Mohon tunggu...
MUHAMMAD ERFAN NUR RIZQY
MUHAMMAD ERFAN NUR RIZQY Mohon Tunggu... Pelajar Sekolah - Ketua Osis

ISTP

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Misteri Rumah Wingit

27 November 2024   09:12 Diperbarui: 27 November 2024   09:29 78
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Di belakangnya, telepon terus berdering lebih keras, lebih mendesak.

Riiiiing... Riiiiing...

“Tinggalkan aku sendiri!” teriaknya, suaranya bergetar.

Dering itu berhenti tiba-tiba, membuat ruangan menjadi sunyi senyap. Namun sebelum Anjani bisa mengembuskan napas lega, telepon itu mulai berderak.

Sebuah suara muncul dari gagang telepon, tenang tetapi meneteskan kebencian.

“Kau tidak bisa melarikan diri. Kau milik kami sekarang.”

“Tidak!” teriak Anjani, melangkah mundur, tubuhnya gemetar. “Aku bukan milikmu!” Bayangan-bayangan di dinding menyatu, membentuk bentuk-bentuk yang tidak jelas—sosok-sosok dengan mata cekung dan mulut yang terpelintir dalam jeritan diam. 

Mereka bergerak mendekat, mengelilinginya. Napas Anjani menjadi pendek saat ia mencari jalan keluar dengan panik. Jendela. Itulah satu-satunya kesempatannya. Dengan semburan adrenalin, ia menerjang ke arah jendela, memecahkan kaca dengan senternya. 

Pecahan-pecahan kaca berjatuhan saat udara malam yang dingin menyerbu masuk. Ia memanjat melalui rangka yang pecah, mengabaikan perih kaca di kulitnya, dan menjatuhkan diri ke rerumputan yang tumbuh tinggi di bawahnya. Di belakangnya, rumah itu tampak bergetar, jendela-jendelanya yang gelap bersinar samar dengan cahaya yang tidak alami. 

Dering telepon kembali terdengar, bergema di lorong-lorong yang kosong, lebih keras dan lebih heboh daripada sebelumnya. Anjani berlari, kakinya goyah tetapi didorong oleh rasa takut yang luar biasa. Ia tidak berhenti sampai ia mencapai rumahnya, membanting pintu di belakangnya dan jatuh ke lantai. 

Berjam-jam berlalu sebelum ia merasa cukup aman untuk bergerak. Dia membersihkan lukanya, gemetar mendengar setiap suara dari dunia luar. Pagi datang perlahan, cahayanya membawa rasa aman yang rapuh.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun