Mohon tunggu...
E Rein
E Rein Mohon Tunggu... Penulis - Hanya Seorang Penulis Biasa

Bukan siapa-siapa dan hanya ingin jadi orang yang biasa aja. Menulis adalah kebutuhan. Dengan menulis aku bisa hidup.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Qadarullah Selalu Indah

7 Oktober 2022   21:56 Diperbarui: 7 Oktober 2022   21:58 687
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Buka pintunya!!!"

TOK!TOK!TOK!

Adawiyah memeluk bayi berusia tiga tahun itu, tubuhnya bergetar hebat. Di tatapnya lelaki yang mengenakan kaus hitam yang dipadankan dengan celana jin robek bagian lututnya. Lelaki itu diliputi kegusaran, di depan pintu ada para lelaki berseragam lengkap dengan pistolnya. Dia terkepung.

"Buka pintunya!!" pekik orang-orang di depan pintu lagi.

"Mas... ."

"Diamlah, Dik!"

"Mereka---"

"Aku harus pergi," kata Topan yang berlari membawa sebuah tas yang dia sandang, lalu meninggalkan Adawiyah begitu saja, tidak dipedulikannya nasib Adawiyah kelak. Dia harus pergi. Harus menyelamatakan diri.

TOK!TOK!TOK!

"Pak Topan segera buka pintunya! Rumah anda sudah kami kepung!"

"Dalam hitungan ketig---"

"Bu, mana Pak Topan?" tanya salah satu anggota kepolisia itu pada Adawiyah.

Perempuan berusia tiga puluh tahun itu hanya membeku. Pada detik kemudian, pandangannya kabur dan gelap.

Gedebam!

***

Adawiyah menatap bayi mungil yang berbaring di sampingnya. Tangannya sibuk mengelus pipi lembut sang bayi laki-laki tanpa dosa itu, seketika hatinya kembali terenyuh, mengenang harus berjuang seorang diri membesarkan bayi mungil yang berusia tiga tahun itu. Akan jadi seperti apa dia kelak tanpa kasih sayang sang ayah.

Lima hari yang lalu adalah hari terburuk bagi Adawiyah, rumahnya di geledah dan Topan tertangkap, rumah mereka benar-benar sudah dikepung, bahkan jalan rahasia yang hanya diketahui oleh Topan sendiri bisa diendus polisi, Topan tidak bisa berkutik ketika polisi mengyeretnya ke kantor polisi. Bukan perkara kecil. Adawiyah tak pernah tahu selama ini suaminya gemar mengonsumsi obat-obat terlarang dan juga memperjual-belikan.

Saat terbangun dari pingsan, Adawiyah hanya menemukan seorang polisi yang duduk di sampingnya, menjaganya saat tadi dia pingsan. Rumahnya? Jangan ditanya lagi, berserakan dan dia hanya bisa mengurut dada saat sang polisi memberitahu duduk permasalahan sebenarnya.

Pantas usaha Distro pakaian yang awalnya sangat berkembang akhir-akhir ini merosot. Dan setiap kali Adawiyah menanyakan masalah toko, Topan menjawab dengan emosi dan tak aral dirinya menerima baku hantam, darah mengalir di sudut bibirnya bukan perkara asing namun sudah menjadi rutinitas setiap kali Topan mengamuk.

Adawiyah bukan perempuan bodoh yang mau menerima semua kekerasan sang suami. Tapi atas dasar nama cinta. Kenangan indah dan memori ketika mereka bersama dapat menutupi semua kepedihan yang dia rasakan. Topan lelaki yang mencuri hatinya ketika mereka sama-sama berada di bangku sekolah menengah atas, sahabat sekaligus cinta pertamanya. Setelah keduanya lulus kuliah mereka memutuskan untuk mengikat cinta mereka dengan nama pernikahan. Namun kisah pacaran tak seindah biduk pernikahan. Pernikahannya ombang-ambing, bahagianya hanya sebentar. Kemudian goncangan demi goncangan membuatnya menderita, sikap manis sang suami berubah menjadi bercak merah yang menghiasi wajah dan tubuhnya. Ia menjadi alat pelampiasan amarah sang suami.

"Aku harus bekerja, tak bisa seperti ini, meratapi nasib tak akan membuatku mampu membeli diapers untuk Faqih," ujar Adawiyah. Tidak ada yang bisa diharapkan. Distro mereka yang sedang menunggu waktu bangkrut saja, tabungannya yang sudah menipis. Meratapi nasib hanya akan membuat dia dan anaknya berada pada titik lemah. Hidup terus bergulir dan dia harus mencukupi kebutuhan anaknya yang tiap hari semakin meningkat.

Dia mulai menulis surat lamaran dan mengantarkannya ke beberapa instansi pemerintahan. Berharap dalam waktu dekat ada lowongan pekerjaan untuknya. Satu-satunya harta yang dia miliki hanya rumah peninggalan sang suami. Kebetulan rumah itu dibuat atas namanya dan dibangun dengan uang mereka berdua. Setidaknya masih ada tempat berlindung untuk mereka berdua. Untuk kembali ke rumah orangtuanya ia begitu malu, ia tak mau merepotkan kedua orangtunya.

Kabar bahagia itu datang, jelang tiga hari, lewat bantuan seorang sahabat, ia diterima bekerja, kerja di instansi pemerintahan yang mengharuskan ia menitipkan sang anak kepada baby sitter, jam kerjanya hanya delapan jam tapi cukup menyita waktu dan membuatnya rindu dengan sang buah hati. 'Demi Faqih.' Kembali batinnya menguatkan.

Berjalannya waktu, Adawiyah bertemu dengan orang-orang sholehah, yang mengenalkannya dengan agama Allah, lebih patuh dan taat, ia hijrah, pakaian ketat yang semua menjadi koleksinya berubah menjadi gamis yang longgar, serta jilbab bergo yang panjangnya selutut. Hatinya damai, Allah selalu menghadirkan orang-orang baik disekelilingnya.

Proses hijrahnya tak mudah, awalnya lingkungan pekerjaannya menganggap aneh dan paranoit, tapi beriring berjalannya waktu, semua tampak biasa saja, tak ada lagi omongan di belakang, atau cuitan yang mengejek dirinya.

Tepat enam tahun pasca ia menjadi janda, seorang sahabat mengenalkan ia kepada sosok lelaki sholeh, lelaki tersebut seorang duda tanpa anak, istrinya meninggal ketika melahirkan sang buah hati. Lelaki sholeh itu bernama Ghaffar, perawakannya karismatik, tubuh tegap, berkulit putih dan berjanggut tipis.

Adawiyah masih meraba hati, mampukah ia untuk jatuh cinta lagi, ia terlalu takut membuka hati, bukan takut disiksa tapi takut harapannya menjadi sia-sia. Beberapa sahabat menasehati dan mengajaknya untuk mencoba ta'aruf. Awalnya ia menolak, tapi atas gerakan dari sang maha cinta ia menyetujui untuk berta'aruf dengan Ghaffar. Dua bulan menjalani ta'aruf, tibalah untuk mereka mengambil keputusan. Ghaffar telah yakin untuk menjadikan Adawiyah pelabuan terakhirnya, istri sesurganya. Tapi Adawiyah masih bimbang, malam-malam ia labuhkan bermunajat dalam istikharah panjang, meminta petunjuk kepada sang maha cinta. Tangis dan isaknya menyatu dalam do'a. Dan akhirnya petunjuk itu datang. Ia menerima pinangan Ghaffar.

Pernikahan yang sederhana, diwalikan sang ayah, Adawiyah telah sah menjadi istri Ghaffar, senyum manis keduanya, menambah manisnya iman dalam keluarga mereka. Lelaki sholeh itu memperlakukan Adawiyah dengan sangat baik,

"Mas," panggil Adawiyah saat mereka berada di atas ranjang yang ditaburi kelopak mawar.

"Iya, Dik?" Ghaffar menatap Adawiyah dengan tatapan sejuk.

"Aku malu mas," akunya sembari menundukkan wajah cantiknya.

Tawa kecil Ghaffar menambah rona merah di pipi Adawiyah, sambil mencubit hidung Adawiyah, Ghaffar membisikkan sesuatu ditelinganya, membuat bulu roma Adawiyah berdiri.

Ghaffar tipe laki-laki yang pendiam tapi lembut dalam memperlakukan wanita. Adawiyah merasa surganya di depan mata. Ia menyukuri.

"Dik," panggil Ghaffar lagi.

"Iya, Mas?"

"Masih mas ingat-ingat, apakah sebelum ini kita pernah berjumpa, atau beberapa tahun ke belakang?"

Adawiyah mengingat-ingat, memutar otaknya untuk kembali pada tahun belakangan.

"Lupa, Mas," akunya. Setelah berusaha berpikir keras, ia menyerah, ia tak mengingat sosok Ghaffar di masa lampau.

"Betul, Dik, tujuh tahun lalu, di swalayan, ingat gak? Kamu belum berhijab waktu itu, masih memakai baju ketat, dan rambut yang digerai, waktu itu aku bersama mendiang istri sedang berbelanja, dan parahnya belanjaan kita tertukar. Ia kamu kan waktu itu?" tanya Ghaffar  dengan berusaha meyakini wanita yang sudah sah menjadi istrinya itu.

Wajah Adawiyah memerah, otakkan kembali kepada tujuh tahun silam, akibat kecerobohannya ia mengambil belanjaan orang lain, bukannya minta maaf ia malah marah-marah. Pasangan suami istri itu hanya terdiam dan meminta maaf, Adawiyah meninggikan suara dan berkata kasar kepada sang istri. Mereka hanya diam dan sesekali keluar kata maaf dari mulut sang istri.

"Astagfirullah, aku inga, Mas, Ya Allah, malunya aku," kata Adawiyah menutup wajahnya.

"Kan benar." Ghaffar menarik tangan istrinya lalu menciumnya berkali-kali.

"Qadarullah, Dik," sambungnya lagi

"Mas sudah memaafkan? Aku yang salah waktu itu," rengeknya. Bulir air mengalir disudut pipinya.

Ghaffar menghapus air mata istrinya. "Sudah, ya, Sayang". Ghaffar menaik tangan Adawiyah, lalu memeluk tubuh sang istri.

Adawiyah tertunduk dalam pelukan Ghaffar, wajahnya menempel pada dada bidang lelaki itu.

"Qadarullah, inilah takdir yang indah, siapa sangka kita akan menjadi pasangan suami istri. Tak pernah terpikir olehku untuk beristri lagi, pasca Aisyah meninggal, aku cukup trauma. Lagi-lagi qadarullah sayang, Qaraullah yang selalu indah. Allah gerakkan hatiku untuk menerimamu dan memulai ta'aruf, kemudian dalam istrikharahku Allah kembali memberikan petunjuk bahwa kamu wanita sholehah yang akan menjadi pendamping dan bidadariku di surga. Tetaplah berprasangka baik kepada_Nya, karena segala takdirnya tak pernah buruk selalu indah. Seperti takdir cinta kita ini istriku." Ghaffar mencium berkali-kali wajah istrinya, mata Adawiyah sembab menahan air mata yang terus ingin keluar dari cangkangnya.

Adawiyah mensyukuri segala ujian dan nikmat yang Allah telah berikan padanya. Semua ini Qadarullah yang indah untuknya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun