Sebuah suara terdistorsi berbisik melalui suara statis, "Mengapa kamu datang ke sini?"
Anjani menjatuhkan teleponnya karena terkejut, bunyinya memecah keheningan yang berat. Ia terhuyung mundur, senternya berkedip-kedip. Ruangan itu terasa lebih dingin, dan bayangan-bayangan tampak membentang ke arahnya, mencakar tepi penglihatannya.
Karena panik, ia melarikan diri dari rumah, tidak berani menoleh ke belakang. Ia tidak berhenti berlari sampai ia tiba di rumahnya. Malam itu, ia tidak bisa tidur. Kenangan akan suara itu menghantuinya, dan ia tidak bisa menghilangkan perasaan bahwa ia telah diikuti.
Keesokan paginya, ia mencoba meyakinkan dirinya sendiri bahwa itu adalah mimpi. Mungkin cerita tentang Rumah Tengah Malam telah merasukinya, dan imajinasinya menjadi liar. Namun ketika ia melirik mejanya, darahnya menjadi dingin.
Di sana ada telepon putar dari rumah itu, gagang teleponnya terlepas dari kaitnya.
Tangan Anjani gemetar saat menatap telepon putar yang ada di mejanya. Telepon itu sama persis dengan telepon dari Rumah Wingit, sangat persis. Sinar matahari yang masuk melalui jendela menyinari permukaannya yang hitam mengilap, membuatnya tampak hampir hidup.
Dengan hati-hati ia mengulurkan tangan, tetapi saat jarinya melayang di atas gagang telepon, telepon itu berdering.
Riiiiing...
Suara tajam itu memecah keheningan pagi, dan Anjani tersentak, jantungnya berdebar kencang di dadanya. Siapa yang meneleponnya dengan telepon itu? Dan bagaimana telepon itu bisa sampai di sini?
Dering itu terus berlanjut, bergema di ruangan kecil itu. Melawan setiap naluri yang berteriak padanya untuk membiarkannya saja, Anjani mengangkat gagang telepon.
"Halo?" bisiknya, suaranya gemetar.