Pak Sutisno ragu-ragu sebelum menjawab, suaranya bergetar. “Kau tidak bisa menghentikannya. Tapi kau mungkin bisa memutuskan sambungannya. Kembalilah ke rumah. Kembalikan ponselnya. Dan apa pun yang kau lakukan, jangan angkat lagi.”
Anjani menatapnya, jantungnya berdebar kencang. Pikiran untuk kembali ke Rumah Wingit membuatnya takut, tetapi dia tahu dia tidak punya pilihan. Jika ponsel itu adalah tali, maka ia harus kembali.
Malam itu, hanya berbekal senter dan tekad yang kuat, Anjani berdiri sekali lagi di gerbang berkarat Rumah Tengah Malam. Udara terasa berat dengan keheningan yang tidak wajar, dan bayangan tampak lebih dalam dari sebelumnya.
Dia melangkah masuk, telepon terselip di bawah lengannya.
Rumah itu tampaknya menyambut kepulangannya, keheningan yang menindas membungkusnya seperti kain kafan. Dia berjalan ke ruang atas, di mana meja masih berada di bawah sinar bulan pucat.
Meletakkan telepon kembali di atas meja, dia berbalik untuk pergi. Tetapi sebelum dia bisa melangkah, telepon berdering lagi.
Riiiiing...
Kali ini, suaranya memekakkan telinga, bergema di seluruh rumah seperti jeritan. Anjani membeku, setiap naluri menyuruhnya untuk lari, tetapi kakinya tidak mau bergerak.
Perlahan, hampir bertentangan dengan keinginannya, dia berbalik kembali ke telepon. Gagang telepon itu tampak bergetar, memberi isyarat agar dia mengangkatnya.
Lalu, pintu terbanting menutup.
Jantung Anjani berdegup kencang saat suara pintu dibanting bergema di seluruh ruangan. Dia berputar, menarik gagang pintu, tetapi pintu itu tidak bergerak. Udara menjadi lebih dingin, dan bayangan di dinding mulai berputar dan menggeliat seperti makhluk hidup.