Mohon tunggu...
Erdittya Ekanovie Nindhitasari
Erdittya Ekanovie Nindhitasari Mohon Tunggu... Freelancer - Mom Blogger

Kreator Konten

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Ini Balasan Nyata Memberi Kebahagiaan untuk Ibu dan Anak Yatim

31 Desember 2020   17:52 Diperbarui: 31 Desember 2020   18:28 243
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Besok, PMIA akan mengajak anak-anak yatim buat belanja kebutuhan pindahan mereka untuk pondok baru. Dana dari donator sudah ready, siapa nih yang berbaik hati nganter mereka belanja? Siapa tahu ada mobil yang nganggur, syukur-syukur mau nyopirin.

Pagi itu aku membaca status WA temanku, Tika, founder komunitas PMIA (Pejuang Muda Indonesia). Komunitas itu bergerak di bidang sosial kemasyarakatan. Mengumpulkan informasi calon penerima donasi, lalu membuka kesempatan para donator untuk membantu calon penerima. 

Setelahnya, dia akan posting status. Akulah yang hari ini tergerak. Bukan karena aku sedang ada uang, aku merasa bisa berbagi karena momennya tepat saat aku sedang meminjam mobil Ibu untuk tes.

***

 “Ay, tadi baca pengumuman yang Ibu kirim di grup keluarga?”

Aku bertanya kepada suami yang kupanggil Ay (Ayah) sambil harap-harap cemas meminta persetujuan.

“Oh, yang pengumuman di pdf? Belum kubuka. Isinya apa, Nda?

Suami yang memanggilku Nda (Bunda), baru saja bangun karena shift malamnya. Aku merasa ada harapan di lowongan guru kontrak pagi ini.

Setelah kuceritakan, ternyata suami pun setuju saja aku ikut tes. Bahkan menawariku untuk mengantar di hari terakhir pendaftaran.

***

Aku yang tadinya sudah hilang harapan dengan waktu mepet mengurus berkas, berucap syukur. Kemudahan berkas yang disyaratkan, bahkan semua yang diminta sudah siap di tas berkasku. Aku merasa jalan ini sangat mudah, bahkan suami dan ibuku sangat mendukung.

Semoga ini yang Engkau ridai. Aku ingin memberi kebahagiaan untuk Ibu lewat tes ini. Selama ini, aku selalu menolak saat Ibu memintaku ikut tes calon guru. Tapi kali ini, aku merasa ini bagian ikhtiarku sebagai anaknya.

Ternyata tidak sampai di situ, ibu meminjamkan mobil untuk berangkat ke Semarang.

***

Status whatsapp teman yang kunamai Tika muncul di pemberitahuan beberapa menit yang lalu. Status meminta pertolongan pinjaman kendaraan untuk mengantarkan anak yatim belanja. Ini sudah 2 hari semenjak aku mengerjakan tes calon guru kontrak. Aku pasrah menunggu pengumuman.

Status dari Tika itu kucerna baik-baik. Mobil yang kupinjam dari ibu masih ada di Jogja, terparkir di depan rumah. Suami berencana mengembalikan saat hari Minggu tiba, hari liburnya.

“Ay, ini ada temanku butuh mobil besok pagi. Pondok anak yatim ada yang mau pindahan dan perlu belanja kebutuhan. Kamu besok pagi free kan? Nanti mobil ibu dipakai saja daripada menganggur.”

“Jam berapa, Nda?”

“Jam 9 pagi sudah sampai di pondok mereka.”

“InsyaAlloh, bisa Nda.”

Aku yang memang ingin sekali menyantuni anak yatim tersebut bersorak dalam hati. Aku yang bahagia bisa sedikit membantu dengan tenaga suami untuk menyetir dan tenagaku untuk menemani anak-anak yatim belanja, segera mengirim pesan ke Tika. Semenit kemudian, Tika berterima kasih di kotak percakapan kami dan meminta untuk datang ke alamat yang diberikan.

Keesokan harinya, hari petualangan kami datang. Aku, suami dan anak sudah siap menjemput. Kami menjemput anak-anak yatim dengan total 4 orang anak perempuan seusia adik kandung bungsuku. Juga ada satu bapak pengasuh bernama Pak Habibi. Kami sampai di pondok sesuai janji dan langsung meluncur ke supermarket besar dengan wahana mainan di lantai teratasnya. Tika dan satu teman lainnya sudah menunggu di sana.

