Di belakangnya, telepon terus berdering lebih keras, lebih mendesak.
Riiiiing... Riiiiing...
“Tinggalkan aku sendiri!” teriaknya, suaranya bergetar.
Dering itu berhenti tiba-tiba, membuat ruangan menjadi sunyi senyap. Namun sebelum Anjani bisa mengembuskan napas lega, telepon itu mulai berderak.
Sebuah suara muncul dari gagang telepon, tenang tetapi meneteskan kebencian.
“Kau tidak bisa melarikan diri. Kau milik kami sekarang.”
“Tidak!” teriak Anjani, melangkah mundur, tubuhnya gemetar. “Aku bukan milikmu!” Bayangan-bayangan di dinding menyatu, membentuk bentuk-bentuk yang tidak jelas—sosok-sosok dengan mata cekung dan mulut yang terpelintir dalam jeritan diam.
Mereka bergerak mendekat, mengelilinginya. Napas Anjani menjadi pendek saat ia mencari jalan keluar dengan panik. Jendela. Itulah satu-satunya kesempatannya. Dengan semburan adrenalin, ia menerjang ke arah jendela, memecahkan kaca dengan senternya.
Pecahan-pecahan kaca berjatuhan saat udara malam yang dingin menyerbu masuk. Ia memanjat melalui rangka yang pecah, mengabaikan perih kaca di kulitnya, dan menjatuhkan diri ke rerumputan yang tumbuh tinggi di bawahnya. Di belakangnya, rumah itu tampak bergetar, jendela-jendelanya yang gelap bersinar samar dengan cahaya yang tidak alami.
Dering telepon kembali terdengar, bergema di lorong-lorong yang kosong, lebih keras dan lebih heboh daripada sebelumnya. Anjani berlari, kakinya goyah tetapi didorong oleh rasa takut yang luar biasa. Ia tidak berhenti sampai ia mencapai rumahnya, membanting pintu di belakangnya dan jatuh ke lantai.
Berjam-jam berlalu sebelum ia merasa cukup aman untuk bergerak. Dia membersihkan lukanya, gemetar mendengar setiap suara dari dunia luar. Pagi datang perlahan, cahayanya membawa rasa aman yang rapuh.