Ia membuka pintu dan terhuyung-huyung keluar, berlari membabi buta ke cahaya pagi. Teriakannya menggema di udara, tetapi jalanan kosong. Tidak ada tetangga yang mengintip dari balik tirai mereka. Seolah-olah dunia itu sendiri telah lenyap, meninggalkannya sendirian dengan rumah itu.
Kakinya yang telanjang menghantam trotoar saat ia berlari, pandangannya kabur oleh air mata. Dia tidak berani menoleh ke belakang, tetapi bayangan-bayangan itu merayap mendekat, sulur-sulurnya yang dingin menyentuh pergelangan kakinya. Anjani berbelok di sudut jalan, berharap menemukan seseorang—siapa saja—tetapi sebaliknya, dia berhadapan langsung dengan rumah itu.Â
Rumah itu ada di sana lagi, menunggu, seolah-olah sudah lama ada. "Tidak," bisiknya, suaranya bergetar. "Ini tidak mungkin nyata." Pintu depan berderit terbuka, dan suara itu bergema dari dalam, mengejeknya.Â
"Kamu milik kami, Anjani. Kamu selalu milik kami." Lututnya lemas, dan dia jatuh ke tanah, terisak-isak. Namun saat air matanya jatuh, sesuatu berubah. Lingkungan di sekitarnya kabur, berputar seperti mimpi yang terurai. Lampu jalan meredup, udara menebal, dan bayangan-bayangan merayapinya seperti selimut yang menyesakkan.Â
Ketika dia membuka matanya, dia tidak lagi berada di luar. Dia kembali ke dalam rumah. Telepon itu terletak di meja di hadapannya, gagang telepon terlepas dari tempatnya, dengungan statis rendah memenuhi ruangan. Bayangan-bayangan di dinding menari mengejek, gerakan mereka selaras dengan napasnya yang terengah-engah.
Anjani menjerit dan menjerit, tetapi suaranya memudar menjadi statis. Rumah itu sekarang menangkapnya, dan tidak akan ada jalan keluar.
Telepon mulai berdering lagi.
Berteriak... Berteriak...
Bayangan-bayangan itu tertawa.
Dan kemudian, hening.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H