“Assalamu’alaikum, Tik.”

Setelah parkir mobil dan masuk ke supermarket, aku menemukan Tika yang sedang duduk menunggu kami di bawah eskalator.

“Wa’alaikumsalam, Mbak.”

Senyum Tika seperti senyum sebelumnya pernah kutemui. Pancaran wajahnya tergambar bahwa ia senang mengetahui ada penolong untuk calon penerima donasi dari komunitas yang ia dirikan. Aku pun ikut senang bisa berbagi tenaga.

Setelah kami berdoa bersama sebelum melakukan belanja, Tika memimpin briefing kecil-kecilan. Dia membagi tugas siapa yang membeli barang-barang kebutuhan sesuai catatan dan siapa yang mencatat apa yang sudah dibeli juga harganya.

Ada Bunga, Zaski, Sofia dan Novi. Mereka keempat anak yang kami temani belanja. Keempat anak itu adalah anak yatim dari daerah Bengkulu. Tetangga dari Pak Habibi yang diajak hidup di Jogja agar hidupnya lebih terjamin. Sebenarnya ada 12 anak, tapi 8 lainnya menunggu di pondok. 

Aku dan Tika serius mencari barang yang akan dibeli dan anak-anak mengikuti ke mana pun kami pergi dengan patuh. Memilih barang yang harganya cocok dan mencatatnya. Bunga dan Novi memasukkan barang ke dalam keranjang, sementara Zaski dan Sofia mencatat harganya.

Setelah selesai belanja, anak-anak juga diajak main wahana roller coaster. Sesampainya di wahana, kebahagiaan terpancar. Anak-anak yang memang baru pernah bermain wahana ini, antusias sekali. Kupotret mereka dari smartphone-ku. Setelah dua kali putaran, anak-anak nyengir dan bercerita bahwa mereka ngeri sekaligus senang naik wahana ini. Alhamdulillah.

“Terima kasih atas kesediaan Mbak Dhita dan suami ya, anak-anak senang sekali bisa main ke sini. Mereka baru pernah menyambangi supermarket sebesar ini.”

Begitulah yang aku dengar berulang-ulang dari Pak Habibi. Padahal aku dan keluarga sudah biasa main ke sana. Mungkin sebulan sekali atau dua kali, hanya cuci mata atau sekedar membeli mainan untuk anak.

Tapi ternyata kegembiraan kecil bagiku, beda bagi mereka yang baru ke sana pertama kalinya. Ada rasa bahagia yang tertinggal di hati selepas kami pamit dari pondok. Kami mengantarkan anak-anak dan Pak Habibi pulang setelah makan siang.

***

Hari H pengumuman tes.

Dengan wajah sumringah, aku mengunduh daftar pengumuman peserta yang lolos tes. Aku komat-kamit berdoa dan berharap namaku muncul. Bismillah, aku lolos. Aku menyugesti diri sendiri.

“Dhit, bagaimana? Sudah ada pengumuman?”

Ibu mengirim chat bertanya karena penasaran.

“Alhamdulillah. Dhita dikasih kesempatan melayani suami dan membimbing anak di Jogja, Bu. Kesempatan berkarir di luar, belum diridai.”

Aku menjawab chat ibu sesantun mungkin. Aku takut ibu kecewa. Pun aku sedang menghibur diriku dengan semua sugestiku.

“Oya, Dhit. Nggak apa-apa. Nanti ada kesempatan lain. Semoga Dhita sukses dan mendapat keberkahan, ya?”

“Aamiin ya Rabb.”

Hanya itu yang bisa kujawab untuk semua kebaikan ibu. Aku merasakan kekecewaan yang besar. Setelah semua yang sudah kulalui, kemudahan itu dan bahkan memberikan kemudahan untuk orang lain, aku belum mendapat jalan kemudahan selanjutnya. Aku sempat diam, suami pun belum menanyakan. Mungkin, dia tahu kalau aku tidak lolos, jadi dia membiarkanku yang bercerita dulu.

“Ay, aku nggak lolos.”

Lama suami menatapku dengan lembut sembari menemani anak bermain.

“Belum rezekimu ya, Nda. Sabar ya.”

