Untuk sesaat, hanya ada keheningan. Kemudian terdengar suara rendah dan terdistorsi yang sama yang didengarnya di Rumah Wingit, kini lebih jelas dan mengancam.
"Kau seharusnya tidak pergi ke sana."
Napas Anjani tercekat. "Siapa ini? Apa yang kau inginkan?"
Suara itu terkekeh, suara dalam dan dingin yang membuat bulu kuduknya merinding. "Ini bukan tentang apa yang aku inginkan. Ini tentang apa yang telah kau lakukan. Rumah ini mengingatmu sekarang. Kau membiarkannya masuk."
"Membiarkan apa masuk?" Anjani bertanya, rasa takutnya dengan cepat berubah menjadi putus asa.
Namun, sambungan telepon terputus.
Ia membanting gagang telepon, pikirannya berpacu. Apa maksud suara itu? Apa yang telah ia biarkan masuk?
Udara di ruangan itu terasa lebih berat, dan cahaya di luar meredup secara tidak wajar, seolah-olah badai sedang berkumpul. Anjani melirik ke luar jendela dan tidak melihat apa pun kecuali awan kelabu dan puncak pohon pinus yang bergoyang. Namun saat ia kembali ke mejanya, ada sesuatu yang menarik perhatiannya—gerakan samar dan samar tepat di balik pantulan dirinya di kaca.
Ia berputar, tetapi ruangan itu kosong.
Meraih buku catatan dan kuncinya, Anjani memutuskan bahwa ia butuh jawaban. Jika Rumah Wingit telah menandainya entah bagaimana, ia harus tahu alasannya. Dan seseorang di kota itu pasti tahu lebih dari sekadar peringatan samar yang mereka berikan padanya.
Ia menuju ke warung kecil tempat penduduk setempat sering berkumpul. Bel di atas pintu berdenting saat ia melangkah masuk, kehangatan dan obrolan menawarkan jeda singkat dari kegelisahannya yang semakin besar.