Kabar bahagia itu datang, jelang tiga hari, lewat bantuan seorang sahabat, ia diterima bekerja, kerja di instansi pemerintahan yang mengharuskan ia menitipkan sang anak kepada baby sitter, jam kerjanya hanya delapan jam tapi cukup menyita waktu dan membuatnya rindu dengan sang buah hati. 'Demi Faqih.' Kembali batinnya menguatkan.
Berjalannya waktu, Adawiyah bertemu dengan orang-orang sholehah, yang mengenalkannya dengan agama Allah, lebih patuh dan taat, ia hijrah, pakaian ketat yang semua menjadi koleksinya berubah menjadi gamis yang longgar, serta jilbab bergo yang panjangnya selutut. Hatinya damai, Allah selalu menghadirkan orang-orang baik disekelilingnya.
Proses hijrahnya tak mudah, awalnya lingkungan pekerjaannya menganggap aneh dan paranoit, tapi beriring berjalannya waktu, semua tampak biasa saja, tak ada lagi omongan di belakang, atau cuitan yang mengejek dirinya.
Tepat enam tahun pasca ia menjadi janda, seorang sahabat mengenalkan ia kepada sosok lelaki sholeh, lelaki tersebut seorang duda tanpa anak, istrinya meninggal ketika melahirkan sang buah hati. Lelaki sholeh itu bernama Ghaffar, perawakannya karismatik, tubuh tegap, berkulit putih dan berjanggut tipis.
Adawiyah masih meraba hati, mampukah ia untuk jatuh cinta lagi, ia terlalu takut membuka hati, bukan takut disiksa tapi takut harapannya menjadi sia-sia. Beberapa sahabat menasehati dan mengajaknya untuk mencoba ta'aruf. Awalnya ia menolak, tapi atas gerakan dari sang maha cinta ia menyetujui untuk berta'aruf dengan Ghaffar. Dua bulan menjalani ta'aruf, tibalah untuk mereka mengambil keputusan. Ghaffar telah yakin untuk menjadikan Adawiyah pelabuan terakhirnya, istri sesurganya. Tapi Adawiyah masih bimbang, malam-malam ia labuhkan bermunajat dalam istikharah panjang, meminta petunjuk kepada sang maha cinta. Tangis dan isaknya menyatu dalam do'a. Dan akhirnya petunjuk itu datang. Ia menerima pinangan Ghaffar.
Pernikahan yang sederhana, diwalikan sang ayah, Adawiyah telah sah menjadi istri Ghaffar, senyum manis keduanya, menambah manisnya iman dalam keluarga mereka. Lelaki sholeh itu memperlakukan Adawiyah dengan sangat baik,
"Mas," panggil Adawiyah saat mereka berada di atas ranjang yang ditaburi kelopak mawar.
"Iya, Dik?" Ghaffar menatap Adawiyah dengan tatapan sejuk.
"Aku malu mas," akunya sembari menundukkan wajah cantiknya.
Tawa kecil Ghaffar menambah rona merah di pipi Adawiyah, sambil mencubit hidung Adawiyah, Ghaffar membisikkan sesuatu ditelinganya, membuat bulu roma Adawiyah berdiri.
Ghaffar tipe laki-laki yang pendiam tapi lembut dalam memperlakukan wanita. Adawiyah merasa surganya di depan mata. Ia menyukuri.