Anjani memutuskan untuk meninggalkan kota. Dia mengemasi barang-barangnya dengan tergesa-gesa, menolak untuk melirik meja tempat telepon itu muncul. Dia tidak memercayai cahaya, tidak memercayai kesunyian.
Saat dia memasukkan barang ke mobilnya dan bersiap untuk pergi, dia membiarkan dirinya melihat rumah di kejauhan untuk terakhir kalinya. Siluetnya menjulang di cakrawala kelabu, diam dan sunyi.
Namun saat dia memutar kunci kontak, radio mobilnya menyala.
Di antara suara statis, sebuah suara yang dikenalnya berbisik:
"Kamu tidak bisa lari, Anjani. Rumah itu sudah ada di dalam dirimu."
Mesinnya mati, dan Anjani menjerit.
Di kaca spion, dia melihat rumah itu. Rumah itu tidak lagi berada di kejauhan.
Rumah itu tepat di belakangnya.
Anjani membeku, tangannya gemetar di setir kemudi. Rumah itu tampak sangat dekat di kaca spion, jendelanya gelap dan hidup, seolah-olah bernapas. Radio mobil berderak lagi, kali ini suaranya lebih tajam.
“Larilah sesukamu. Kau akan selalu kembali pada kami.”
“Tidak!” teriak Anjani, menghantamkan tinjunya ke dasbor. Keputusasaan menyerbunya saat ia memutar kunci berulang kali, tetapi mesinnya tidak mau hidup. Bayangan dari rumah itu mulai meregang, sulur-sulur panjang meliuk-liuk di tanah menuju mobilnya.