"Bu, mana Pak Topan?" tanya salah satu anggota kepolisia itu pada Adawiyah.
Perempuan berusia tiga puluh tahun itu hanya membeku. Pada detik kemudian, pandangannya kabur dan gelap.
Gedebam!
***
Adawiyah menatap bayi mungil yang berbaring di sampingnya. Tangannya sibuk mengelus pipi lembut sang bayi laki-laki tanpa dosa itu, seketika hatinya kembali terenyuh, mengenang harus berjuang seorang diri membesarkan bayi mungil yang berusia tiga tahun itu. Akan jadi seperti apa dia kelak tanpa kasih sayang sang ayah.
Lima hari yang lalu adalah hari terburuk bagi Adawiyah, rumahnya di geledah dan Topan tertangkap, rumah mereka benar-benar sudah dikepung, bahkan jalan rahasia yang hanya diketahui oleh Topan sendiri bisa diendus polisi, Topan tidak bisa berkutik ketika polisi mengyeretnya ke kantor polisi. Bukan perkara kecil. Adawiyah tak pernah tahu selama ini suaminya gemar mengonsumsi obat-obat terlarang dan juga memperjual-belikan.
Saat terbangun dari pingsan, Adawiyah hanya menemukan seorang polisi yang duduk di sampingnya, menjaganya saat tadi dia pingsan. Rumahnya? Jangan ditanya lagi, berserakan dan dia hanya bisa mengurut dada saat sang polisi memberitahu duduk permasalahan sebenarnya.
Pantas usaha Distro pakaian yang awalnya sangat berkembang akhir-akhir ini merosot. Dan setiap kali Adawiyah menanyakan masalah toko, Topan menjawab dengan emosi dan tak aral dirinya menerima baku hantam, darah mengalir di sudut bibirnya bukan perkara asing namun sudah menjadi rutinitas setiap kali Topan mengamuk.
Adawiyah bukan perempuan bodoh yang mau menerima semua kekerasan sang suami. Tapi atas dasar nama cinta. Kenangan indah dan memori ketika mereka bersama dapat menutupi semua kepedihan yang dia rasakan. Topan lelaki yang mencuri hatinya ketika mereka sama-sama berada di bangku sekolah menengah atas, sahabat sekaligus cinta pertamanya. Setelah keduanya lulus kuliah mereka memutuskan untuk mengikat cinta mereka dengan nama pernikahan. Namun kisah pacaran tak seindah biduk pernikahan. Pernikahannya ombang-ambing, bahagianya hanya sebentar. Kemudian goncangan demi goncangan membuatnya menderita, sikap manis sang suami berubah menjadi bercak merah yang menghiasi wajah dan tubuhnya. Ia menjadi alat pelampiasan amarah sang suami.
"Aku harus bekerja, tak bisa seperti ini, meratapi nasib tak akan membuatku mampu membeli diapers untuk Faqih," ujar Adawiyah. Tidak ada yang bisa diharapkan. Distro mereka yang sedang menunggu waktu bangkrut saja, tabungannya yang sudah menipis. Meratapi nasib hanya akan membuat dia dan anaknya berada pada titik lemah. Hidup terus bergulir dan dia harus mencukupi kebutuhan anaknya yang tiap hari semakin meningkat.
Dia mulai menulis surat lamaran dan mengantarkannya ke beberapa instansi pemerintahan. Berharap dalam waktu dekat ada lowongan pekerjaan untuknya. Satu-satunya harta yang dia miliki hanya rumah peninggalan sang suami. Kebetulan rumah itu dibuat atas namanya dan dibangun dengan uang mereka berdua. Setidaknya masih ada tempat berlindung untuk mereka berdua. Untuk kembali ke rumah orangtuanya ia begitu malu, ia tak mau merepotkan kedua orangtunya.