberapa mengaku mendengar suara-suara. Yang lain menghilang, seperti keluarga Raden. Rumah itu tidak suka diganggu.”
Anjani menelan ludah, mulutnya kering. “Tapi kenapa teleponnya? Kenapa ada di rumahku?”
Wajah Pak Sutisno memucat. “Teleponnya? Kau mendengarnya berdering?” Dia mengangguk.
Ekspresinya berubah serius. “Begitulah awalnya. Rumah itu tidak akan melepaskanmu, tidak setelah menemukanmu. Ponsel itu... itu adalah tali. Sebuah cara agar ia bisa menghubungimu, di mana pun kau berada.”
Rasa dingin menjalar di tulang punggung Anjani. “Apa yang harus kulakukan? Bagaimana cara menghentikannya?”
Pak Sutisno ragu-ragu sebelum menjawab, suaranya bergetar. “Kau tidak bisa menghentikannya. Tapi kau mungkin bisa memutuskan sambungannya. Kembalilah ke rumah. Kembalikan ponselnya. Dan apa pun yang kau lakukan, jangan angkat lagi.”
Anjani menatapnya, jantungnya berdebar kencang. Pikiran untuk kembali ke Rumah Wingit membuatnya takut, tetapi dia tahu dia tidak punya pilihan. Jika ponsel itu adalah tali, maka ia harus kembali.
Malam itu, hanya berbekal senter dan tekad yang kuat, Anjani berdiri sekali lagi di gerbang berkarat Rumah Tengah Malam. Udara terasa berat dengan keheningan yang tidak wajar, dan bayangan tampak lebih dalam dari sebelumnya.
Dia melangkah masuk, telepon terselip di bawah lengannya.
Rumah itu tampaknya menyambut kepulangannya, keheningan yang menindas membungkusnya seperti kain kafan. Dia berjalan ke ruang atas, di mana meja masih berada di bawah sinar bulan pucat.
Meletakkan telepon kembali di atas meja, dia berbalik untuk pergi. Tetapi sebelum dia bisa melangkah, telepon berdering lagi.
Riiiiing...
Kali ini, suaranya memekakkan telinga, bergema di seluruh rumah seperti jeritan. Anjani membeku, setiap naluri menyuruhnya untuk lari, tetapi kakinya tidak mau bergerak.
Perlahan, hampir bertentangan dengan keinginannya, dia berbalik kembali ke telepon. Gagang telepon itu tampak bergetar, memberi isyarat agar dia mengangkatnya.
Lalu, pintu terbanting menutup.
Jantung Anjani berdegup kencang saat suara pintu dibanting bergema di seluruh ruangan. Dia berputar, menarik gagang pintu, tetapi pintu itu tidak bergerak. Udara menjadi lebih dingin, dan bayangan di dinding mulai berputar dan menggeliat seperti makhluk hidup.
Di belakangnya, telepon terus berdering lebih keras, lebih mendesak.
Riiiiing... Riiiiing...
“Tinggalkan aku sendiri!” teriaknya, suaranya bergetar.
Dering itu berhenti tiba-tiba, membuat ruangan menjadi sunyi senyap. Namun sebelum Anjani bisa mengembuskan napas lega, telepon itu mulai berderak.
Sebuah suara muncul dari gagang telepon, tenang tetapi meneteskan kebencian.
“Kau tidak bisa melarikan diri. Kau milik kami sekarang.”
“Tidak!” teriak Anjani, melangkah mundur, tubuhnya gemetar. “Aku bukan milikmu!” Bayangan-bayangan di dinding menyatu, membentuk bentuk-bentuk yang tidak jelas—sosok-sosok dengan mata cekung dan mulut yang terpelintir dalam jeritan diam.
Mereka bergerak mendekat, mengelilinginya. Napas Anjani menjadi pendek saat ia mencari jalan keluar dengan panik. Jendela. Itulah satu-satunya kesempatannya. Dengan semburan adrenalin, ia menerjang ke arah jendela, memecahkan kaca dengan senternya.
Pecahan-pecahan kaca berjatuhan saat udara malam yang dingin menyerbu masuk. Ia memanjat melalui rangka yang pecah, mengabaikan perih kaca di kulitnya, dan menjatuhkan diri ke rerumputan yang tumbuh tinggi di bawahnya. Di belakangnya, rumah itu tampak bergetar, jendela-jendelanya yang gelap bersinar samar dengan cahaya yang tidak alami.
Dering telepon kembali terdengar, bergema di lorong-lorong yang kosong, lebih keras dan lebih heboh daripada sebelumnya. Anjani berlari, kakinya goyah tetapi didorong oleh rasa takut yang luar biasa. Ia tidak berhenti sampai ia mencapai rumahnya, membanting pintu di belakangnya dan jatuh ke lantai.
Berjam-jam berlalu sebelum ia merasa cukup aman untuk bergerak. Dia membersihkan lukanya, gemetar mendengar setiap suara dari dunia luar. Pagi datang perlahan, cahayanya membawa rasa aman yang rapuh.
Anjani memutuskan untuk meninggalkan kota. Dia mengemasi barang-barangnya dengan tergesa-gesa, menolak untuk melirik meja tempat telepon itu muncul. Dia tidak memercayai cahaya, tidak memercayai kesunyian.
Saat dia memasukkan barang ke mobilnya dan bersiap untuk pergi, dia membiarkan dirinya melihat rumah di kejauhan untuk terakhir kalinya. Siluetnya menjulang di cakrawala kelabu, diam dan sunyi.
Namun saat dia memutar kunci kontak, radio mobilnya menyala.
Di antara suara statis, sebuah suara yang dikenalnya berbisik:
"Kamu tidak bisa lari, Anjani. Rumah itu sudah ada di dalam dirimu."
Mesinnya mati, dan Anjani menjerit.
Di kaca spion, dia melihat rumah itu. Rumah itu tidak lagi berada di kejauhan.
Rumah itu tepat di belakangnya.
Anjani membeku, tangannya gemetar di setir kemudi. Rumah itu tampak sangat dekat di kaca spion, jendelanya gelap dan hidup, seolah-olah bernapas. Radio mobil berderak lagi, kali ini suaranya lebih tajam.
“Larilah sesukamu. Kau akan selalu kembali pada kami.”
“Tidak!” teriak Anjani, menghantamkan tinjunya ke dasbor. Keputusasaan menyerbunya saat ia memutar kunci berulang kali, tetapi mesinnya tidak mau hidup. Bayangan dari rumah itu mulai meregang, sulur-sulur panjang meliuk-liuk di tanah menuju mobilnya.
Ia membuka pintu dan terhuyung-huyung keluar, berlari membabi buta ke cahaya pagi. Teriakannya menggema di udara, tetapi jalanan kosong. Tidak ada tetangga yang mengintip dari balik tirai mereka. Seolah-olah dunia itu sendiri telah lenyap, meninggalkannya sendirian dengan rumah itu.
Kakinya yang telanjang menghantam trotoar saat ia berlari, pandangannya kabur oleh air mata. Dia tidak berani menoleh ke belakang, tetapi bayangan-bayangan itu merayap mendekat, sulur-sulurnya yang dingin menyentuh pergelangan kakinya. Anjani berbelok di sudut jalan, berharap menemukan seseorang—siapa saja—tetapi sebaliknya, dia berhadapan langsung dengan rumah itu.
Rumah itu ada di sana lagi, menunggu, seolah-olah sudah lama ada. "Tidak," bisiknya, suaranya bergetar. "Ini tidak mungkin nyata." Pintu depan berderit terbuka, dan suara itu bergema dari dalam, mengejeknya.
"Kamu milik kami, Anjani. Kamu selalu milik kami." Lututnya lemas, dan dia jatuh ke tanah, terisak-isak. Namun saat air matanya jatuh, sesuatu berubah. Lingkungan di sekitarnya kabur, berputar seperti mimpi yang terurai. Lampu jalan meredup, udara menebal, dan bayangan-bayangan merayapinya seperti selimut yang menyesakkan.
Ketika dia membuka matanya, dia tidak lagi berada di luar. Dia kembali ke dalam rumah. Telepon itu terletak di meja di hadapannya, gagang telepon terlepas dari tempatnya, dengungan statis rendah memenuhi ruangan. Bayangan-bayangan di dinding menari mengejek, gerakan mereka selaras dengan napasnya yang terengah-engah.
Anjani menjerit dan menjerit, tetapi suaranya memudar menjadi statis. Rumah itu sekarang menangkapnya, dan tidak akan ada jalan keluar.
Telepon mulai berdering lagi.
Berteriak... Berteriak...
Bayangan-bayangan itu tertawa.
Dan kemudian, hening.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H