***

Untuk menghibur diri, akhirnya kuputuskan untuk membersihkan kompor gas yang sudah kupakai 9 tahun lamanya. Sudah banyak noda minyak di permukaan kompor. Bagian knop pemutar api pun sudah mulai keras. Aku lalu berpikir untuk membeli saja yang baru. Ya, walaupun kami belum ada uang, aku memulai saja pencarian kompor gas dua tungku dengan harga yang murah di salah satu aplikasi daring.

Wah, ini murah banget. Sebuah kompor gas dua tungku dijual dengan harga diskon. Teringat pesan Ust. Yusuf Mansyur dulu, saat ia ingin sesuatu, selawatlah, berikan doa terbaik untuk Rasulullah. Aku pun berdoa, semoga kompor gas ini menjadi jalanku melayani anak dan suami.

Aku pun tak sadar telah memencet tombol pesan barang dan sudah terkonfirmasi pula untuk membayar barang tersebut saat pengiriman. Aku yang baru pernah memakai aplikasi belanja daring itu baru mengetahuinya 2 hari setelah tanggal konfirmasi.

***

Seperti biasa, siang hari setelah selesai mengurus tetek bengek pekerjaan rumah, aku kembali menatap layar laptop. Sembari membuka laman media, aku mengecek surel. Siapa tahu ada kiriman permintaan suntingan juga dari temanku. Astaghfirullah, aku menemukan surat surel yang sangat mengejutkan.

Terima kasih telah mengonfirmasi pesanan barang berupa kompor gas merek S dengan total harga Rp229.000,00. Anda bisa membayar saat kurir JNE datang. 

Aku panik. Kulihat tanggal pemesanan, dan itu adalah 2 hari yang lalu. Ah, aku ingat, saat itu aku mencari kompor. Ternyata, tanpa sengaja aku mengonfirmasi pembelian. Kukira aku hanya menyimpan data pembelian dan sewaktu-waktu bisa kukonfirmasi saat ada uang. Ya Allah, bagaimana ini, kami belum punya uang. Tombol cancel pun tak ada untuk proses pembatalan.

Seharian aku galau. Suami belum kuceritakan perihal ini.

***

Malamnya suami pulang dari kantor. Aku sudah mantap bercerita. Aku mengumpulkan keberanian setelah aku mengadu pada-Nya.

“Ay, aku mau cerita. Tapi kamu jangan marah ya?”

 “Eh, ada apa? Kok minta aku nggak marah?”

Suami sibuk mendengarkan. Aku pun menunjukkan laman aplikasi akunku yang menandakan bahwa pesanan sudah berada di gudang. Kemungkinan besok atau lusa, barang akan datang.

“Ya sudah Ay, mungkin itu rezeki kita. Pengganti sedihmu yang kemarin.”

Suami menghiburku dengan senyum jahilnya. Aku terkejut, dia kok nggak marah malah meledek? Apa dia punya uang untuk membayar?

“Kamu ada uangnya apa, Ay?”

Dia hanya tersenyum sambil memberikan amplop. Dadaku berdesir.

“Ini apa, Ay?” tanyaku menyelidik.

“Sudah buka dulu saja.”

Aku lalu membuka amplop tersebut. Ada sejumlah uang dengan 2 lembar Rp100.000, selembar Rp50.000, lalu selembar Rp20.000 dan beberapa uang Rp1.000. Kuhitung semuanya dengan total Rp278.000. Uangnya bahkan melebihi harga kompor gas yang kupesan.

“Ini uang dari mana ay? Kamu pinjam?”

“Dari SHU. Ini kan awal tahun, semua karyawan dapat pembagian dari Koperasi.”

Alhamdulillah. Mukaku langsung sumringah. Tak ada kegalauan lagi, besok aku bisa membayar kompor gas pesanan yang salah klik itu.

***

Malamnya, kami mengobrol tentang kompor gas itu. Lalu, di tengah obrolan kami, aku ingat sebuah doa yang dipanjatkan oleh anak-anak yatim dan pengasuhnya.

“Ya Allah, mudahkanlah urusan Mbak Dhita dan suami.”

Doa itu memang terus diucapkan berulang-ulang oleh Pak Habibi, saat kami dulu mengantarkan anak-anak pondok. Doa itu sangat mujarab ternyata. Saat aku dan suami kesusahan untuk membayar kompor gas, pertolongan yang dibayar dengan doa itulah yang menyelamatkan kami. Ternyata saat kita berbagi, balasan Allah itu nyata adanya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun